Monday, September 24, 2018

Makalah Ilmu Falak dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pada paket ini perkuliahan difokuskan pada ihwal ilmu falak dari empat seginya yang penting. Pertama, dari segi konsep atau pengertiannya. Kedua, dari segi historiknya. Ketiga, dari segi realitas praksisnya dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Keempat, segi legalitasnya dalam syariat Islam. Materi kajiannya meliputi pengertian ilmu falak, sejarah ilmu falak, ragam sistem hisab falak, dan kedudukan ilmu falak dalam hokum Islam.
Sejalan dengan itu dalam paket ini mahasiwa akan mengkaji 1) pengertian ilmu falak dari sisi naz}ari> (teoritis) maupun ‘amali>(praktis); 2) sejarah ilmu falak mulai dari era pra Islam (Babilonia, Yunani), era Islam, hingga era Eropah; 3) ragam sistem hisab falak yang berkembang di Indonesia mulai dari hisab ‘urfi hingga hisab hakiki dengan berbagai kategori tingkat akurasinya (taqri>bi>, tah}qi>qi>, dan tadhqi>qi>); 4) kedudukan ilmu falak dalam hukum Islam, yakni dalam hal keabsahannya secara hukum untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan beberapa ketentuan syariat. Kajian terhadap materi-materi di atas diselenggarakan dengan tayangan slide power point yang disiapkan oleh dosen. Di samping itu, mahasiswa diberi tugas untuk membaca uraian materi dan membuat resume dengan panduan lembar kegiatan. Penguasaan terhadap materi pada paket ini akan memberi wawasan yang penting bagi mahasiswa dalam mempelajari materi pada paket selanjutnya.
Perkuliahan ini memerlukan media pembelajaran berupa LCD Projector, Komputer atau Lap Top, Kertas Plano, Spidol, Isolasi, dan White Board.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarak
C.     Tujuan


BAB II
PEMBAHASAN


A.     Ilmu Falak
1.      Pengertian, Sejarah, Ragam Sistem, dan Kedudukannya Dalam Hukum Islam
a.       Pengertian Ilmu Falak
Secara lughawi atau etimologi, Falak atau الفلك (Arab) berarti orbit atau lintasan benda-benda langit. Al-Qur’an menyebut kata itu sebanyak 2 (dua) kali dengan makna ini dalam teks-teks ayat sebagai berikut:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya beredar pada garis edarnya.1
لا الشَّمْسُ ينَْبَغِي لهَاَ أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ
يَسْبَحُونَ
Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Jadi secara bahasa, Ilmu Falak berarti pengetahuan tentang orbit atau garis edar benda-benda langit. Adapun secara terminologi (istilahi), Ilmu Falak ialah ilmu yang mempelajari seluk-beluk benda-benda langit dari segi bentuk, ukuran, keadaan pisik, posisi, gerakan, dan saling hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.
Keterangan mengenai seluk-beluk benda-benda langit tersebut dapatdiketahui berkat penyelidikan-penyelidikan dengan pertolongan ilmu astronomi atau ilmu bintang yang meliputi:
1)      Astrometri: Menentukan tempat kedudukan di Bumi dan di Langit, menentukan jarak di Bumi dan di angkasa raya, dan menentukan besarnya benda-benda langit.
2)      Astromekanika: Menyelidiki keadaan gerakan-gerakan, seperti rotasi, lintasan-lintasan benda langit, perubahan-perubahan dalam gerakangerakan itu, dan hukum-hukum yang mempengaruhi gerakan-gerakan itu.
3)      Astrofisika: Menyelidiki ihwal benda-benda langit, suhunya, campurancampuran atmosfir, dan sebagainya.
4)      Kosmogoni: Mempelajari dan menyelidiki bangun atau bentuk serta perubahan-perubahan jagatraya.3
Di samping dinamai Ilmu Falak karena mempelajari lintasan bendabenda langit khususnya bumi, bulan, dan matahari pada orbit masingmasing, terdapat beberapa nama lain yang juga digunakan sebagai sebutan ilmu ini, yaitu:
1)      Kosmografi, karena ilmu ini berbasiskan catatan tentang alam semesta (kosmos = alam semesta; graphein = menulis).
2)      Ilmu Rashd, karena ilmu ini memerlukan observasi atau pengamatan الرصد) = pengamatan).
3)      Ilmu Miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu الميقات) = batas-batas waktu).
4)      Ilmu Hisab, karena ilmu ini bekerja dengan kalkulasi matematik atau perhitungan ( الحساب = perhitungan).
Secara garis besar, Ilmu Falak dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Falak Ilmiy (Theoritical Astronomy) dan Ilmu Falak ‘Amaliy (Practical Astronomy). Ilmu Falak ‘Ilmiy atau Naz}ariy ialah ilmu falak dalam arti astronomi umum seperti yang telah dikemukakan definisinya di muka.
Sementara Ilmu Falak ‘Amaliy adalah ilmu falak seperti yang dikenal masyarakat umum di negeri ini sebagai ilmu hisab, yaitu ilmu yang memanfaatkan hasil-hasil penyelidikan tentang pola gerakan benda-benda langit, khususnya Bumi, Bulan, dan Matahari untuk kepentingan praktis, seperti untuk menghitung tibanya waktu-waktu salat, saat kemunculan Hilal untuk acuan penentuan awal bulan kamariah, sudut arah kiblat, dan sebagainya.
2.      Sejarah Ilmu Falak
Dari sisi sejarahnya, Ilmu Falak dapat dikatakan sebagai ilmu yang sangat tua. Berbasiskan hasil pengamatan atau penyelidikan terhadap benda-benda langit, ilmu yang dulunya banyak dikenal dengan sebutan Ilmu Perbintangan ini lahir dan tumbuh-kembang berseiring dengan perkembangan aktivitas penyelidikan manusia terhadap benda-benda langit itu sendiri. Ribuan tahun sebelum masehi, penyelidikan terhadap bendabenda langit itu telah dilakukan oleh bangsa-bangsa berperadaban tua seperti Mesir, Mesopotamia, Babilonia, dan Tiongkok.
Di antara buah dari penyelidikan tersebut, pada sekitar tahun 4221 SM (sebelum masehi) bangsa Mesir telah membuat Kalender Matahari (Syamsiyah, Solar), yakni kalender yang disusun berseirama dengan siklus tropis matahari. Kepentingan mereka pada kalender Matahari tersebut bertemali dengan kebutuhan pada pengetahuan tentang waktu meluapnya sungai Nil, musim tanam, dan musim panen. Mereka pada waktu itu menghitung panjang siklus tropik matahari sama dengan 365 hari. Untuk penyusunan kalender, mereka membagi rata yang 360 hari menjadi 12 bulan (masing-masing bulan umurnya 30 hari), dan 5 hari sisanya mereka skedulkan untuk penyelenggaraan pesta perayaan tahunan.4
Bangsa Babilonia yang berada di antara sungai Tigris dan sungai Efrat (selatan Irak sekarang) pada sekitar 3.000 tahun SM sudah menemukan adanya duabelas gugusan bintang (zodiak)5 yang posisinya di langit mereka bayangkan membentuk satu lingkaran. Setiap gugusan bintang akan berlalu setelah 30 hari. Temuan mereka ini akhirnya melahirkan ilmu geometri dan matematika, ilmu ukur, dan ilmu hisab (hitung).
Di kawasan lain, orang-orang Tiongkok pada sekitar abad ke-12 SM telah berhasil mengolah data penyelidikan mereka terhadap benda-benda langit hingga mengantarkan mereka pada kemampuan menghitung peredaran bintang-bintang dan menentukan kapan akan terjadi gerhana.7 Dari Babilonia, pedagang-pedagang dari Funisia membawa ilmu perbintangan itu ke Yunani.8 Ketika pada sekitar abad ke-4 SM peradaban Yunani mencapai zaman keemasannya, ilmu perbintangan telah mendapat kedudukan yang sangat penting dan luas. Pada abad kedua Masehi di Iskandaria (Mesir), Claudius Ptolemaeus (90-168 M.), seorang ahli perbintangan (astronomi) dan geografi keturunan Yunani berhasil menghimpun pengetahuan tentang bintang-bintang dalam suatu naskah yang disebut Tabril Magesthi . Naskah ini kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia sebagai pedoman dasar ilmu perbintangan. Pada sekitar tahun 325 M, naskah itu diperluas oleh Theodoseus Keizer di Roma. Dalam teori Ptolemaeus, bumi ini diam, tidak bergerak, dan dikelilingi oleh falak-falak bulan, matahari, dan planet-planet lainnya (teori Geosentris).
Pada abad ke-8 masehi atau satu abad sepeninggal Nabi Muhammad SAW (632 M), dunia Islam mengambil alih ilmu perbintangan tersebut dari Yunani. Pada zaman pemerintahan al-Mansur (754-775 M), salah seorang khalifah dari Bani Abbasiyah, di kota Baghdad telah didirikan sekolah astronomi, dan khalifah sendiri termasuk salah seorang ahli astronomi.
Selanjutmnya di bawah pemerintahan pengganti-penggantinya, yakni Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, sekolah itu menghasilkan karya-karya penting. Kekayaan ilmu dari Yunani dikaji, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan disajikan kembali dengan tambahan-tambahan komentar (syarah) yang penting. Di antara karya-karya penting Yunani yang diterjemahkan dan sangat mempengaruhi perkembangan ilmu falak di dunia Islam adalah The Sphere in Movement (al-Kurah al-Mutaharrikah) karya Antolycus, Ascentions of The Signs (Mat}a>li' al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madkhal ila>’Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan Tabril Magesthi (Ptolemy’s al-Magest ) karya Claudius Ptolemaeus. Al-Magest yang artinya “usaha yang paling besar” adalah kata-kata Yunani yang diarabkan dengan imbuhan al. Karya-karya ini tidak hanya hanya diterjemahkan dan disyarahi, tetapi ditindaklanjuti dengan kegiatankegiatan pengamatan atau observasi. Hasil observasi yang dilakukan oleh sekolah di Baghdad itu dicatat dalam tabel yang diperiksa dengan teliti. Yahya bin Mansur dipandang sebagai orang yang penting dalam pekerjaan ini.
Salah seorang ulama Islam yang kemudian muncul sebagai ahli ilmu falak terkemuka adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M.) yang dikenal sebagai pengumpul dan penyusun daftar astronomi (zij) tertua dalam bentuk angka-angka (sistem perangkaan Arab diperoleh dari India) yang di kemudian hari termasyhur dengan nama daftar algoritmus (logaritma). Ternyata daftar logaritma ini sangat menentukan dalam perkiraan astronomis sehingga ia berkembang sedemikian rupa di kalangan sarjana astronomi, mengalahkan teori-teori astronomi serta hisab Yunani dan India yang telah ada, dan bahkan berkembang sampai ke Tiongkok.11 Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai ulama yang dengan sungguhsungguh mengembangkan Aljabar dalam beberapa karya tulisnya. Karya terakhir yang menjadi karya emasnya: Al-Mukhtas}ar fi> H{isa>b al-Jabr wa al-Muqa>balah (Ringkasan Perhitungan Integral dan Persamaan) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona Italia (versi lain menyebut penerjemahnya adalah Robert Chester pada tahun 1140 M/535 H dengan judul Liber Algebras et Almucabala) telah memperkenalkan aljabar ke dunia Barat, yang mereka sebut Algebra. Pada tahun 1247 H. / 1831 M. Frederic Rosen menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Selain al-Khawarizmi, banyak ulama muslim lainnya yang dikenal besar kiprahnya dalam mengembangkan ilmu falak. Di antaranya Abu Ma'syar al-Falakiy (w. 885 M/272 H) dengan karyanya: Hay’ah al-Falak; Abu Raihan al-Biruniy (973-1048 M/363-440 H) dengan karyanya al-Qa>nu>n al-Mas'u>diy, Ali bin Ahmad al-Nawawiy (980-1040 M) dengan karyanya: al-Muqni’ fi>Hisa>b al-Hindi , Nasi>ruddi>n al-Tu>siy (1201-1274 M/598-673 H) dengan karyanya: al-Tadhkirah fi>'Ilmi al-Hay’ah; Muhammad Turghay Ulughbek (1394-1449 M/797-853 H) dengan karyanya Zij Sult}a>niy. Karyakarya monumental yang sebagian besar masih berupa manuskrip tersebut kini tersimpan di Ma'had al-Makht}u>t}a>t al-'Arabiy, Kairo-Mesir.13
Dari kawasan Arab, ilmu falak kemudian menyeberang ke Eropah, dibawa oleh bangsa Eropah yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba. Muncullah di Eropah Nicolas Copernicus (1473-1543), ahli ilmu falak dari Polandia yang mencetuskan teori Heliosentris yang terus digunakan sampai sekarang. Dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564-1642) yang menguatkan teori Copernicus, ilmu falak kian maju lebih jauh lagi.
Ilmu Falak juga masuk dan berkembang di Indonesia. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang dikenal sebagai bapak ilmu falak Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu terdapat juga tokoh-tokoh ilmu falak lainnya yang berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Rifa'i, dan K.H. Sholeh Darat.
Selanjutnya perkembangan ilmu falak di Indonesia dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Jamil Djambek. Kemudian diteruskan oleh anaknya Siraj Dahlan dan Saadoe'ddin Djambek (1330-1398 H/ 1911-1977 M). Di antara murid Saado'eddin yang menjadi tokoh falak adalah H. Abdur Rachim. Beliau adalah salah seorang ahl falak Muhammadiyah yang sangat disegani.
Penguasaan ulama Islam terhadap ilmu falak telah memungkinkan mereka melakukan perhitungan untuk menentukan waktu-waktu salat, sudut arah kiblat, awal bulan hijriyah, gerhana Bulan (khusu>f), dan gerhana Matahari (kusu>f). Khusus berkenaan dengan penentuan awal bulan hijriyah berdasarkan ilmu falak atau hisab, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, karena di zaman Nabi SAW belum pernah dilakukan, ramailah perbincangan mengenai itu dari sudut hukum Islam (fiqh). Di tengah kontroversi mengenai boleh tidaknya berpedoman pada hisab, sejumlah fuqaha seperti Ibnu Banna, Ibnu Syuraih, al-Qaffal, Qadi Abu Taib, Mutraf, Ibnu Qutaibah, Ibnu Muqatil al-Razi, Ibnu Daqiq al-‘Id, dan al-Subki, membolehkan penggunaan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadan. Ragam Sistem Hisab Falak di Indonesia Sebagai ilmu yang dibangun di atas hasil penyelidikan empiric terhadap posisi dan gerakan benda-benda langit, ilmu falak adalah ilmu yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan hasil-hasil penyelidikan itu sendiri. Tren perkembangan ilmu falak ini secara umum mengarah pada semakin tingginya derajat akurasi produk-produk hitungannya.
Rukyat atau observasi terhadap posisi dan gerakan benda-benda langit yang semenjak abad ke-17 masehi mulai diselenggarakan dengan bantuan teleskop ruang angkasa merupakan faktor penting yang mengantarkan ilmu falak ke tingkat kemajuan perkembangannya dewasa ini, di samping factor ditemukannya alat hitung (kalkulator) yang lebih cermat. Dari sudut penghampiran ini maka perintah rukyat (observasi) yang dikeluarkan Nabi Muhammad SAW pada 15 abad yang lalu, di samping mempunyai bobot syar’i, adalah benar-benar bernilai ilmiah. Tanpa rukyat (observasi) perkembangan ilmu hisab akan mandeg, dan bahkan tanpa  rukyat ilmu falak tidak akan pernah ada. Rukyat yang akurat adalah “ibu” yang melahirkan ilmu falak dan yang akan senantiasa membimbingnya menuju kecermatan yang lebih tajam. Muara dari keberadaan ilmu falak sebagai ilmu yang berkembang ialah lahirnya berbagai sistem hisab atau perhitungan dengan derajat akurasi yang bervariasi. Secara umum sistem-sistem hisab yang berkembang di Indonesia lazim diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yakni Taqri>biy, Tah}qi>qi y, dan Tadhqi>qiy. Sistem Taqri>biy mendasarkan perhitungannya pada daftar ephemeris (zij) yang disusun oleh Ulugh Beyk (W. 853 M.) yang kemudian dipertajam dengan beberapa koreksi yang sederhana. Dalam menghitung ketinggian Bulan saat terbenam Matahari sesudah ijtimak (konjungsi), sistem ini hanya melakukannya dengan membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dan saat terbenam Matahari. Tentu saja dengan cara perhitungan yang masih agak kasar ini sistem Taqri>biy, sesuai dengan sebutannya, menghasilkan produk hitungan yang sifatnya “kurang-lebih”. Sistem Taqri>biy ini digunakan antara lain dalam kitab-kitab al-Qawa>’id al-Falakiyah karya ‘Abd al-Fatta>h al-Tukhiy (Mesir), Sullam al-Nayyirayn karya K.H. Muhammad Mansur bin Abdul Hamid (Jakarta), dan Fath{al-Rau>f al- Manna>n karya K.H. Abu Hamdan Abdul Jalil (Kudus). Sistem Tahqi>qiy, secara umum sama dengan sistem Taqri>biy, tetapi unsur-unsur koreksinya lebih banyak. Di samping itu dalam menghitung ketinggian Bulan saat terbenam Matahari sesudah ijtimak, sistem ini sudah menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometri) sehingga hasilnya menjadi lebih akurat. Sistem ini digunakan antara lain dalam kitab-kitab al-Mat}la’ al-Sa’i>d karya Husain Zayid (Mesir), al- Khula>s}ah al-Wa>fiyah karya K.H. Zubair Umar al-Jailani (Salatiga), dan Hisab Hakiki karya KRT Wardan Diponingrat (Yogyakarta). Sistem Tadhqi>qiy, di samping menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola dan koreksi-koreksi yang lebih detail, mengacu pada data posisi benda langit kontemporer, yaitu data yang selalu dikoreksi dengan temuan-temuan terbaru. Sistem ini dikembangkan oleh lembaga-lembaga astronomi seperti Planetarium, Badan Meteorologi dan Geofisika, dan Observatorium Bosscha ITB. Data astronomi kontemporer yang bisa diacu  terdapat antara lain dalam buku-buku New Comb, Jean Meeus, Nautical Alamanac, dan Ephemeris Hisab Rukyat Departemen Agama RI.
Di kalangan masyarakat Indonesia, semua sistem hisab dengan akurasi yang bervariasi tersebut secara riil dipelajari dan kemudian digunakan sebagai acuan, khususnya dalam penentuan awal bulan hijriyah. Karena itu timbulnya produk hitungan yang berbeda-beda merupakan konsekuensi yang tak terelakkan. Bahkan perbedaan antar produk-produk hitungan itu kadang terjadi dalam bentangan yang sangat mencolok yang dari sudut ilmu pasti sulit untuk ditoleransi.
Namun demikian, karena semua sistem hisab itu menghitung posisi benda-benda langit yang sama, maka juri pemutusnya tentulah bukti atau kenyataan empirik. Artinya, produk hitungan dari sistem mana pun yang terbukti paling selaras natijahnya dengan kenyataan empirik, maka produkhitungan itulah yang layak dipegangi.
Kenyataan empirik yang logis untuk diletakkan sebagai juri pemutus tentu saja adalah yang berkualifikasi obyektif atau, tepatnya, kenyataan empirik yang diperoleh melalui cara-cara observasi (rukyat) yang cermat, terukur, dan sejauh mungkin terdokumentasi. Peristiwa empirik yang paling tidak diperdebatkan keunggulannya untuk digunakan menguji akurasi produk hitungan, karena lebih mudah diamati, ialah gerhana matahari untuk moment ijtimak (konjungsi) dan gerhana bulan untuk moment istiqba>l (oposisi). Kedudukan Ilmu Falak Dalam Hukum Islam.
Dalam hukum Islam, aspek penentuan waktu dan tempat (mawa>qi>t ) menjadi bagian yang inheren dalam pembebanan (t akli>f ) sejumlah pekerjaan (af’a>l) atas orang-orang mukallaf. Hukum Islam bahkan menjadikan aspekma wa>qi>t tersebut sebagai bagian dalam pelaksanaan empat pekerjaan utama yang terangkum dalam rukun-rukun Islam, yakni salat, zakat, puasa, dan haji.
Salat disyariatkan untuk ditegakkan pada waktu-waktu tertentu (mawa>qi>t al-s}ala>h) dan dengan cara menghadap ke tempat atau ke arah tertentu (al-qiblah). Zakat, untuk jenis harta tertentu, kewajiban membayarnya berlaku pada saat masa kepemilikannya sebesar minimal nishab telah memenuhi ketentuan jatuh tempo satu tahun (h}awl). Puasa difardukan atas para mukallaf yang menyaksikan (hidup dan mengalami) bulan Ramadan dan dalam bentangan waktu tertentu, yakni mulai dari terbit fajar sadiq sampai terbenam matahari. Haji wajib dikerjakan pada waktu tertentu (mi>qa>t zama>ni>) serta dari —dan pada— tempat tertentu (mi>qa>t maka>ni>). Di luar itu aspek mawa>qi>t juga hadir sebagai bagian dari pensyariatan salat sunah seperti salat sunah Duha, Tahajjud, dan Witir, juga puasa sunah seperti puasa hari ‘Arafah, Ta>su>’a, ‘A<syu>ra>, dan Ayya>m al-Bi>d} (hari-hari di pertengahan bulan), serta pensyariatan waktu-waktu terlarang salat dan hari-hari terlarang puasa. Bahkan unsur ma wa>qi>t juga hadir dalam hokum nikah, yaitu berkenaan dengan masa iddah wanita non-haid yang ditalak — dan wanita yang ditinggal mati— oleh suaminya.
Dalam kajian tentang aspek mawa>qi>t ini, ijtihad para fukaha berorientasi pada dalil-dalil syara’ dalam rangka mendapatkan pengetahuan mengenai ihwal hukum mawa>qi>t yang dikehendaki oleh Allah sebagai Pembuat Syara’ (Sha>ri’). Ijtihad jumhur fukaha mengenai ma wa>qi>t salat Isyak, misalnya, menghasilkan natijah bahwa awal waktu salat Isyak tiba bersamaan dengan sirna/hilangnya mega merah (al-syafaq al-ah}mar) dari latar langit ufuk barat.
Produk ijtihad para fukaha tersebut pada dasarnya dapat langsung dipedomani oleh para mukallaf di ranah penerapan hukum (tat}bi>q alah} ka>m). Hanya saja karena implementasinya murni berbasiskan penginderaan (ru’yah bi al-fi’l) yang masih mentah (belum diolah), maka produk ijtihad tersebut aplikabel hanya apabila indera penglihatan dapat bekerja dengan baik, yaitu di kala kondisi langit normal dalam arti tidak terselimuti polusi cahaya, debu, asap, kabut, awan atau lainnya yang mengganggu kerja penginderaan. Tentu saja ini menyulitkan para mukallaf dalam mengetahui batasbatas mawa>qi>t dan karena itu diperlukan ijtihad lanjutan yang natijahnya mengantar para mukallaf untuk sampai pada pengetahuan tentang batasbatas mawa>qi>t walaupun kerja penginderaan terkendala oleh kondisi langit yang tidak normal. Ijtihad lanjutan ini bekerja di ranah tat}bi>q al-ah}ka>m dengan berbasiskan data hasil penginderaan atau observasi yang diolah sehingga menghasilkan natijah perhitungan (hisab) yang cermat atau akurat. Pemangku kompetensi yang relevan untuk menangani kerja ijtihad seperti ini adalah para ilmuwan hisab astronomi (h}ussa>b, falakiyu>n).
Hanya saja di ranah ma’rifat al-ah}ka>m, kalangan fukaha belum bulat penerimaannya terhadap penggunaan hasil ijtihad para ilmuwan hisab astronomi tersebut sebagai pijakan amal. Mereka dalam hal ini masih memperdebatkan aspek legalitas/keabsahannya secara hukum, lebih-lebih jika natijah ijtihad para ilmuwan hisab astronomi tersebut berkenaan dengan taqwi>m/kalender ibadah. Dalam khazanah fikih lama, pro-kontra kalangan fukaha mengenai pokok ini melibatkan setidaknya tiga arus pandangan. Al-Ramli dan al-Khat}i>b al-Sharbi>niy mengawal arus pandangan la> ‘ibrah li qawl al-hussa>b, yakni pandangan yang menutup rapat-rapat masuknya pendekatan ilmuwan hisab (falak astronomi) dalam penyusunan taqwi>m (kalender).
Pada posisi yang berseberangan, al-Subkiy, al-’Abba>diy, dan al- Qalyu>biy menggerakkan arus pandangan bahwa jika ada satu atau dua orang bersaksi telah melihat/merukyat Bulan, padahal menurut ilmuwan hisab hal itu tidak mungkin (mustahil), maka kesaksian rukyat itu ditolak.17 Di antara keduanya, Ibnu H{ajar al-Haytami hadir menawarkan jalan tengah. Menurutnya, kesaksian tentang kemunculan hilal dapat ditolak bilamana semua ilmuwan hisab menafikannya dan dapat diterima kalau tidak demikian.
Di tengah arus-arus pandangan fukaha di atas, Fikih Ma wa>qi>t dalam buku ini mengambil posisi di arus al-Subkiy dan kawan-kawan. Alur argumen yang mengantarkan bahasan dalam buku ini untuk eksis pada arus tersebut adalah sebagai berikut.
a)      Tidaklah seorang pun dapat menyangkal bahwa syara’ telah mempertalikan ma wa>qi>t dengan fenomena-fenomena kealaman yang sangat kental bercorak astronomik. Hal itu tercermin kuat dalam penentuan ma wa>qi>t (tawqi>t al-zama>n wa al-maka>n) yang sepenuhnya berbasiskan hubungan antar berbagai variabel posisi di Bumi dan di Langit. Ma wa>qi>t kiblat berbasiskan hubungan antar posisi tempat di Bumi. Ma wa>qi>t salat berbasiskan hubungan antara posisi tempat di Bumi dan posisi Matahari. Ma wa>qi>t taqwi>m atau kalender berbasiskan hubungan antara posisi tempat di Bumi dan posisi Bulan-Matahari.
b)      Sebagai sumber hukum Islam yang paling otoritatif, al-Qur’an telah meletakkan dasar-dasar yang diperlukan untuk impelementasi doktrin ma wa>qi>t yang bercorak asrtonomik itu semenjak periode Mekah, yakni semenjak takli>f syara’ yang mempertalikan pelaksanaan perbuatan mukallaf dengan ma wa>qi>t belum disyariatkan. Al-Qur’an menyampaikan dasar-dasar itu dalam kemasan pesan teologis yang tidak saja menuntun dan menerangi perjalanan spiritual manusia, tetapi juga mendorong dan mengapresiasi perkembangan intelektual serta kemajuan intelegensinya. Berikut ini disajikan sebagian dari pesan-pesan teologis tersebut.
آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغ وا فَضْلاً 􀊭 وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيتََيْنِ فَمَحَوَْ
مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالحِْسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلاً
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. 19
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ﺑِﺎلحَْقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلاَ هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut Ilmu Falak: Pengertian, Sejarah, Ragam Sistem waktu yang ditentukan. Ingatlah Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّ مْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالحِْسَابَ
تِ لِقَوْمٍ يعَْلَمُونَ 􀊮 مَا خَلَقَ اﻟَّﻠﻪُ ذَلِكَ إِلَّا ﺑِﺎلحَْقِّ يفَُصِّلُ الْآََ
Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui.
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لهَاَوَآَيَةٌ لهَمُُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ
لَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيِم 􀊭 وَالْقَمَرَ قَدَّرَْذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
الشَّمْسُ ينَْ بَغِي لهَاَ أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilahmanzilah sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
وَتَرَى الجِْبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اﻟَّﻠﻪِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّه خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 
Pesan-pesan Mekah yang terangkum dalam ayat-ayat al-Qur’an di atasberbicara mengenai berbagai hal seputar fenomena ruang angkasa, suatu kawasan yang sekarang dikenal menjadi lahan perhatian disiplin fisika astronomi. Terasa sekali bahwa hal-hal yang dibicarakan oleh pesan-pesan ilahiyah tersebut levelnya berada di luar jangkauan nalar masyarakat Arab yang —pada waktu itu— masih ummi (buta tulis-hitung) sehingga pesanpesan tersebut dapat dikatakan ”melampaui zamannya”.
Mengenai siang dan malam, misalnya, ungkapan ”Dia menutupkan يكور) ) malam atas siang dan menutupkan siang atas malam” —di mana يكور bermakna يدير (memutar)— menggambarkan fenomena pergeseran malam dan siang di permukaan Bumi dengan pola melingkar: malam menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami siang dan sebaliknya siang menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami malam. Ini adalah isyarat tentang bulatnya bentuk planet Bumi.
Mengenai planet Bumi, pesan di atas menyajikan ilustrasi ”kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan”. Dengan mengilustrasikan gunung-gunung —bagian dari Bumi yang paling mudah dipersepsi diam— berjalan seperti awan, pesan tersebut hendak mengisyaratkan tentang fenomena gerak revolusi Bumi.
Selanjutnya, ungkapan ”tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan” menunjukkan bahwa Bulan bergerak lebih cepat daripada Matahari. Ungkapan ”Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah” menunjukkan bahwa posisi-posisi Bulan itu sudah tertentu kadar atau ukurannya. Ungkapan bahwa ”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” menunjukkan adanya faktor rekayasa perhitungan di balik fenomena pergerakan kedua benda langit tersebut.
Hal-hal yang dibicarakan dalam pesan-pesan teologis di atas dibuhul dengan simpuli rad>ah Sang Khaliq, لتعلموا عدد السنين والحساب , yaitu agar kamu sekalian mempunyai pengetahuan mengenai “bilangan tahun” (ma wa>qi>t taqwi>m) dan menguasai ilmu “perhitungan” (hisa>b). Sejalan dengan ini al-Qur’an mendorong manusia untuk menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya. Surat (10) Yu>nus ayat 101 menggariskan perintah: انظروا ماذا في السموات والأرض ... (”... Perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi.”)26 Ahmad Baiquni menerjemahkan perintah انظروا" " dengan ”periksalah dengan intizar” atau dengan mengaktifkan nalar karena menurutnya perintah itu tidaklah dimaksudkan untuk sekedar melihat obyek dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan, dan pada makna dari gejala-gejala yang diamati itu. Hal ini menjadi lebih jelas manakala dihubungkan dengan teguran-teguran al-Qur’an dalam surat (88) al-Gha>shiyah ayat 17-20:26F ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan; dan langit, bagaimana ia ditinggikan; dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan; dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”27F
Perintah dan teguran al-Qur’an tersebut tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa semua itu adalah cerminan yang sangat jelas dari kehendak dan bimbingan Sang Khaliq supaya manusia memahami hukum-hukum yang dibentangkanNya di alam semesta. Pemahaman atas hukum yang mengatur alam semesta itu penting bagi manusia bukan hanya agar ia dapat menghayati kebesaran dan kekuasaanNya, melainkan juga sebagai syarat untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifahNya di Bumi dengan maksimal dan bertanggungjawab.
Untuk tanggungjawab mengelola alam, manusia —tidak dapat tidak— memang harus mengenal hukum-hukum yang mengikat dan mengatur kelakukan
alam itu dengan sebaik-baiknya. Untuk menuju ke sana manusia harus melakukan pengamatan (observasi) terhadap alam dan mengolah (menalar) gejala-gejala yang diperoleh dalam pengamatan itu dengan kekuatan intelektual dan spiritualnya.
Dengan memilih manusia sebagai khalifahNya, Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia status spiritual tertinggi dan mempercayakan padanya suatu misi suci. Manusia mengemban misi untuk menjadi wakil Allah dan mencerminkan kualitas-kualitasNya di Bumi, dan ini merupakan sifat utama paling penting yang dimiliki manusia di antara segala makhluk yang diciptakanNya. Sifat kesucian khas yang dikaruniakan kepada makhluk Bumi ini membuat para malaikat bertanya apakah Allah akan menciptakan makhluk pembuat kerusakan dan penumpah darah? Allah menjawab bahwa Ia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.
Selanjutnya Allah memamerkan kepada para malaikat keunggulan makhluk Bumi ini, yakni kemampuannya untuk mengemban ilmu pengetahuan. Manusia diajariNya nama-nama, lalu malaikat diujiNya dengan disuruh menyebutkan nama-nama itu. Malaikat tidak mengetahui nama-nama itu, sedangkan manusia dapat menyebutkannya secara tepat. Allah menyuruh malaikat untuk sujud hormat kepada manusia, dan mereka pun kemudian sujud. Kisah di awal penciptaan ini membersitkan makna bahwa keluhuranesensial manusia sebagai khalifah Allah di Bumi terletak pada aktualisasinya sebagai makhluk yang berperadaban ilmiah.29
Di sinilah perintah, teguran, dan bimbingan Allah agar manusia memperhatikan —dalam kerangka memahami— alam bertaut dengan ira>dah ilahiyah yang tercermin di balik penobatannya sebagai khalifah di Bumi. Dari perspektif ini ijtihad ma wa>qi>t yang bercorak astronomik itu mestilah diletakkan sebagai bagian dari aktualisasi tugas kekhilafahan, yakni tugas mencerminkan kualitas yang selaras dengan kehendak teologis Sang Khaliq, antara lain, dengan menjadi makhlukNya yang berperadaban ilmiah.
Begitulah, misi ideal untuk membangun peradaban ilmiah itu sudah dicanangkan al-Qur’an semenjak dini, yakni di kala masyarakat Mekah yang pertama kali dijamahnya pada abad ketujuh masehi itu kondisinya masih ”jauh panggang dari api”. Bahkan hingga memasuki periode Medinah pun, kondisi mereka tidak banyak berubah. Menulis dan menghitung dalam kehidupan mereka masih menjadi ”barang langka”. Padahal, keduanya merupakan elemen dasar yang sangat urgen dalam peradaban ilmiah yang diidealkan al-Qur’an.
Ketika pada periode Medinah muncul t akli>f syara’ yang mempertalikan pelaksanaan sejumlah perbuatan mukallaf dengan aspek mawa>qi>t, Nabi SAW membuat positioning keadaan sebagai berikut:
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَحْسُبُ وَلاَ نَكْتُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الْإِﺑْﻬَامَ فِي الثَّالِثَةِ 􀊭 إَِّ
وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يعَْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ 30
Sungguh kita adalah umat yang ummi (buta huruf). Kita tidak bias menulis dan tidak bisa menghitung. Satu bulan itu sekian, sekian, dan sekian,” beliau menekuk ibu jari pada yang ketiga, ”dan satu bulan itu sekian, sekian, dan sekian”, yakni sempurna tiga puluh hari.
Sebagai pemangku al-Qur’an, Nabi SAW tentu menyadari benar apa yang menjadi kehendak Sang Khaliq mengenai ma wa>qi>t dan impelementasinya. Namun kondisi aktual umat Nabi SAW di awal kerasulan itu memang masih amat kuat dililit oleh belenggu keummian.
Dalam konteks kondisi seperti ini kehendak yang tersimpul dalam firman Sang Khaliq, لتعلموا عدد السنين والحساب , menjadi begitu jauh dari jangkauan. Kesenjangan tersebut tergambar dengan fair dalam positioning keadaan yang dibuat oleh Nabi SAW di atas, yaitu kesenjangan antara realitas ketidakmampuan menghisab” dan ”idealitas implementasi ma wa>qi>t t aqwi >m berbasis pendekatan hisab”. Karena itu substansi penting dari positioning yang dibuat oleh Nabi SAW itu adalah penyadaran bahwa realitas aktual umat kala itu dalam kaitannya dengan implementasi ma wa>qi>t adalah sungguh masih jauh dari kualifikasi ideal.
Di tengah belenggu keummian, umat memang tidak akan dapat berbuat —dan bahkan tidak punya pilihan— lain untuk bisa mendeteksi batas-batas ma wa>qi>t kecuali mengobservasi atau merukyat langsung fenomena alam yang menjadi acuannya. Nabi SAW pun lalu mengeluarkan instruksi yang selaras dengan positioning yang dibuatnya sendiri mengenai kemampuan mereka, yaitu agar mereka menyusun t aqwi >m berdasarkan hasil observasi (rukyat). Bersamaan dengan itu beliau instruksikan pula agar mereka menghindari spekulasi. Beliau menyuruh menggenapkan saja umur bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari bilamana rukyat terkendala awan.
Maksud arahan-arahan Nabi SAW seputar implementasi ma wa>qi>t di awal perjalanan itu dapat dirangkum dalam rumusan pemaknaan sebagai berikut: Satu bulan itu umurnya kadang 29 hari, kadang 30 hari. Acuan penentu siklus bulan ialah kemunculan hilal. Berhubung Bulan dan Matahari beredar dengan perhitungan dan posisi-posisinya terukur, maka moment kemunculan hilal pada dasarnya bisa diketahui dengan perhitungan (hisab). Namun kita ini masih ummi, belum punya kemampuan yang memadai di bidang tulis-menulis dan perhitungan. Karena itu untuk mendeteksi kemunculan hilal, kita tidak bisa melakukan cara lain kecuali merukyat (mengobservasi) Bulan secara langsung. Jika kita melihat kemunculan hilal, berarti siklus bulan baru telah dimulai. Jika tidak, misalnya karena pandangan kita terhalang awan, maka janganlah kita berspekulasi untuk menetapkan bahwa siklus bulan baru telah dimulai. Kita genapkan saja hitungan umur bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari (istikma>l), dan kita tetapkan bahwa siklus bulan baru akan dimulai pada petang hari esoknya.
Dengan demikian, sejauh berkenaan dengan cara mengetahui batasbatas mawaqit, tidak ada satu pun instruksi Nabi SAW yang relevan untuk dibawa kepada makna yang mengarah pada penggunaan metode hisab atau  perhitungan astronomi. Kendati begitu, sekali lagi, instruksi-instruksi Nabi SAW itu mesti diletakkan tidak di ujung perjalanan (sebagai sesuatu yang sudah final), melainkan justeru starting point dari suatu perkembangan bertahap menuju keadaan yang diidealkan al-Qur’an, yakni implementasi ma wa>qi>t dengan pendekatan perhitungan (hisab astronomi).
Dari perspektif disiplin fisika astronomi, arahan-arahan Nabi SAW di awal perjalanan tersebut sungguh telah berada pada track yang benar. Fisika adalah bangunan ilmu yang tegak di atas data pengamatan (rukyat) yang kemudian dianalisis secara kritis lalu disimpulkan secara rasional. Dalam fisika tidak ada tempat bagi spekulasi karena semua pernyataan harus didukung oleh pembuktian observasional (rukyat) atau eksperimental, atau secara tidak langsung dapat ditunjukkan kebenarannya secara matematis. Dari pernyataan yang didukung oleh pembuktian observasional (rukyat) sampai ke natijah yang kebenarannya ditunjukkan secara matematik (hisab) tersebut terdapat empat rangkaian kegiatan yang merupakan unsur-unsur pokok dalam fisika, yaitu 1) observasi (rukyat) itu sendiri, 2) kuantifikasi (pengukuran), 3) analisis, dan 4) kesimpulan.
Observasi dilakukan terhadap bagian alam yang ingin diketahui sifat dan kelakuannya. Unsur ini tidak dapat digantikan dengan pengkhayalan kecuali bila didukung oleh hasil perhitungan matematik yang dijabarkan dari kelakuan-kelakuan alam lainnya yang telah diketahui. Kuantifikasi ialah pengukuran secara kuantitatif, bukan kualitatif. Besaran yang dapat diukur dinamakan Besaran Fisis. Kalau dalam suatu proses alamiah terdapat banyak besaran fisis yang tampil berhubungan satu sama lain, maka hubungan antar besaran-besaran fisis itu dapat dirumuskan dalam bentuk matematik. Data yang terkumpul dari berbagai pengukuran atas besaranbesaran fisis yang terlibat itu kemudian dianalisis dengan pemikiran yang kritis, lalu dievaluasi hasil-hasilnya dengan penalaran yang sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional.
Empat rangkaian kegiatan di atas adalah gambaran kerja ilmiah (ijtihad) para fisikawan astronomi (falakiyu>n) untuk, antara lain, kebutuhan penentuan secara kuantitatif ruang dan waktu (tawqi>t al-maka>n wa alzama>n). Jadi, mereka memulai kerja ilmiahnya dengan rukyat (observasi) sebagaimana arahan Nabi SAW kepada kaum muslimin angkatan pertama (para sahabat). Namun karena tidak lagi dibelenggu oleh kondisi ummi, rukyat atau observasi mereka tidak sekedar berorientasi pada lita’lamu> ‘adad al-sini>n (supaya kamu sekalian mengetahui bilangan tahun), melainkan ditingkatkan hingga ke tahap wa (lita’lamu>) al-hisa>b (dan supaya kamu sekalian mengetahui hisab atau perhitungan tahun) sebagaimana yang diidealkan al-Qur’an.
Pada tahap lanjut ini rukyat dilakukan tidak sebatas untuk mengetahui terbenam/tidaknya Matahari atau muncul/tidaknya hilal, tetapi lebih jauh dari dari itu, di antaranya untuk memahami hukum Allah (sunnatullah) yang mengikat pergerakan benda-benda langit dari sisi ruang dan waktu (mawa>qi>t ). Dengan memahami hukum Allah yang mengatur kelakukan benda-benda langit, maka di posisi mana Matahari akan terbenam dan sebelah mana Hilal akan muncul serta kapan waktunya akan bisa diketahui melalui perhitungan tanpa perlu bergantung terus pada observasi (rukyat) secara langsung. Bukankah benda-benda langit yang menjadi acuan ma wa>qi>t tersebut, dirukyat atau tidak, akan selalu taat bergerak dan berada pada posisi (manzilah) yang tepat sesuai dengan hukum Allah yang mengikat kelakuannya?
Melalui pintu pengenalan terhadap sunnatullah —yang menurut penegasan al-Qur’an, kita tidak akan menemukan perubahan padanya— natijah kerja ijtihad para ilmuwan hisab astronomi mengenai batas-batas ma wa>qi>t menjadi bersifat preskriptif (bisa dihasilkan sebelum peristiwa alam yang menjadi acuan ma wa>qi>t itu sendiri nyata terjadi) dan, dengan sendirinya, juga bersifat jangka panjang. Dengan kata lain pedoman implementasi ma wa>qi>t bisa dibuat lebih dahulu dalam bentuk jadwal mawa>qi>t.
Bagi para mukallaf, beramal dengan berpedoman pada jadwal ma wa>qi>t tentu terasa lebih memudahkan. Tentulah mudah dibayangkan bagaimana sulitnya bila setiap hari mereka harus turun ke pantai atau naik ke bukit guna mendeteksi momen terbenamnya matahari dan terbitnya fajar demi bisa mendapatkan sunahnya menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur. Belum lagi kalau mareka harus kehilangan peluang tersebut karena langit berselimut mendung atau bahkan berhiaskan hujan. Padahal al-Qur’an (al-Baqarah, 185) menegaskan, ”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagimu” (yuri>dulla>hu bikum al-yusr wa la yuri>du bikum al-’usr). Implementasi ma wa>qi>t berbasis perhitungan (hisab astronomi) itu — dengan demikian dan paling tidak— akan mengantar para mukallaf memasuki ruang aktualisasi dua ira>dah ila>hiyah (kehendak teologis) Sang Khaliq.
Pertama, ira>dah agar para mukallaf sebagai khalifahNya mencerminkan kualitas-kualitasNya di Bumi. Di antara kualitasNya ialah al-H{asi>b (Yang Maha Menghitung). Syariat ma wa>qi>t yang digariskanNya bercorak astronomik itu adalah salah satu ruang manifestasi bagi mereka untuk mencerminkan kualitas tersebut. Kedua, ira>dah yang berkenaan dengan treatment al-yusr (kemudahan) buat para mukallaf. Bila dalam implementasi ma wa>qi>t yang bercorak astronomik itu mereka berhenti hanya pada pendayagunaan hidayah indera (rukyat), maka paling jauh mereka hanya akan menjangkau bagian permukaan dari treatment al-yusr-Nya itu. Namun jika mereka melanjutkannya dengan mendayagunakan hidayah akal (hisab), niscaya mereka akan berlabuh dalam kawasan inti treatment al-yusr yang menghadirkan bukan saja kelegaan dan kelapangan, melainkan lebihlebih adalah keluhuran harkat-martabat hamba berperadaban ilmiah yang Ia banggakan di hadapan para malaikatNya.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Secara garis besar, Ilmu Falak dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Falak Naz}ariy atau ‘Ilmiy dan Ilmu Falak ‘Amaliy. Ilmu Falak Naz}ariy atau‘Ilmiy mempelajari seluk-beluk benda-benda langit dari segi bentuk, ukuran, keadaan pisik, posisi, gerakan, dan saling hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ilmu Falak ‘Amaliy memanfaatkan hasil-hasil penyelidikan Ilmu Falak ‘Ilmiy tentang pola gerakan benda-benda langit untuk kepentingan praktis, di antaranya untuk menghitung tibanya waktu-waktu salat, saat  kemunculan Hilal untuk penentuan awal bulan kamariah, sudut arah kiblat, dan sebagainya.
Secara historik Ilmu Falak lahir dan tumbuh-kembang berseiring dengan perkembangan penyelidikan terhadap benda-benda langit yang telah dilakukan sejak ribuan tahun sebelum masehi oleh bangsa-bangsa berperadaban tua seperti Mesir, Mesopotamia, Babilonia, dan Tiongkok. Pedagang-pedagang dari Funisia membawa ilmu falak dari Babilonia ke Yunani hingga pada abad kedua masehi Claudius Ptolemaeus berhasil menghimpun pengetahuan tentang bintang-bintang dalam Tabril  Magesthi. Pada abad ke-8 masehi atau satu abad sepeninggal Nabi Muhammad SAW, dunia Islam mengambil alih ilmu falak tersebut dari Yunani. Dari dunia Islam, ilmu falak menyeberang ke Eropah, dibawa oleh orng-orang Eropah yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba hingga di Eropah muncul Nicolas Copernicus (1473-1543) yang mencetuskan teori Heliosentris. Dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564-1642), ilmu falak kian maju lebih jauh lagi.
Keberadaan ilmu falak sebagai ilmu yang berkembang meniscayakan lahirnya berbagai sistem hisab yang dari segi derajat akurasinya lazim diklasifikasikan menjadi tiga: Taqri>biy (derajat akurasinya rendah), Tah}qi>qiy (derajat akurasinya sedang), dan Tadhqi>qiy (derajat akurasinya tinggi)

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai ilmu falak, semoga dapat bermanfaat bagi rekan pembaca sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.  

No comments:

Post a Comment