Sunday, June 24, 2018

Makalah Psikologi tentang Intelegensi dan Kepribadian


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan belajar dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes. Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap", “mengerti”, atau “mereka-reka”-apa yang tejadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi inteligensi menurut versi MSI merujuk kepada faktor “G” (genera//umum) daripada inteligensi itu.
Setiap intelegensi memiliki urutan perkembangan tersendiri, yang pertumbuhan dan kemunculannya berbeda satu sama lain. Sebagai contoh intelegensi musikal tubuh paling awal dalam kehidupan manusia, tetapi kualitasnya akan tergantung pada interaksi dengan lingkungan bagaimana cara mengembangkannya.[1]
Tiap individu (manusia maupun hewan) mempunyai kekhususannya sendiri yang membedakannya dengan individu- individu lainnya, sudah lama disadari orang. Kalau kita pandangi orang-orang yang berada di sekitar kita, maka secara sepintas lalu saja sudah akan tampak bahwa mereka itu berbeda-beda satu sama lain. Ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang tampan, ada yang cantik, ada yang kurang menarik wajahnya, ada yang kuat, ada yang lemah dan sebagainya. Secara lebih mendalam, perbedaan individual ini dipelajari dalam psikologi dan menjadi dasar dari hal-hal yang akan dibicarakan dalam bab ini, yaitu kekhususan individual dalam hal kecerdasan (inteligensi) dan kepribadian.[2]


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :  
1.      Apa yang dimaksud dengan intelegensi?
2.      Apa saja faktor yang mempengaruhi intelegensi?
3.      Apa saja tipe-tipe intelegensi?
4.      Apa yang dimaksud dengan kepribadian?
5.      Bagaimana pembentukan kepribadian?
6.      Bagaimana ekspresi dan jenis kepribadian?

C.    Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan intelegensi
2.      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi intelegensi
3.      Untuk mengetahui tipe-tipe intelegensi
4.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kepribadian
5.      Untuk mengetahui pembentukan kepribadian
6.      Untuk mengetahui ekspresi dan jenis kepribadian


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Inteligensi
1.      Pengertian Inteligensi
Meskipun semua orang tahu apa yang kira-kira dimaksudkan dengan inteligensi atau kecerdasan itu, namun ternyata sekali untuk mendefinisikan konsep ini dengan tepat. Banyak definisi yang diajukan oleh para pakar psikologi, namun satu sama lain berbeda sehingga tidak memperjelas persoalan.[3]
Claparde dan W. Stern mengatakan bahwa inteligensi adalah “kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi barn". K. Buhler, mengatakan bahwa inteligensi adalah “perbnatan yang disertai dengan petnahaman atau pengertian”. [4]
David Wechler (lahir 1986), seorang ahli di bidang ini memberikan definisi mengenai inteligensia mula-mula sebagai “kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya". Pada kesempatari lain ia mengatakan bahwa inteligensi adalah “kemampuan untuk bertindak secara terarak. berpikir secara rational, dan mengbadapi lingkungan- nya secara sfektif’.
Menurut pendapat Munandar U, Intelegensi meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, ekspresi mental, keterampilan pengambilan sesuatu keputusan dan kesinambungan serta integritas intelektual secara umum.[5]
Dari definisi-divinisi yang disajikan di atas, kita menarik beberapa kesimpulan yang akan menjelaskan ciri-ciri inteligensi: [6]
a)      Inteligensi merupakan suatu kemampuan mentai yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disinpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
b)      Inteligensi tercermin dari tindakan yang terarah (lihat no. I) pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya.[7]
Edouard Claparede (1873-1940) seorang pakar psikologi pendidikan Prancis dan William Stern (1871-1938), seorang pakar psikologi Jerman, penemu konsep IQ, misalnya, mendefinisikan inteligensi secara sangat fungsional dan terbatas, yaitu: “Inteligensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru” (dalam Piaget, 1959). Di lain pihak, Karl Biihler (1879-1963) pakar psikologi Gestalt yang terkenal dengan eksperimennya tentang inteligensi pada hewan, memberi definisi yang sangat luas, yaitu: “Inteligensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian” (dalam Bugental, Wegrocki, Murphy, Thomae, 1966).[8]
Secara garis besar dikemukakan berbagai konsepsi mengenai intelegensi, "apakah intelegensi itu?". Konsepsi-konsepsi pada dasarnya digolongkan menjadi lima kelompok :[9]
a)      Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
b)      Konsepsi yang bersifat pragmatis
c)      Konsepsi yang didasarkan atas analisa faktor
d)     Konsepsi yang bersifat operasional
e)      Konsepsi yang didasarkan pada analisis fungsional
Menurut arah dan hasilnya, intelegensi ada 2 macam, yakni :
a)      Intelegensi praktis, yakni intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit dalam suatu kerja, yang berlangsung secara cepat dan tepat
b)      Intelegensi teoritis, ialah intelegensi untuk dapat mendapatkan suatu fikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat.[10]
Definisi-definisi lain juga tak kalah bervariasinya, seperti yang disampaikan oleh Alfred Binet (1857-1911), psikolog Prancis, salah satu penemu pertama alat ukur inteligensi. Binet lebih menggambarkan, bukan mendefinsikan, inteligensi sebagai: "... penilaian, atau disebut juga akal yang baik (good sense), berpikir praktis (practical sense), inisiatif, kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri kepada keadaan... kritik pada diri sendiri (auto-critique).'’ Di lain pihak, David Wechsler (1896-1981) psikolog Amerika yang kondang sebagai pembuat alat pengukur IQ menyatakan bahwa inteligensi adalah: "... sekumpulan atau keseluruhan kemampuan (capacity) individual untuk bertindak dengan tujuan, berpikir secara rasional dan berurusan secara efektif dengan lingkungannya." Sir Cyril Lodowic Bur: (1883-1971), pakar psikologi pendidikan Inggris, hanya menyatakan inteligensi sebagai: “...kemampuan kognitif umum bawaan.”[11]
Perdebatan tentang definisi ini tidak kunjung selesai. Pada tahun 1990-an pun, ketika para pakar mencoba untuk bersepakat mengenai apakah yang dimaksud dengan inteligensi itu, masih terdapat dua kelompok definisi, yaitu versi kelompok 52 peneliti inteligensi yang menamakan diri Mainstream Science on Intelligence, 1994, dan versi APA (American Psychological Association) 1995.
Versi Mainstream Science on Intelligence (MSI), 1994, mencoba memberikan definisi yang merupakan kompilasi dari pendapat- pendapat ke-52 penandatangan naskah definisi itu, yaitu bahwa inteligensi adalah “...suatu kemampuan mental yang sangat umum yang antara lain melibatkan kemampuan akal, merencana, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami ide-ide yang kompleks, cepat belajar, dan belajar dari pengalaman".
Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan belajar dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes. Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap", “mengerti”, atau “mereka-reka”-apa yang tejadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi inteligensi menurut versi MSI merujuk kepada faktor “G” (genera//umum) daripada inteligensi itu.[12]
Di sisi lain definisi versi MSI itu dianggap oleh sebagian pakar inteligensi yang lain sebagai sekadar sebuah daftar dari berbagai kemampuan yang diidentifikasi atau diajukan oleh para anggota kelompok 52 sendiri dan dikumpulkan menjadi satu. Dengan demikian, definisi itu diragukan fungsinya sebagai definisi. Oleh karena itu, versi APA 1995 tidak memberikan suatu definisi, melainkan hanya menyebutkan tentang perbedaan antarindividu dalam memahami sesuatu (ide, lingkungan, masalah dan sebagainya). Perbedaan itu tak konsisten, karena ada individu yang pandai dalam satu bidang, tetapi kurang pandai di bidang lainnya. Namun, hal yang menyebabkan perbedaan kemampuan antarindividu itulah yang disebut inteligensi, sementara definisinya sendiri tak mungkin untuk dirumuskan, karena jika ada selusin pakar inteligensi yang membuat definisi, maka ada selusin pula definisi tentang inteligensi yang akan dihasilkan. Dengan demikian, definisi versi APA ini lebih mengutamakan faktor “S” (specific, special/khusus) dari inteligensi.[13]
Karena nyatanya sukar sekali mendefinisikan inteligensi, maka saya.di sini akan memberikan ilustrasi saja tentang apa yang dimaksud dengan inteligensi. Ilustrasi memang tidak dapat membatasi dengan tegas tentang suatu hal, tetapi setidak-tidaknya ia dapat memberi gambaran yang jelas mengenai hal itu. Kalau kitamemandangi sebuah kursi, misalnya, makaperbuatan kitaitu disebut sebagai persepsi. Bayangan kursi itu, melalui serabut-adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru” (dalam Piaget, 1959). Di lainpihak, Karl Btihler (1879-1963) pakar psikologi Gestalt yang terkenal dengan eksperimennya tentang inteligensi pada hewan, memberi definisi yang sangat luas, yaitu: “Inteligensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian” (dalam Bugental, Wegrocki, Murphy, Thomae, 1966).[14]
Definisi-definisi lain juga tak kalah bervariasinya, seperti yang disampaikan oleh Alfred Binet (1857-1911), psikolog Prancis, salah satu penemu pertama alat ukur inteligensi. Binet lebih menggambarkan, bukan mendefinsikan, inteligensi sebagai: "... penilaian, atau disebut juga akal yang baik (good sense), berpikir praktis (practical sense), inisiatif, kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri kepada keadaan... kritik pada diri sendiri (auto-critique).” Di lain pihak, David Wechsler (1896-1981) psikolog Amerika yang kondang sebagai pembuat alat pengukur IQ. menyatakan bahwa inteligensi adalah: "... sekumpulan atau keseluruhan kemampuan (capacity) individual untuk bertindak dengan tujuan, berpikir secara rasional dan berurusan secara efektif dengan lingkungannya.” Sir Cyril Lodowic Burt (1883-1971), pakar psikologi pendidikan Inggris, hanya menyatakan inteligensi sebagai: "...kemampuan kognitif umum bawaan.”
Perdebatan tentang definisi ini tidak kunjung selesai. Pada tahun 1990-an pun, ketika para pakar mencoba untuk bersepakat mengenai apakah yang dimaksud dengan inteligensi itu, masih terdapat dua kelompok definisi, yaitu versi kelompok 52 peneliti inteligensi yang menamakan diri Mainstream Science on Intelligence, 1994, dan versi APA (American Psychological Association) 1995.
Versi Mainstream Science on Intelligence (MSI), 1994, mencoba memberikan definisi yang merupakan kompilasi dari pendapat- pendapat ke-52 penandatangan naskah definisi itu, yaitu bahwa inteligensi adalah "...suatu kemampuan mental yang sangat umum yang antara lain melibatkan kemampuan akal, merencana, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami ide-ide yang kompleks, cepat belajar, dan belajar dari pengalaman”.
Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan belajar dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes. Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap”, “mengerti”, atau “mereka-reka”-apa yang tejadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi inteligensi menurut versi MSI merujuk kepada faktor “G” (genera//umum) daripada inteligensi itu.[15]
Di sisi lain definisi versi MSI itu dianggap oleh sebagian pakar inteligensi yang lain sebagai sekadar sebuah daftar dari berbagai kemampuan yang diidentifikasi atau diajukan oleh para anggota kelompok 52 sendiri dan dikumpulkan menjadi satu. Dengan demikian, definisi itu diragukan fungsinya sebagai definisi. Oleh karena itu, versi APA 1995 tidak memberikan suatu definisi, melainkan hanya menyebutkan tentang perbedaan antarindividu dalam memahami sesuatu (ide, lingkungan, masalah dan sebagainya). Perbedaan itu tak konsisten, karena ada individu yang pandai dalam satu bidang, tetapi kurang pandai di bidang lainnya. Namun, hal yang menyebabkan perbedaan kemampuan antarindividu itulah yang disebut inteligensi, sementara definisinya sendiri tak mungkin untuk dirumuskan, karena jika ada selusin pakar inteligensi yang membuat definisi, maka ada selusin pula definisi tentang inteligensi yang akan dihasilkan. Dengan demikian, definisi versi APA ini lebih mengutamakan faktor “S” (specific, speciaZ/khusus) dari inteligensi.
Karena nyatanya sukar sekali mendefinisikan inteligensi, maka saya.di sini akan memberikan ilustrasi saja tentang apa yang dimaksud dengan inteligensi. Ilustrasi memang tidak dapat membatasi dengan tegas tentang suatu hal, tetapi setidak-tidaknya ia dapat memberi gambaran yang jelas mengenai hal itu.
Kalau kita memandangi sebuah kursi, misalnya, maka perbuatan kitaitu disebut sebagai persepsi. Bayangan kursi itu, melalui serabut-serabut syaraf tertentu diproyeksikan di otak sehingga kemudian kita dapat melihat kursi. Tetapi, kalau saat kita melihat kursi itu, kita juga memerhatikan jenis kayunya, teknik pembuatannya, dan memikirkan bagaimana caranya membuat kursi itu agar lebih bagus, maka perbuatan itu sudah termasuk inteligensi. Bayangan tentang kursi tidak lagi hanya diproyeksikan melalui syaraf-syaraf tertentu ke otak kita, melainkan melalui berbagai sistem yang rumit dalam otak dan susunan syaraf kita, ditangkap dan diolah serta dianalisis, untuk kemudian kita boleh bereaksi secara lebih efektif dan efisien. Seorang pengrajin kayu yang cerdas, setelah melihat-lihat model- model kursi di pameran, dia bisa membuat kursi yang lebih bagus daripada yang ada di pameran.[16]
Contoh lain, seseorang mengamati taman bunga. Ini adalah persepsi. Selanjutnya, jika dia mulai mengamati bunga-bunga yang sejenis atau mulai menghitung berapa bunga berwarna merah yang ada di taman itu, maka perbuatannya sudah merupakan perbuatan yang berinteligensi.
Dengan demikian, inteligensi itu adalah kemampuan untuk mengolah lebih jauh lagi hal-hal yang kita amati. Kemampuan ini terdiri atas dua jenis, yaitu kemampuan umum dan kemampuan khusus.
Kemampuan khusus adalah kemampuan dalam bidang-bidang tertentu. L.L. Thurstone (1887-1955), seorang pakar psikometri (ilmu tentang pengukuran psikologi), dengan teknik statistik yang dinamakan “analisis faktor," menemukan tujuh kemampuan mental dasar (primary mental abilities), yaitu pemahaman lisan (verbal comprehension), kefasihan kata-kata (word fluency), kemampuan angka-angka (numberfacility), penglihatan ruang (spatial visualization), ingatan asosiatif (associative memory), kecepatan persepsi (perceptual speed), dan penalaran (reasoning) (dalam Martin, 1997).
Di samping kemampuan khusus, terdapat kemampuan umum. Kemampuan umum ini mendasari kemampuan-kemampuan khusus, tetapi, ia bukan merupakan kumpulan, gabungan atau penjumlahan kemampuan-kemampuan khusus belaka, melainkan merupakan kualitas tersendiri. Dua orang yang sama cerdasnya, dapat menjadi ahli dalam dua bidang yang berbeda, misalnya yang seorang menjadi ahli ilmu pasti dan yang lain menjadi ahli bahasa. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman, minat, dan kesempatan pada tiap-tiap orang itu. Jadi, dua orang yang kemampuan umumnya kira-kira setaraf, dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan ' khusus yang berbeda.[17]
Dulu (sampai dengan tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang juga masih) orang sangat percaya pada kemampuan umum, yang biasanya dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient). Anak-anak dengan IQ. yang tinggi (di atas 120) dianggap punya potensi yang lebih besar untuk berhasil dalam pelajaran dan karenanya punya masa depan yang lebih baik. Karena itu sekolah-sekolah berlomba- lomba mensyaratkan calon muridnya untuk di-tes IQdulu dan yang IQ-nya di atas 120 langsung diterima. Bahkan di sekolah-sekolah (justru sedang jadi trend di Indonesia di tahun 2000-an ini), dibina kelas akselarasi, yaitu kelas khusus anak berbakat, yang dipersiapkan untuk menyelesaikan sekolahnya (SMP atau SMA) dalam waktu dua tahun saja, dengan nilai yang tinggi. Yang menarik, penelitian- penelitian dan pengamatan sehari-hari membuktikan bahwa yang dulu pandai di kelas, atau punya IQ_tinggi, sekarang (ketika devvasa) tidak terdengar kabar beritanya, sementara yang dulu biasa-biasa saja, bahkan cenderung nakal, justru menduduki jabatan penting, atau jadi profesional kelas nasional, bahkan kelas dunia.
Karena itu, kecenderungan Ilmu Psikologi sekarang tidak lagi mengandalkan teori faktor “G”, tetapi beralih ke apa yang dinamakan "Kecerdasan Majemuk” atau MI (Multiple Intelligence). Konsep MI ini dipopulerkan oleh Howard Gardner (1943 - seorang psikolog dari Harvard University, AS, dalam bukunya "Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences” (1983). Dalam bukunya, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan (inteligensi) tidak terdiri dari satu yang umum dan beberapa yang khusus, melainkan memang benar-benar ada beberapa inteligensi khusus yang masing- masing mandiri, yaitu (dalam buku versi 1983) kecerdasan bahasa {linguistic), logika-matematika (logical-mathematical), ruang (spatial), gerak tubuh (bodily-kinesthetic), musik (musical), antarpribadi (interpersonal) dan ke dalam diri (intrapersonal). Dalam versi 1999 ditambah satu lagi, yang ke delapan, yaitu kecerdasan tentang alam (naturalistic intelligence).[18]
Teori MI dari Howard Gardner ini jadi populer, karena dia bisa menjelaskan mengapa Titik Puspa yang sekolahnya terbatas bisa jadi jenius musik, sementara jangan surah B.J. Habibie menyanyi. Dalam pendidikan, guru-guru bisa mengkhususkan diri pada kemampuan siswa sehingga murid yang jago olahraga lebih diberi prioritas untuk berlatih sehingga bisa mewakili sekolah dalam pertandingan antarsekolah, sampai ke tingkatprovinsi atau nasional, walaupun nilai matematikanya pas-pasan. Sebaliknya, juara pidato dalam Bahasa Inggris tidak perlu disuruh koprol oleh guru Olahraga, sampai kepalanya benjol. Karena itulah di AS mata pelajaran untuk sekolah (SD sampai SMA) hanya terdiri dari 4-5 pelajaran wajib, sisanya pelajaran pilihan yang boleh dipilih oleh siswa sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing.
Dengan demikian, seorang yang idiot atau autis sekalipun bisa jadi sangat cerdas dalam bidang tertentu (misalnya menghapal buku telepon, menabuh drums dan lain-lain). Sayang sekali sistem pendidikan di Indonesia masih mengharuskan siswa untuk menelan belasan pelajaran sekaligus, dan semuanya wajib.
Walaupun demikian, Terori MI dari Howard Gardner ini menuai kritik juga, terutama karena Gardner dianggap kurang mendasarkan teorinya pada penelitian, melainkan lebih percaya pada pengamatan dan intuisinya saja. Karena itu, berbeda dari Thurstone yang tetap bertahan pada tujuh faktor saja, Howard Gardner menambah jenis-jenis Ml-nya sehingga sekarang sudah sembilan, bahkan mungkin 11. Selain itu, untuk setiap jenis MI belum dikembangkan alat ukurnya secara khusus.
Sekarang kita kembali ke taraf kecerdasan umum. Teori lama mengatakan bahwa perbedaan tingkat kecerdasan itu sudah bawaan sejak lahir. Di samping orang-orang yang ditakdirkan pandai, terdapat pula orang-orang yang bodoh sejak lahirnya, sedangkan yang terbanyak adalah yang bertaraf rata-rata. Menyadari hal ini, sejak lama sudah diusahakan dalam psikologi untuk mengukur taraf inteligensi pada manusia. Setelah melalui beberapa eksperimen, terbukti bahwa mengukur taraf inteligensi secara langsung tidaklah mungkin. Karena konsep mengenai inteligensi itu sendiri tidak pernah jelas.
Meskipun demikian, para sarjana percaya bahwa taraf inteligensi itu dapat diperkirakan melalui pengukuran terhadap beberapa aspek kemampuan khusus tertentu. Dalam psikologi, orang pertama yang mengungkapkan konsep IQ_ adalah William Stern. Konsepnya sederhana saja, yaitu:[19]
IQ.= (Usia Mental [UM] : Usia Kalender [UK]) x 100
Normalnya, seorang anak yang berusia kalender enam tahun, harus mampu melaksanakan hal-hal yang biasa dilakukan oleh anak-anak lain yang berumur enam tahun. Jika anak-anak umur enam tahun sudah bisa menghitung sampai 100, maka ia pun harus bisa menghitung sampai 100. Demikian pula jika anak-anak lain sudah mampu membaca, ia pun harus mampu membaca. Jika demikian halnya, maka usia mental anak itu enam tahun juga sehingga IQ.-nya adalah (6:6) x 100 = 100.
Sebaliknya, jika anak yang berusia kalender enam tahun itu sudah bisa melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh anak umur tujuh tahun (misalnya sudah bisa menambah dan mengurangi sampai angka 1000), maka IQ.-nya adalah (7:6) x 100 = 116,7; atau jika ia baru mampu melakukan pekerjaan anak umur lima tahun (misal baru bisa menghitung sampai 10), padahal usia kalendernya sudah enam tahun, maka IQ-nya adalah (5:6) x 100 = 83,3.
IQ_90-110 dianggap normal, sedangkan di atas 110 tergolong di atas rata-rata, 120 ke atas adalah superior, 130 berarti sangat superior dan di atas 140 tergolong jenius (Einstein ber-IQJ60). Di sisi lain, IQkurang dari 90 digolongkan sebagai di bawah rata-rata di bawah 70 terbelakang (dulu disebut imbesil atau debil), dan di bawah 55 disebut sangat terbelakang (dulu disebut idiot).[20]
Namun, teknik menghitung IQ. dengan membagi UM dengan UK (karena itulah disebut quotient, artinya “hasil penghitungan”), hanya dapat dilakukan pada anak-anak. Pertama, karena perintah- perintah sederhana untuk memperkirakan kecerdasan (membaca, menghitung, mengikuti perintah, melakukan sesuatu dan seba- gainya) hanya bisa dilakukan pada anak-anak. Kedua, karena perbedaan usia pada orang dewasa tidak lagi bisa menjadi indikator perbedaan kemampuan inteligensi. Orang berumur 20 tahun, 40 atau 60 tahun tidak jauh berbeda dalam hal kemampuan mentalnya. Kalaupun ada perbedaan lebih disebabkan oleh faktor pendidikan atau faktor sosial-ekonomi ketimbang faktor usia. Walaupun demikian, faktanya tetap saja ada orang yang lebih pandai atau kurang pandai dibandingkan keseluruhan orang lain seusianya, atau yang berasal dari kelompok yang sama.
Karena itu, pengukuran inteligensi untuk orang dewasa dilakukan dengan alat-alat psikodiagnostik (psikometri), yang oleh orang awam lebih dikenal dengan nama psikotes, yaitu serangkaian daftar pertanyaan atau tugas (disebut “baterai tes”) untuk mengukur aneka kemampuan, mulai dari analisis verbal sampai dengan logika numerik. Alat-alat psikometri yang klasik untuk mengukur IQantara lain dikembangkan oleh Wechsler & Bellevue, Stanford & Binnet, dan Terman & Merril. Tes-tes klasik ini menggunakan gabungan teori faktor “G” dan “S”, yaitu mengukur sejumlah kemampuan yang berbeda-beda dan skor total dari semua pengukuran faktor “S” dikonversikan menjadi nilai IQ, yang mencerminkan faktor “G” dari inteligensi orang yang bersangkutan. Sama halnya dengan William Stern, tes-tes IQ klasik ini dan tes-tes turunannya, menggunakan skor 0 (nol) sampai dengan 200, dengan bilangan 100 sebagai titik- tengah atau rata-rata.
Selanjutnya, kalau dinyatakan dalam grafik (lihat gambar), maka gambaran pembagian tingkat-tingkat inteligensi tersebut di atas akan membentuk sebuah kurva berbentuk bel (disebut “kurva intelligence adalah akumulasi informasi, keterampilan-keterampilan dan strategi yang telah dipelajari selama hidup dan ciapat diterapkan untuk memecahkan masalah.
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
a)      Faktor Pembawaan
Perdebatan antara kaum nativis dan kaum empiris dalam ilmu psikologi, tidak terbatas pada isu tentang inteligensi saja. Cesare Lombrosso (1836-1906), misalnya, terkenal dengan teorinya mengenai “delinquento nato”, yaitu bahwa penjahat sudah mem- punyai watak jahat sejak lahirnya, yang tercermin pada bentuk tengkoraknya (Fisiognomi).[21]
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keltfarga, atau bersanak sauda- ra, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi tinggi (± 0,50). Di antara kembar korela- si sangat tinggi (± 0,90), sedangkan di antara individu-individu yang tidak bersanak saudara korelasinya rendah sekali (± 0,20).[22]
Bukti lain dari adanya pengaruhbsirwii- an adalah hasi-hasil penelitian terhadap anak-anak yang diadopsi. IQ mereka ternyata masih biokorelasi tinggi dengan ayah/ibu yang sesungguhnya (bergerak antara + 0,40 sampa + 0,50). Sedangkan korelasi dengan orang tua angkatnya sa- ngat rendah (+ 0,10 sampai + 0,20).
Selanjutnya, studi terhadap kembar yang diasuh secara terpisah juga menun- jukkan bahwa IQ mereka tetap berkore- lasi sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa walau lingkungan berpengaruh terhadap taraf kecerdasan seseorang, tetapi banyak hal dalam kecerdasan itu yang tetap tak terpengaruh.[23]
Tentu saja teori ini sudah tidak relevan lagi sekarang, karena sekarang diketahui bahwa kejahatan adalah hasil pengaruh berbagai faktor pada diri individu maupun lingkungannya (keadaan sosial, ekonomi, pendidikan, faktor kesempatan). Selain itu, bentuk kejahatan sekarang sudah meluas kepada white collar crime (pidana pegawai, non-kekerasan) dan cyber crime (pidana internet), tentu sudah lain pula wujud orang jahat itu di mata awam.
Selain Fisiognomi, ada beberapa “ilmu semu” lain yang me- mercayai bahwa sifat atau watak, bahkan nasib sudah ditentukan sejak lahir dan bisa diketahui melalui beberapa cara, seperti Frenologi (dengan mengukur tengkorak kepalanya), Palmistri (melalui garis-garis pada telapak tangannya) dan Astrologi (dengan memperhitungkan peredaran bintang-bintang). Semua itu seakan- akan ilmiah, tetapi sebetulnya tidak ilmiah, karena sangat sulit membuktikan kebenarannya. Itulah sebabnya mereka disebut sebagai “ilmu semu.”
Ada jenius-jenius yang berumur 14 tahun sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan matematika yang serba rumit, membuktikan bahwa faktor bakat tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebagai contoh Martin Zacharias Dase dari Jerman di abad ke-19. Ia mampu menghitung perkalian 79.532.853 dengan 93.758.479 dalam waktu 54 detik (Preston, 2005).
Inteligensi sebagai isu tak hanya dilihat sebagai ilmu pengetahuan saja, bahkan dipakai juga dalam isu-isu sosial. Inteligensi dipakai oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk mendiskreditkan kelompok lain (terkait ras dan etnis atau kelompok budaya lain), yang biasanya kelompok minoritas. Ini pernah dilakukan secara nyata oleh NAZI kepada kelompok non-Arya, bahkan pemerintah Amerika Serikat dengan kebijakan segregasi- nya pernah menegaskan inferioritas bangsa asli Amerika (Indian) (Kottak, 2006). Yang menarik adaiah hasil temuan Arthur Jensen (psikolog) (Jensen 1969; Herrnstein, 1971 dalam Kottak, 2006) yang menyatakan bahwa performa kelompok Afrika-Amerika dalam tes inteligensi lebih buruk daripada hasil kelompok Ero-Amerika. Tak hanya Jensen, ahli lainnya Richard Heinstein (psikolog) dan Charles Murray (sosiolog) pada tahun 1994 menyatakan bahwa jelas ada perbedaan IQ. pada kelompok kuiit putih dan kelompok Afrika-Amerika. Kondisi ini menurut mereka dikarenakan masalah genetik. Untuk itu perlu diperhatikan pula faktor lingkungan dan kebudayaan.[24]
b)      Faktor Lingkungan dan Kebudayaan
Di sisi lain, ada pendapat atau aliran yang percaya bahwa sifat manusia (termasuk kecerdasan dan kepribadian lainnya) sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Pandangan seperti ini disebut empirisme. John Locke, seorang filsuf Inggris (1632-1704), adalah salah satu tokoh empirisme yang pertama, yang mengatakan bahwa jiwa manusia waktu lahir adalah putih bersih, bagaikan kertas yang belum ditulisi atau bagaikan "tabula rasa” (arti harfiahnya: papan lilin). Akan menjadi apakah orang itu kelak, sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman apakah yang mengisi tabula rasa tersebut. Orang India pandai berdagang kain, orang Minang berdagang kaki-lima, orang Melayu piawai berpantun, anak maling jadi maling, anak dosen jadi dosen, dan seterusnya, itu semua menurut John Locke adalah karena faktor lingkungan.[25]
Walau ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup menimbulkan per- ubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidaklah dapat terlepas dari otak. Dengan kata lain perkembangan organik otak akan sangat mempenga- ruhi tingkat inteligensi seseorang. Di pihak lain, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu, ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan inteligensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting.[26]
Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intelegensi bisa berkurang karena tidak adanya bentuk rangsangan tertentu dalam awal-awal kehidupan individu. Skeels dan Skodak menemukan dalam studi longitudinal mereka bahwa anak- anak yang dididik dalam lingkurigan yang kaku, kurang perhatian, dan kurang dorongan lalu dipindahkan ke dalam lingkungan yang hangat, penuh perhatian, rasa percaya, dan dorongan, menunjukkan peningkatan skor yang cukup berarti pada tes kecerdasan.
Seorang tokoh empirisme lainnya, guru besar psikologi di Universitas John Hopkins, AS, yang kemudian mendirikan aliran “Behaviorisme", John B. Watson bahkan berani menyatakan- ini: “Berikan kepadaku sepuluh orang anak. Akan kujadikan kesepuluh orang anak itu masing-masing menjadi pengemis, pedagang, sarjana, dan sebagainya sesuai dengan kehendakku.” Jadi menurut Watson, karena jiwa manusia waktu lahir masih bersih, maka untuk menjadikan manusia itu sesuai dengan yang dikehendaki, kepada orang itu tinggal diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan. Asas ini bahkan bisa dipraktikkan kepada orang dewasa dengan teknik yang kita kenal sebagai brain washing. Dengan cara itu, orang normal bisa dibentuk menjadi radikal dan teroris (termasuk bom bunuh diri) untuk tujuan politik, baik yang berdasarkan ajaran ideologi tertentu (seperti komunisme), maupun yang berdasarkan ajaran agama tertentu.
Temuan dari Scarrs dkk. (1977, dalam Quinn, 1995) yang meneliti anak-anak dari kelompok Afrika-Amerika dari berbagai tempat tidak menemukan adanya perbedaan hasil IQ. Scarr membandingkan hasil tes anak-anak tadi dengan anak-anak keturunan Jerman. Akhirnya dicapai sdmulan bahwa perbedaan hasil IQ. hanya terjadi pada dua kelompok yang berasal dari kebudayaan yang amat berbeda. Hal ini tanipaknya senada dengan berbagai temuan hasil tes inteligensi yang ternyata setelah diselidiki lebih lanjut dikaitkan dengan kebutuhan hidup kelompoknya/ kebudayaannya. Indian Cree di Kanada lebih menekankan kemampuan hati-hati dan bertingkah laku baik (Berry dan Bennet, 1992 dalam Quinn, 1995), di sebagian Afrika kemampuan berburu yang diutamakan. Lain halnya di Cina, yang dipentingkan adalah kemampuan menulis kata (Rumpel, 1988 dalam Quinn, 1995).[27]
c)      Interaksi Bawaan dan Lingkungan: Konvergensi
Kedua pendapat tentang asal inteligensi di atas ada benarnya. Saat ini para peneliti inteligensi setuju bahwa inteligensi adalah hasil dari kontribusi lingkungan dan bawaan (Garret, 2003). Dari sudut pandang bawaan, para peneliti beranjak pada penelitian terhadap otak. Temuan ini dikuatkan oleh penelitian dengan menggunakan metode pemindaian otak dikenali beberapa area otak yang terkait dengan inteligensi. Pada tikus yang hidup di kandang yang penuh dengan mainan, lorong dan sejenisnya diketahui memiliki sambungan neuron-neuron yang lebih banyak dan lebih cepat belajar (Rampon dkk, 2000; Haier, 2003 dalam Feldman, 2008). Sebaliknya bahwa anak seorang dosen akan menjadi dosen juga, membuktikan bahwa lingkungan pun ada pengaruhnya.
Yang kurang dapat diterima adalah pendapat bahwa faktor pembawaan atau faktor lingkungan mutlak memengaruhi per- kembangan kehidupan seseorang. Kedua faktor itu sama ber- pengaruhnya. Pendapat terakhir ini dikenal sebagai teori konvergensi, dengan tokohnya William Stern (1938). Beberapa percobaan dapat membuktikan teori konvergensi ini. Francis Galton (1822-1911) membuktikan bahwa dua orang anak kembar identik, jika dididik dan dibesarkan dalam keluarga dengan lingkungan yang berbeda, akan mengembangkan sifat-sifat yang juga berbeda. Makin besar perbedaan lingkungannya, makin besar pula perbedaan sifat kedua anak kembar itu (dalam Bulmer, 2003). Jadi, pengaruh lingkungan cukup besar pada kedua anak itu. Di sisi lain, seseorang dengan taraf kecerdasan yang tergolong terbelakang, jika diberi didikan yang sistematis untuk menguasai pelajaran-pelajaran sekolah menengah, tidak akan menunjukkan kemajuan yang berarti sampai masa percobaan itu usai.
Jadi, terbukti dari kedua percobaan di atas bahwa lingkungan boleh berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi seseorang, tetapi dalam batas-batas baWaan yang ada.
3.      Tipe-tipe Intelegensi
Dalam tujuan tes intelegensi pada anak dikenal berbagai alat ukur. Alat ukur tersebut diantaranya adalah Tes Intelegensi (IQ), Tes Emosional (EQ), tes Spiritual (SQ), Psikotes dan lain sebagainya.[28] Semakin tinggi semangat orang untuk meraih sukses, maka semakin tinggi pula kebutuhan akan modal intelektual, emosional, psikologi minat dan bakat.  
Stamberg (1983) mengklaim bahwa terdapat tiga tipe intelegensi dalam "teori triarki" yang dikemukakan, yaitu :[29]
a)      Intelegensi analitis
1)      Berhubungan secara kasar dengan IQ
2)      Cenderung memiliki korelasi sedang dengan kreatif, namun rendah dengan praktis
b)      Intelegensi Kreatif
Fokusnya pada menemukan, menyelediki, menciptakan, dan membayangkan.
c)      Intelegensi praktis
1)      Menyelesaikan masalah yang mungkin dihadapi dalam suatu tugas tertentu contohnya mengganti ban
2)      Stanberg menemukan korelasi yang relatif rendah dengan skor IQ

B.     Kepribadian
1.      Pembentukan Kepribadian
Istilah bahasa Inggris untuk kepribadian adalah personality, yang berasal dari kata Latin “persona” yang artinya adalah topeng. Dulu topeng dipakai dalam teater untuk menunjukkan karakter tokoh yang dimainkan.[30] Kepribadian (personality) adalah sebuah konsep yang sangat sukar dimengerti dalam Psikologi, meskipun istilah ini digunakan sehari-hari. Bukan saja di kalangan psikologi, tetapi juga oleh awam (misalnya: kepribadian bangsa, kepribadian luhur, 10 kepribadian orang sukses dan lain-lain). Di bawah ini akan dikemukakan sederetan definisi dari berbagai aliran psikologi, sekadar untuk menggambarkan berapa luasnya pengertian yang dicakup oleh istilah tersebut dalam psikologi.
Teori Psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud memandang kepribadian terdiri dari tiga komponen, yaitu Id (naluri), Ego (kesadaran atau "aku”), dan Superego (hati nurani). Interaksi antarketiga komponen itu terwujud dalam perilaku.[31]
a)      Kaum Behavioris, dipelopori oleh B.F. Skinner, memandang kepribadian sebagai rangkaian kebiasaan (habit) yang tersusun dari sejumlah hubungan rangsang (stimulus) dan reaksi (response) yang memperoleh penguatan (reinforcement).
b)      Leon Festinger dan para penganut psikologi Kognitif lainnya bahwa kognisilah yang menentukan perilaku. Isi kognisi atau kesadaran adalah pengetahuan, minat, sikap, penilaian, dan harapan tentang dunia, khususnya tentang orang-orang lain. Dengan demikian kepribadian adalah proses kognitif, yaitu berpikir dan membuat keputusan.
c)      Psikologi Humanistik menekankan pada kebebasan berke- hendak sebagai bagian dari kepribadian manusia. A.H. Maslow, salah satu pemuka aliran ini, berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang tertinggi adalah aktualisasi diri. Bagaimana manusia itu berusaha untuk mencapai aktualisasi dirinya, itulah yang menentukan perilakunya.
d)     Dalam Teori Biopsikologi, Richard Davidson memandang kepribadian sebagai hasil kerja bagian-bagian dari otak yang disebut prefrontal cortex (PFC) sebagai pusat rasio dan amygdala sebagai pusat emosi.
Selain dari definisi-definisi di atas, masih banyak definisi kepribadian yang lain, tetapi yang saya rasa paiing mudah dipahami, karena cukup operasional dan mudah diterapkan, adalah definisi dari Gordon W. Allport yang sudah merintis konsep tentang kepribadian ini sejak 1937 (dalam Allport, 1961) sebagai berikut:
“Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang unik (khusus) dari individu tersebut terhadap lingkungannya.”

Kata-kata kunci dari definisi Allport tersebut di atas adalah (1) sistem psikis (pikiran, perasaan, motivasi, minat, dan sebagainya) dan sistem fisik (tinggi badan, warna kulit, sistem syaraf, pencernaan, kacamata, jerawat, gemuk/kurus dan lain-lain); (2) organisasi dinamis yang menggabungkan semua sistem psiko- fisik tadi dalam suatu proses kerja yang kait-mengait dan terus berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya; (3) penyesuaian diri individu tersebut terhadap lingkungannya; dan (4) secara unik (khas, tidak sama dengan individu lainnya).
Untuk jelasnya, kita bayangkan seorang gadis remaja bernama Putri, yang cantik, tinggi semampai, cerdas, fasih berbahasa Inggris, pandai bergaul, pernah juara sepatu roda, dan terakhir terpilih sebagai None Jakarta. Kita sudah bisa membayangkan bagaimana kepribadian Putri. Kepribadian itu adalah hasil pengorganisasian semua sistem psikis (cerdas, pandai gaul) dan fisik (unggi semampai, cantik) sehingga menghasilkan seorang Putri yang berhasil menjadi juara sepatu roda dan Nona Jakarta.[32]
Secara tiba-tiba, oleh dokter dia diharuskan memakai kacamata karena dia mengeluh pusing kalau sedang membaca. Selain itu, dia melihat ada jerawat tumbuh di wajahnya. Terjadi dua perubahan dalam sistem fisiknya. Dampaknya adalah perubahan drastis pada total kepribadian Putri. Dia tidak lagi percaya diri, lebih suka menyendiri, murung, dan cepat marah. Kacamatanya tidak pernah dipakai sehingga dia bertambah pusing
Itulah yang namanya kepribadian. Kepribadian selalu berubah karena selalu menyesuaikan diri dengan keadaan. Tetapi, juga ada yang menetap, karena setelah berjerawat dan berkacamata, dia tetaplah Putri sebelum berjerawat dan berkacamata. Gerak-geriknya, gaya bicaranya, tatapan matanya, tetaplah seperti Putri yang dulu. Ia masih tetap paling suka makan sate kambing dan tidak pernah gemuk walaupun makan sate berapa tusuk sekalipun.
Dalam pemeriksaan psikologis (misalnya untuk tujuan seleksi pegawai baru), tugas psikolog adalah mengidentifikasi aspek-aspek kepribadian yang sifatnya relatif menetap yang akan menentukan prestasinya kelak di pekerjaannya. Menurut Allport, salah satu aspek yang menetap itu adalah sifat (trait) seperti pemarah, cepat tanggap, atau pemberani. Termasuk juga di sini aspek kecerdasan. Sebaliknya, ada aspek-aspek yang sifatnya sementara dan bisa diubah atau dikembangkan melalui pengalaman dan pelatihan, seperti sikap kerja, ketekunan, disiplin, dan sebagainya. Di sinilah faktor bawaan akan dipadukan dengan faktor pengalaman dalam suatu hasil pemeriksaan psikologis yang komprehensif.[33]
Salah satu teori sifat (trait) yang sekarang populer di kalangan peneliti psikologi, adalah teori Lima Dimensi Model Kepribadian, atau sering disebut teori “5 Besar” (The Big Five theory) yang dikemukakan pertama kali oleh L.L. Thurstone (1934) dan kemudian dikembangkan alat ukurnya oleh Lewis Goldberg dan kawan-kawan (1993). Teori Lrii menyatakan bahwa ada lima sifat dasar inti pada manusia. Kepribadian seseorang ditentukan oleh sifat-sifat yang dominan dari kelima sifat itu. Agar mudah diingat, kelima sifat itu bisa disingkat menjadi OCEAN (lautan) atau CANOE (perahu):
a)      Openness to experience - keterbukaan pada pengalaman dan gagasan-gagasan baru vs. tradisional dan berorientasi semata- mata pada rutinitas.
b)      Conscientiousness - memenuhi tugas, berencana, dan teratur vs. santai, spontan, dan tak dapat diandalkan.
c)      Extraversion - ceria dan berorientasi pada rangsangan yang ada di luar vs. pendiam dan menghindari stimulus dari luar.
d)     Agreeableness - bersifat sosial, bersahabat, cinta damai vs. agrcsif, dominan, tidak setuju pada orang lain.
e)      Neuroticism - reaktif secara emosional, mudah terpicu emosi negatifnya vs. tenang, terkendali, optimis.
Seperti halnya dalam inteligensi, dalam kepribadian juga digunakan alat-alat psikodiagnostis atau psikotes. Dalam asesmen (teknik evaluasi psikologik yang lebih lengkap), tidak hanya digunakan alat-alat psikodiagnostik, melainkan juga digunakan metode wawancara dan obervasi melalui proses simulasi, games (permainan), diskusi dan sebagainya. Semua itu dilakukan agar psikolog dapat memberikan gambaran yang selengkap dan setepat mungkin tentang kepribadian para subjek yang diperiksa. Bukan suatu hal yang mudah, karena suami atau istri subjek, bahkan orang tua subjek yang sudah hidup bersama selama bertahun-tahun belum tentu mengenal betul kepribadian subjek. Sementara itu, seorang (atau tim) psikolog harus bisa mendeskripsikan kepribadian orang yang diperiksanya hanya dalam waktu sehari atau dua hari.[34]
Berbeda dari alat-alat psikodiagnostik untuk mengetahui tingkat kecerdasan (IQ), tes-tes kepribadian tidak hanya meng- gunakan teknik mengukur (kuantitatif, psikometri), melainkan juga menggunakan teknik tes proyeksi1 dan tes inventori (pilihan sedang diperiksa).
2.      Pembentukan Identitas Diri
Pengalaman-pengalaman yang umum maupun yang khusus di atas memberi pengaruh yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Individu itu pun merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara berbeda-beda pula, sampai akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu kepribadian yang tetap (permanen). Proses integrasi pengalaman-pengalaman ke dalam kepribadian yang makin lama makin menjadi dewasa disebut proses pembentukan identitas diri.
Sebelum sampai pada pembentukan kepribadian yang matang, dewasa, dan permanen, proses pembentukan identitas diri harus melalui berbagai tingkatan. Salah satu tingkat yang harus dilalui adalah imitasi (keinginan untuk meniru orang lain) yang dilanjutkan dengan identifikasi (dorongan untuk menjadi identik dengan orang lain). Pada masa remaja, tahap identifikasi ini dapat menyebabkan kebingungan dan kekaburan akan peranan sosial, karena remaja- remaja cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan beberapa tokoh sekaligus, misalnya dengan ayah, ibu, kakak, saudara, guru, kawan, atau bintang sinetron idolanya. Padahal, sering kali tokoh-tokoh identifikasi itu saling bertentangan. Ayah yang sangat dibanggakan dan dikagumi oleh anaknya, justru melarang anak itu bergaul dengan sahabatnya yang sangat baik hati dan suka menolong hanya karena sahabat itu menyukai lagu-lagu rock metal yang juga digemari sang anak.[35]
Kalau kekaburan akan perahan sosial ini tidak dapat dihapuskan sampai dewasa, maka besar kemungkinannya dia akan mengalami krisis identitas sampai ke masa dewasanya. Oleh karena itu, penting sekali diusahakan agar remaja dapat menentukan sendiri identitas dirinya dan berangsur-angsur melepaskan identifikasinya terhadap orang lain sehingga akhirnya menjadi dirinya sendiri.
Orang tua bisa membantu proses ini, misalnya mereka dengan tidak selalu mengatakan, "... kamu contoh Papa, dong. Dulu Papa gak pernah dapat rapor merah. Seumur kamu, Papa sudah cari duit sendiri... Kamu? Bagaimana kamu mau jadi orang, kalau belajar saja malas”. Sebaliknya, gunakanlah kalimat-kalimat yang mendorong semangat, kamu pintar betul main internet. Seumur kamu, Papa belum kenal internet. Ajarin Papa main internet, dong... Nanti Papa ajarin kamu Bahasa Inggris, sampai bisa. OK? Papajanji, deh!’\ Teknik mendorong semangat ini bisa dilakukan juga oleh tokoh- tokoh identitas lainnya, seperti guru.
3.      Ekspresi Kepribadian
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahwa arti kepribadian sangat luas.[36] Oleh karena itu, jika kita hendak menggambarkan atau menguraikan kepribadian seseorang, kita harus membagi-bagi kepribadian tersebut dalam beberapa karakteristik yang dapat dilihat atau diukur. Dengan kata lain, kepribadian seseorang Hu diekspresikan ke dalam beberapa karakteristik sehingga dengan memahami karakteristik- karakteristik tersebut, kita dapat mengerti pula kepribadian orang yang bersangkutan.
Sekalipun tidak semua pakar sependapat, tetapi karakteris- tik-karakteristik yang saya anggap terpenting untuk mengenali kepribadian adalah: [37]
a)      Penampilan Fisik: tubuh yang besar, wajah yang tampan, pakaian yang rapi, atau tubuh yang kurang sehat, wajah yang kuyu, pakaian kusut, semuanya menggambarkan kepribadian dari orang yang bersangkutan. Juga bisa dilihat apakah ia berwibawa dan percaya pada diri sendiri atau kurang semangat dan mempunyai perasaan rendah diri dan sebagainya.
b)      Temperamen: yaitu suasana hati yang menetap dan khas pada orang yang bersangkutan, misalnya: pemurung, pemarah, periang, dan sebagainya.
c)      Kecerdasan dan kemampuan: termasuk kreativitasnya:2 mengikuti teori Multiple Intelligence, kita bisa mengidentifikasi kemampuan yang menonjol pada orang yang bersangkutan.
d)     Arah Minat dan Pandangan Mengenai Nilai-nilai: hobi, pekerjaan-pekerjaan yang selalu dilakukan, serta kebiasaan sehari-hari merupakan indikator terbaik untuk menggambarkan arah minat dan pandangan moral seseorang.
e)      Sikap Sosial: hal ini bisa diukur dengan beberapa psikotes atau skala seperti MPPT, EPPS, The Big Five Test, atau tes-tes proyeksi. Namun, bisa juga digali dari wawancara mendalam atau observasi dalam proses simulasi, games, atau diskusi. Kecenderungan-kecenderungan dalam motivasinya: hal ini pun dapat diketahui melalui beberapa tes dan wawancara serta observasi selama proses pemeriksaan.
f)       Cara-cara Pembawaan Diri: bentuknya misalnya sopan santun, banyak bicara, krids, mudah bergaul, dan sebagainya. Cara pembawaan diri ini terlepas dari isi atau materi yang dibawakan. Seseorang dapat berbicara tentang berita kematian atau soal-soal perdagangan atau mengundang seseorang ke suatu perjamuan, atau menegur kesalahan seseorang, tetapi semuanya dilakukan dengan cara yang sopan atau justru sebaliknya.
g)      Kecenderungan Patologis: merupakan tanda-tanda adanya gangguan jiwa yang serius (bukan sekadar stres atau depresi karena frustrasi). Memang, yang paling tepat untuk men- diagnosis gangguan jiwa adalah dokter spesialis kejiwaan (SpKJ) atau psikolog klinis. Jetapi, mata seorang psikolog non-klinis, atau asesor, bahkan awam yang waspada pun akan mampu mengidentifikasi adanya gangguan jiwa berat seperti skhiozophrenia (berbicara dan berperilaku aneh, ngawur tanpa arah (bizarre), ada halusinasi, dan sebagainya). Bisa juga autisma (hiperaktif] tetapi tidak ada kontak dengan orang lain, tidak bisa diajak bercakap-cakap, lebih suka dengan kegiatannya sendiri yang bersifat mengulang-ulang dan lain-lain).[38]
4.      Jenis Kepribadian
Sekalipun kepribadian itu unik, yaitu berbeda pada tiap-tiap orang, tetapi ada pakar psikologi yang tetap berusaha menggolong- golongkan kepribadian dalam beberapa jenis. Usaha ini adalah usaha yang sukar sekali, karena itu penggolongan yang mereka buat hanya dapat didasarkan pada satu atau dua aspek saja dari keseluruhan kepribadian. Beberapa di antara penggolongan kepribadian itu akan diuraikan di bawah ini.
Penggolongan menurut Ernst Kretschmer (1888-1964) dida- sari pada ciri-ciri fisik dan berorientasi pada penyakit-penyakit kejiwaan. Ada tiga macam tipe, yaitu:
a)      Tipe Asthenis: bertubuh kurus, jangkung, mempunyai tem- peramen yang mirip dengan penderita skizofrenia.
b)      Tipe Atletis: bertubuh tegap, seperti olahragawan, mempunyai temperamen yang mirip dengan penderita epilepsi.
c)      Tipe Piknis: gemuk, pendek, bertemperamen mirip dengan penderita manis-depresif


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa  Setiap intelegensi memiliki urutan perkembangan tersendiri, yang pertumbuhan dan kemunculannya berbeda satu sama lain. Sebagai contoh intelegensi musikal tubuh paling awal dalam kehidupan manusia, tetapi kualitasnya akan tergantung pada interaksi dengan lingkungan bagaimana cara mengembangkannya. Inteligensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
Kepribadian (personality) adalah sebuah konsep yang sangat sukar dimengerti dalam Psikologi, meskipun istilah ini digunakan sehari-hari. Bukan saja di kalangan psikologi, tetapi juga oleh awam (misalnya: kepribadian bangsa, kepribadian luhur, 10 kepribadian orang sukses dan lain-lain). Di bawah ini akan dikemukakan sederetan definisi dari berbagai aliran psikologi, sekadar untuk menggambarkan berapa luasnya pengertian yang dicakup oleh istilah tersebut dalam psikologi.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai intelegensi dan kepribadian, semoga dapat bermanfaat bagi kita pembaca sekalian. Penulis menyarankan agar mari kita banyak membaca agar kita dapat menambah wawasan kita di bidang Psikologi.
Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.  

DAFTAR PUSTAKA

Fitriyah, Lailatul dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014)

Hariwijaya, Tes IQ Pada Anak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002)

Ling, Jonathan dan Jonathan Catling, Psikologi Kognitiif, (Jakarta: PT Erlangga, 2012)

Sarwono, Wirawan, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)

Sujanto, Agus. Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

Suryasubrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013)

Suyanto, Agus. Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

Yusuf, Syamsu, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006)


[1] Syamsu Yusuf, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
[2] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 153
[3] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 153
[4] Agus Suyanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 66
[5] Lailatul Fitriyah, dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 196
[6] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 167
[7] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 167
[8] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 153
[9] Sumadi Suryasubrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 124
[10] Agus Sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 66
[11] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 168
[12] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 155
[13] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 155
[14] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 155
[15] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 155
[16] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 156
[17] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 157
[18] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 158
[19] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 160
[20] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 161
[21] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 164
[22] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 168
[23] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, ... h. 168
[24] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 165
[25] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 165
[26] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, ... h. 169
[27] Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,  ... h. 166
[28] Hariwijaya, Tes IQ Pada Anak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. v
[29] Jonathan Ling dan Jonathan Catling, Psikologi Kognitiif, (Jakarta: PT Erlangga, 2012),   h. 66
[30] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 169
[31] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 170
[32] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 171
[33] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 172
[34] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 172
[35] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 173
[36] Lailatul Fitriyah, dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 189
[37] Lailatul Fitriyah, dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 189
[38] Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 178

No comments:

Post a Comment