BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan belajar
dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes.
Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan
meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap", “mengerti”, atau “mereka-reka”-apa
yang tejadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi inteligensi menurut
versi MSI merujuk kepada faktor “G” (genera//umum) daripada inteligensi itu.
Setiap
intelegensi memiliki urutan perkembangan tersendiri, yang pertumbuhan dan
kemunculannya berbeda satu sama lain. Sebagai contoh intelegensi musikal tubuh
paling awal dalam kehidupan manusia, tetapi kualitasnya akan tergantung pada
interaksi dengan lingkungan bagaimana cara mengembangkannya.[1]
Tiap individu
(manusia maupun hewan) mempunyai kekhususannya sendiri yang membedakannya
dengan individu- individu lainnya, sudah lama disadari orang. Kalau kita
pandangi orang-orang yang berada di sekitar kita, maka secara sepintas lalu
saja sudah akan tampak bahwa mereka itu berbeda-beda satu sama lain. Ada yang
gemuk, ada yang kurus, ada yang tampan, ada yang cantik, ada yang kurang
menarik wajahnya, ada yang kuat, ada yang lemah dan sebagainya. Secara lebih
mendalam, perbedaan individual ini dipelajari dalam psikologi dan menjadi dasar
dari hal-hal yang akan dibicarakan dalam bab ini, yaitu kekhususan individual
dalam hal kecerdasan (inteligensi) dan kepribadian.[2]
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang
dimaksud dengan intelegensi?
2. Apa saja faktor
yang mempengaruhi intelegensi?
3. Apa saja
tipe-tipe intelegensi?
4. Apa yang
dimaksud dengan kepribadian?
5. Bagaimana pembentukan
kepribadian?
6. Bagaimana ekspresi
dan jenis kepribadian?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan
makalah ini adalah
1. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan intelegensi
2. Untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi intelegensi
3. Untuk
mengetahui tipe-tipe intelegensi
4. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan kepribadian
5. Untuk
mengetahui pembentukan kepribadian
6. Untuk
mengetahui ekspresi dan jenis kepribadian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Inteligensi
1. Pengertian Inteligensi
Meskipun semua orang tahu apa yang kira-kira
dimaksudkan dengan inteligensi atau kecerdasan itu, namun ternyata sekali untuk
mendefinisikan konsep ini dengan tepat. Banyak definisi yang diajukan oleh para
pakar psikologi, namun satu sama lain berbeda sehingga tidak memperjelas
persoalan.[3]
Claparde dan W. Stern mengatakan bahwa
inteligensi adalah “kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap
situasi atau kondisi barn". K. Buhler, mengatakan bahwa inteligensi adalah
“perbnatan yang disertai dengan petnahaman atau pengertian”. [4]
David Wechler (lahir 1986), seorang ahli di
bidang ini memberikan definisi mengenai inteligensia mula-mula sebagai “kapasitas
untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi untuk mengatasi
tantangan-tantangannya". Pada kesempatari lain ia mengatakan bahwa
inteligensi adalah “kemampuan untuk bertindak secara terarak. berpikir secara rational,
dan mengbadapi lingkungan- nya secara sfektif’.
Menurut pendapat Munandar U, Intelegensi
meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan,
perumusan masalah, penyusunan strategi, ekspresi mental, keterampilan pengambilan
sesuatu keputusan dan kesinambungan serta integritas intelektual secara umum.[5]
Dari definisi-divinisi yang disajikan di atas,
kita menarik beberapa kesimpulan yang akan menjelaskan ciri-ciri inteligensi: [6]
a) Inteligensi
merupakan suatu kemampuan mentai yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung,
melainkan harus disinpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan
manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
b) Inteligensi
tercermin dari tindakan yang terarah (lihat no. I) pada penyesuaian diri
terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya.[7]
Edouard Claparede (1873-1940) seorang pakar psikologi pendidikan Prancis
dan William Stern (1871-1938), seorang pakar psikologi Jerman, penemu konsep
IQ, misalnya, mendefinisikan inteligensi secara sangat fungsional dan terbatas,
yaitu: “Inteligensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau
kondisi baru” (dalam Piaget, 1959). Di lain pihak, Karl Biihler (1879-1963)
pakar psikologi Gestalt yang terkenal dengan eksperimennya tentang inteligensi
pada hewan, memberi definisi yang sangat luas, yaitu: “Inteligensi adalah
perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian” (dalam Bugental,
Wegrocki, Murphy, Thomae, 1966).[8]
Secara garis besar dikemukakan berbagai konsepsi mengenai intelegensi,
"apakah intelegensi itu?". Konsepsi-konsepsi pada dasarnya
digolongkan menjadi lima kelompok :[9]
a) Konsepsi-konsepsi
yang bersifat spekulatif
b) Konsepsi yang
bersifat pragmatis
c) Konsepsi yang
didasarkan atas analisa faktor
d) Konsepsi yang
bersifat operasional
e) Konsepsi yang
didasarkan pada analisis fungsional
Menurut arah dan hasilnya, intelegensi ada 2
macam, yakni :
a) Intelegensi praktis,
yakni intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit dalam suatu
kerja, yang berlangsung secara cepat dan tepat
b) Intelegensi teoritis,
ialah intelegensi untuk dapat mendapatkan suatu fikiran penyelesaian soal atau
masalah dengan cepat dan tepat.[10]
Definisi-definisi lain juga tak kalah
bervariasinya, seperti yang disampaikan oleh Alfred Binet (1857-1911), psikolog
Prancis, salah satu penemu pertama alat ukur inteligensi. Binet lebih
menggambarkan, bukan mendefinsikan, inteligensi sebagai: "... penilaian,
atau disebut juga akal yang baik (good sense), berpikir praktis (practical
sense), inisiatif, kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri kepada keadaan...
kritik pada diri sendiri (auto-critique).'’ Di lain pihak, David Wechsler
(1896-1981) psikolog Amerika yang kondang sebagai pembuat alat pengukur IQ
menyatakan bahwa inteligensi adalah: "... sekumpulan atau keseluruhan
kemampuan (capacity) individual untuk bertindak dengan tujuan, berpikir secara
rasional dan berurusan secara efektif dengan lingkungannya." Sir Cyril
Lodowic Bur: (1883-1971), pakar psikologi pendidikan Inggris, hanya menyatakan
inteligensi sebagai: “...kemampuan kognitif umum bawaan.”[11]
Perdebatan tentang definisi ini tidak kunjung
selesai. Pada tahun 1990-an pun, ketika para pakar mencoba untuk bersepakat
mengenai apakah yang dimaksud dengan inteligensi itu, masih terdapat dua
kelompok definisi, yaitu versi kelompok 52 peneliti inteligensi yang menamakan
diri Mainstream Science on Intelligence, 1994, dan versi APA (American
Psychological Association) 1995.
Versi Mainstream Science on Intelligence (MSI),
1994, mencoba memberikan definisi yang merupakan kompilasi dari pendapat-
pendapat ke-52 penandatangan naskah definisi itu, yaitu bahwa inteligensi
adalah “...suatu kemampuan mental yang sangat umum yang antara lain melibatkan
kemampuan akal, merencana, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami
ide-ide yang kompleks, cepat belajar, dan belajar dari pengalaman".
Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan
belajar dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes.
Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan
meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap", “mengerti”, atau
“mereka-reka”-apa yang tejadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi
inteligensi menurut versi MSI merujuk kepada faktor “G” (genera//umum) daripada
inteligensi itu.[12]
Di sisi lain definisi versi MSI itu dianggap
oleh sebagian pakar inteligensi yang lain sebagai sekadar sebuah daftar dari
berbagai kemampuan yang diidentifikasi atau diajukan oleh para anggota kelompok
52 sendiri dan dikumpulkan menjadi satu. Dengan demikian, definisi itu
diragukan fungsinya sebagai definisi. Oleh karena itu, versi APA 1995 tidak
memberikan suatu definisi, melainkan hanya menyebutkan tentang perbedaan
antarindividu dalam memahami sesuatu (ide, lingkungan, masalah dan sebagainya).
Perbedaan itu tak konsisten, karena ada individu yang pandai dalam satu bidang,
tetapi kurang pandai di bidang lainnya. Namun, hal yang menyebabkan perbedaan
kemampuan antarindividu itulah yang disebut inteligensi, sementara definisinya
sendiri tak mungkin untuk dirumuskan, karena jika ada selusin pakar inteligensi
yang membuat definisi, maka ada selusin pula definisi tentang inteligensi yang
akan dihasilkan. Dengan demikian, definisi versi APA ini lebih mengutamakan
faktor “S” (specific, special/khusus) dari inteligensi.[13]
Karena nyatanya sukar sekali mendefinisikan inteligensi,
maka saya.di sini akan memberikan ilustrasi saja tentang apa yang dimaksud
dengan inteligensi. Ilustrasi memang tidak dapat membatasi dengan tegas tentang
suatu hal, tetapi setidak-tidaknya ia dapat memberi gambaran yang jelas
mengenai hal itu. Kalau kitamemandangi sebuah kursi, misalnya, makaperbuatan
kitaitu disebut sebagai persepsi. Bayangan kursi itu, melalui serabut-adalah
penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru” (dalam
Piaget, 1959). Di lainpihak, Karl Btihler (1879-1963) pakar psikologi Gestalt
yang terkenal dengan eksperimennya tentang inteligensi pada hewan, memberi
definisi yang sangat luas, yaitu: “Inteligensi adalah perbuatan yang disertai
dengan pemahaman atau pengertian” (dalam Bugental, Wegrocki, Murphy, Thomae,
1966).[14]
Definisi-definisi lain juga tak kalah
bervariasinya, seperti yang disampaikan oleh Alfred Binet (1857-1911), psikolog
Prancis, salah satu penemu pertama alat ukur inteligensi. Binet lebih
menggambarkan, bukan mendefinsikan, inteligensi sebagai: "... penilaian,
atau disebut juga akal yang baik (good sense), berpikir praktis (practical
sense), inisiatif, kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri kepada keadaan...
kritik pada diri sendiri (auto-critique).” Di lain pihak, David Wechsler (1896-1981)
psikolog Amerika yang kondang sebagai pembuat alat pengukur IQ. menyatakan
bahwa inteligensi adalah: "... sekumpulan atau keseluruhan kemampuan
(capacity) individual untuk bertindak dengan tujuan, berpikir secara rasional
dan berurusan secara efektif dengan lingkungannya.” Sir Cyril Lodowic Burt
(1883-1971), pakar psikologi pendidikan Inggris, hanya menyatakan inteligensi
sebagai: "...kemampuan kognitif umum bawaan.”
Perdebatan tentang definisi ini tidak kunjung
selesai. Pada tahun 1990-an pun, ketika para pakar mencoba untuk bersepakat
mengenai apakah yang dimaksud dengan inteligensi itu, masih terdapat dua
kelompok definisi, yaitu versi kelompok 52 peneliti inteligensi yang menamakan
diri Mainstream Science on Intelligence, 1994, dan versi APA (American
Psychological Association) 1995.
Versi Mainstream Science on Intelligence (MSI),
1994, mencoba memberikan definisi yang merupakan kompilasi dari pendapat-
pendapat ke-52 penandatangan naskah definisi itu, yaitu bahwa inteligensi
adalah "...suatu kemampuan mental yang sangat umum yang antara lain
melibatkan kemampuan akal, merencana, memecahkan masalah, berpikir abstrak,
memahami ide-ide yang kompleks, cepat belajar, dan belajar dari pengalaman”.
Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan
belajar dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes.
Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan
meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap”, “mengerti”, atau
“mereka-reka”-apa yang tejadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi
inteligensi menurut versi MSI merujuk kepada faktor “G” (genera//umum) daripada
inteligensi itu.[15]
Di sisi lain definisi versi MSI itu dianggap
oleh sebagian pakar inteligensi yang lain sebagai sekadar sebuah daftar dari
berbagai kemampuan yang diidentifikasi atau diajukan oleh para anggota kelompok
52 sendiri dan dikumpulkan menjadi satu. Dengan demikian, definisi itu
diragukan fungsinya sebagai definisi. Oleh karena itu, versi APA 1995 tidak
memberikan suatu definisi, melainkan hanya menyebutkan tentang perbedaan
antarindividu dalam memahami sesuatu (ide, lingkungan, masalah dan sebagainya).
Perbedaan itu tak konsisten, karena ada individu yang pandai dalam satu bidang,
tetapi kurang pandai di bidang lainnya. Namun, hal yang menyebabkan perbedaan
kemampuan antarindividu itulah yang disebut inteligensi, sementara definisinya
sendiri tak mungkin untuk dirumuskan, karena jika ada selusin pakar inteligensi
yang membuat definisi, maka ada selusin pula definisi tentang inteligensi yang akan
dihasilkan. Dengan demikian, definisi versi APA ini lebih mengutamakan faktor
“S” (specific, speciaZ/khusus) dari inteligensi.
Karena nyatanya sukar sekali mendefinisikan
inteligensi, maka saya.di sini akan memberikan ilustrasi saja tentang apa yang
dimaksud dengan inteligensi. Ilustrasi memang tidak dapat membatasi dengan
tegas tentang suatu hal, tetapi setidak-tidaknya ia dapat memberi gambaran yang
jelas mengenai hal itu.
Kalau kita memandangi sebuah kursi, misalnya,
maka perbuatan kitaitu disebut sebagai persepsi. Bayangan kursi itu, melalui
serabut-serabut syaraf tertentu diproyeksikan di otak sehingga kemudian kita
dapat melihat kursi. Tetapi, kalau saat kita melihat kursi itu, kita juga
memerhatikan jenis kayunya, teknik pembuatannya, dan memikirkan bagaimana
caranya membuat kursi itu agar lebih bagus, maka perbuatan itu sudah termasuk
inteligensi. Bayangan tentang kursi tidak lagi hanya diproyeksikan melalui
syaraf-syaraf tertentu ke otak kita, melainkan melalui berbagai sistem yang
rumit dalam otak dan susunan syaraf kita, ditangkap dan diolah serta
dianalisis, untuk kemudian kita boleh bereaksi secara lebih efektif dan
efisien. Seorang pengrajin kayu yang cerdas, setelah melihat-lihat model- model
kursi di pameran, dia bisa membuat kursi yang lebih bagus daripada yang ada di
pameran.[16]
Contoh lain, seseorang mengamati taman bunga.
Ini adalah persepsi. Selanjutnya, jika dia mulai mengamati bunga-bunga yang
sejenis atau mulai menghitung berapa bunga berwarna merah yang ada di taman
itu, maka perbuatannya sudah merupakan perbuatan yang berinteligensi.
Dengan demikian, inteligensi itu adalah
kemampuan untuk mengolah lebih jauh lagi hal-hal yang kita amati. Kemampuan ini
terdiri atas dua jenis, yaitu kemampuan umum dan kemampuan khusus.
Kemampuan khusus adalah kemampuan dalam
bidang-bidang tertentu. L.L. Thurstone (1887-1955), seorang pakar psikometri
(ilmu tentang pengukuran psikologi), dengan teknik statistik yang dinamakan
“analisis faktor," menemukan tujuh kemampuan mental dasar (primary mental
abilities), yaitu pemahaman lisan (verbal comprehension), kefasihan kata-kata
(word fluency), kemampuan angka-angka (numberfacility), penglihatan ruang
(spatial visualization), ingatan asosiatif (associative memory), kecepatan
persepsi (perceptual speed), dan penalaran (reasoning) (dalam Martin, 1997).
Di samping kemampuan khusus, terdapat kemampuan
umum. Kemampuan umum ini mendasari kemampuan-kemampuan khusus, tetapi, ia bukan
merupakan kumpulan, gabungan atau penjumlahan kemampuan-kemampuan khusus
belaka, melainkan merupakan kualitas tersendiri. Dua orang yang sama cerdasnya,
dapat menjadi ahli dalam dua bidang yang berbeda, misalnya yang seorang menjadi
ahli ilmu pasti dan yang lain menjadi ahli bahasa. Hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh pengalaman, minat, dan kesempatan pada tiap-tiap orang itu.
Jadi, dua orang yang kemampuan umumnya kira-kira setaraf, dapat mengembangkan
kemampuan-kemampuan ' khusus yang berbeda.[17]
Dulu (sampai dengan tahun 1970-an, bahkan
sampai sekarang juga masih) orang sangat percaya pada kemampuan umum, yang
biasanya dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient). Anak-anak dengan IQ. yang
tinggi (di atas 120) dianggap punya potensi yang lebih besar untuk berhasil
dalam pelajaran dan karenanya punya masa depan yang lebih baik. Karena itu
sekolah-sekolah berlomba- lomba mensyaratkan calon muridnya untuk di-tes IQdulu
dan yang IQ-nya di atas 120 langsung diterima. Bahkan di sekolah-sekolah
(justru sedang jadi trend di Indonesia di tahun 2000-an ini), dibina kelas
akselarasi, yaitu kelas khusus anak berbakat, yang dipersiapkan untuk
menyelesaikan sekolahnya (SMP atau SMA) dalam waktu dua tahun saja, dengan
nilai yang tinggi. Yang menarik, penelitian- penelitian dan pengamatan
sehari-hari membuktikan bahwa yang dulu pandai di kelas, atau punya IQ_tinggi,
sekarang (ketika devvasa) tidak terdengar kabar beritanya, sementara yang dulu
biasa-biasa saja, bahkan cenderung nakal, justru menduduki jabatan penting,
atau jadi profesional kelas nasional, bahkan kelas dunia.
Karena itu, kecenderungan Ilmu Psikologi
sekarang tidak lagi mengandalkan teori faktor “G”, tetapi beralih ke apa yang
dinamakan "Kecerdasan Majemuk” atau MI (Multiple Intelligence). Konsep MI
ini dipopulerkan oleh Howard Gardner (1943 - seorang psikolog dari Harvard University,
AS, dalam bukunya "Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences”
(1983). Dalam bukunya, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan (inteligensi) tidak
terdiri dari satu yang umum dan beberapa yang khusus, melainkan memang
benar-benar ada beberapa inteligensi khusus yang masing- masing mandiri, yaitu
(dalam buku versi 1983) kecerdasan bahasa {linguistic), logika-matematika
(logical-mathematical), ruang (spatial), gerak tubuh (bodily-kinesthetic),
musik (musical), antarpribadi (interpersonal) dan ke dalam diri
(intrapersonal). Dalam versi 1999 ditambah satu lagi, yang ke delapan, yaitu
kecerdasan tentang alam (naturalistic intelligence).[18]
Teori MI dari Howard Gardner ini jadi populer,
karena dia bisa menjelaskan mengapa Titik Puspa yang sekolahnya terbatas bisa
jadi jenius musik, sementara jangan surah B.J. Habibie menyanyi. Dalam
pendidikan, guru-guru bisa mengkhususkan diri pada kemampuan siswa sehingga
murid yang jago olahraga lebih diberi prioritas untuk berlatih sehingga bisa
mewakili sekolah dalam pertandingan antarsekolah, sampai ke tingkatprovinsi
atau nasional, walaupun nilai matematikanya pas-pasan. Sebaliknya, juara pidato
dalam Bahasa Inggris tidak perlu disuruh koprol oleh guru Olahraga, sampai
kepalanya benjol. Karena itulah di AS mata pelajaran untuk sekolah (SD sampai
SMA) hanya terdiri dari 4-5 pelajaran wajib, sisanya pelajaran pilihan yang
boleh dipilih oleh siswa sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing.
Dengan demikian, seorang yang idiot atau autis
sekalipun bisa jadi sangat cerdas dalam bidang tertentu (misalnya menghapal
buku telepon, menabuh drums dan lain-lain). Sayang sekali sistem pendidikan di
Indonesia masih mengharuskan siswa untuk menelan belasan pelajaran sekaligus,
dan semuanya wajib.
Walaupun demikian, Terori MI dari Howard
Gardner ini menuai kritik juga, terutama karena Gardner dianggap kurang
mendasarkan teorinya pada penelitian, melainkan lebih percaya pada pengamatan
dan intuisinya saja. Karena itu, berbeda dari Thurstone yang tetap bertahan
pada tujuh faktor saja, Howard Gardner menambah jenis-jenis Ml-nya sehingga
sekarang sudah sembilan, bahkan mungkin 11. Selain itu, untuk setiap jenis MI
belum dikembangkan alat ukurnya secara khusus.
Sekarang kita kembali ke taraf kecerdasan umum.
Teori lama mengatakan bahwa perbedaan tingkat kecerdasan itu sudah bawaan sejak
lahir. Di samping orang-orang yang ditakdirkan pandai, terdapat pula
orang-orang yang bodoh sejak lahirnya, sedangkan yang terbanyak adalah yang
bertaraf rata-rata. Menyadari hal ini, sejak lama sudah diusahakan dalam
psikologi untuk mengukur taraf inteligensi pada manusia. Setelah melalui
beberapa eksperimen, terbukti bahwa mengukur taraf inteligensi secara langsung
tidaklah mungkin. Karena konsep mengenai inteligensi itu sendiri tidak pernah jelas.
Meskipun demikian, para sarjana percaya bahwa
taraf inteligensi itu dapat diperkirakan melalui pengukuran terhadap beberapa
aspek kemampuan khusus tertentu. Dalam psikologi, orang pertama yang
mengungkapkan konsep IQ_ adalah William Stern. Konsepnya sederhana saja, yaitu:[19]
IQ.= (Usia Mental [UM] : Usia
Kalender [UK]) x 100
Normalnya, seorang anak yang berusia kalender
enam tahun, harus mampu melaksanakan hal-hal yang biasa dilakukan oleh
anak-anak lain yang berumur enam tahun. Jika anak-anak umur enam tahun sudah
bisa menghitung sampai 100, maka ia pun harus bisa menghitung sampai 100.
Demikian pula jika anak-anak lain sudah mampu membaca, ia pun harus mampu
membaca. Jika demikian halnya, maka usia mental anak itu enam tahun juga
sehingga IQ.-nya adalah (6:6) x 100 = 100.
Sebaliknya, jika anak yang berusia kalender
enam tahun itu sudah bisa melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh anak
umur tujuh tahun (misalnya sudah bisa menambah dan mengurangi sampai angka
1000), maka IQ.-nya adalah (7:6) x 100 = 116,7; atau jika ia baru mampu
melakukan pekerjaan anak umur lima tahun (misal baru bisa menghitung sampai
10), padahal usia kalendernya sudah enam tahun, maka IQ-nya adalah (5:6) x 100
= 83,3.
IQ_90-110 dianggap normal, sedangkan di atas
110 tergolong di atas rata-rata, 120 ke atas adalah superior, 130 berarti
sangat superior dan di atas 140 tergolong jenius (Einstein ber-IQJ60). Di sisi
lain, IQkurang dari 90 digolongkan sebagai di bawah rata-rata di bawah 70
terbelakang (dulu disebut imbesil atau debil), dan di bawah 55 disebut sangat
terbelakang (dulu disebut idiot).[20]
Namun, teknik menghitung IQ. dengan membagi UM
dengan UK (karena itulah disebut quotient, artinya “hasil penghitungan”), hanya
dapat dilakukan pada anak-anak. Pertama, karena perintah- perintah sederhana
untuk memperkirakan kecerdasan (membaca, menghitung, mengikuti perintah,
melakukan sesuatu dan seba- gainya) hanya bisa dilakukan pada anak-anak. Kedua,
karena perbedaan usia pada orang dewasa tidak lagi bisa menjadi indikator
perbedaan kemampuan inteligensi. Orang berumur 20 tahun, 40 atau 60 tahun tidak
jauh berbeda dalam hal kemampuan mentalnya. Kalaupun ada perbedaan lebih
disebabkan oleh faktor pendidikan atau faktor sosial-ekonomi ketimbang faktor
usia. Walaupun demikian, faktanya tetap saja ada orang yang lebih pandai atau
kurang pandai dibandingkan keseluruhan orang lain seusianya, atau yang berasal
dari kelompok yang sama.
Karena itu, pengukuran inteligensi untuk orang
dewasa dilakukan dengan alat-alat psikodiagnostik (psikometri), yang oleh orang
awam lebih dikenal dengan nama psikotes, yaitu serangkaian daftar pertanyaan
atau tugas (disebut “baterai tes”) untuk mengukur aneka kemampuan, mulai dari
analisis verbal sampai dengan logika numerik. Alat-alat psikometri yang klasik
untuk mengukur IQantara lain dikembangkan oleh Wechsler & Bellevue,
Stanford & Binnet, dan Terman & Merril. Tes-tes klasik ini menggunakan
gabungan teori faktor “G” dan “S”, yaitu mengukur sejumlah kemampuan yang
berbeda-beda dan skor total dari semua pengukuran faktor “S” dikonversikan
menjadi nilai IQ, yang mencerminkan faktor “G” dari inteligensi orang yang
bersangkutan. Sama halnya dengan William Stern, tes-tes IQ klasik ini dan
tes-tes turunannya, menggunakan skor 0 (nol) sampai dengan 200, dengan bilangan
100 sebagai titik- tengah atau rata-rata.
Selanjutnya, kalau dinyatakan dalam grafik
(lihat gambar), maka gambaran pembagian tingkat-tingkat inteligensi tersebut di
atas akan membentuk sebuah kurva berbentuk bel (disebut “kurva intelligence
adalah akumulasi informasi, keterampilan-keterampilan dan strategi yang telah
dipelajari selama hidup dan ciapat diterapkan untuk memecahkan masalah.
2. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Intelegensi
a) Faktor
Pembawaan
Perdebatan
antara kaum nativis dan kaum empiris dalam ilmu psikologi, tidak terbatas pada
isu tentang inteligensi saja. Cesare Lombrosso (1836-1906), misalnya, terkenal
dengan teorinya mengenai “delinquento nato”, yaitu bahwa penjahat sudah mem-
punyai watak jahat sejak lahirnya, yang tercermin pada bentuk tengkoraknya
(Fisiognomi).[21]
Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu
keltfarga, atau bersanak sauda- ra, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi
tinggi (± 0,50). Di antara kembar korela- si sangat tinggi (± 0,90), sedangkan
di antara individu-individu yang tidak bersanak saudara korelasinya rendah
sekali (± 0,20).[22]
Bukti
lain dari adanya pengaruhbsirwii- an adalah hasi-hasil penelitian terhadap
anak-anak yang diadopsi. IQ mereka ternyata masih biokorelasi tinggi dengan
ayah/ibu yang sesungguhnya (bergerak antara + 0,40 sampa + 0,50). Sedangkan
korelasi dengan orang tua angkatnya sa- ngat rendah (+ 0,10 sampai + 0,20).
Selanjutnya,
studi terhadap kembar yang diasuh secara terpisah juga menun- jukkan bahwa IQ
mereka tetap berkore- lasi sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa walau
lingkungan berpengaruh terhadap taraf kecerdasan seseorang, tetapi banyak hal
dalam kecerdasan itu yang tetap tak terpengaruh.[23]
Tentu
saja teori ini sudah tidak relevan lagi sekarang, karena sekarang diketahui
bahwa kejahatan adalah hasil pengaruh berbagai faktor pada diri individu maupun
lingkungannya (keadaan sosial, ekonomi, pendidikan, faktor kesempatan). Selain
itu, bentuk kejahatan sekarang sudah meluas kepada white collar crime (pidana
pegawai, non-kekerasan) dan cyber crime (pidana internet), tentu sudah lain
pula wujud orang jahat itu di mata awam.
Selain
Fisiognomi, ada beberapa “ilmu semu” lain yang me- mercayai bahwa sifat atau
watak, bahkan nasib sudah ditentukan sejak lahir dan bisa diketahui melalui
beberapa cara, seperti Frenologi (dengan mengukur tengkorak kepalanya),
Palmistri (melalui garis-garis pada telapak tangannya) dan Astrologi (dengan
memperhitungkan peredaran bintang-bintang). Semua itu seakan- akan ilmiah,
tetapi sebetulnya tidak ilmiah, karena sangat sulit membuktikan kebenarannya.
Itulah sebabnya mereka disebut sebagai “ilmu semu.”
Ada
jenius-jenius yang berumur 14 tahun sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan
matematika yang serba rumit, membuktikan bahwa faktor bakat tidak dapat
diabaikan begitu saja. Sebagai contoh Martin Zacharias Dase dari Jerman di abad
ke-19. Ia mampu menghitung perkalian 79.532.853 dengan 93.758.479 dalam waktu
54 detik (Preston, 2005).
Inteligensi
sebagai isu tak hanya dilihat sebagai ilmu pengetahuan saja, bahkan dipakai
juga dalam isu-isu sosial. Inteligensi dipakai oleh kelompok-kelompok politik
tertentu untuk mendiskreditkan kelompok lain (terkait ras dan etnis atau
kelompok budaya lain), yang biasanya kelompok minoritas. Ini pernah dilakukan
secara nyata oleh NAZI kepada kelompok non-Arya, bahkan pemerintah Amerika
Serikat dengan kebijakan segregasi- nya pernah menegaskan inferioritas bangsa
asli Amerika (Indian) (Kottak, 2006). Yang menarik adaiah hasil temuan Arthur
Jensen (psikolog) (Jensen 1969; Herrnstein, 1971 dalam Kottak, 2006) yang
menyatakan bahwa performa kelompok Afrika-Amerika dalam tes inteligensi lebih
buruk daripada hasil kelompok Ero-Amerika. Tak hanya Jensen, ahli lainnya
Richard Heinstein (psikolog) dan Charles Murray (sosiolog) pada tahun 1994
menyatakan bahwa jelas ada perbedaan IQ. pada kelompok kuiit putih dan kelompok
Afrika-Amerika. Kondisi ini menurut mereka dikarenakan masalah genetik. Untuk
itu perlu diperhatikan pula faktor lingkungan dan kebudayaan.[24]
b) Faktor
Lingkungan dan Kebudayaan
Di
sisi lain, ada pendapat atau aliran yang percaya bahwa sifat manusia (termasuk
kecerdasan dan kepribadian lainnya) sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan.
Pandangan seperti ini disebut empirisme. John Locke, seorang filsuf Inggris
(1632-1704), adalah salah satu tokoh empirisme yang pertama, yang mengatakan
bahwa jiwa manusia waktu lahir adalah putih bersih, bagaikan kertas yang belum
ditulisi atau bagaikan "tabula rasa” (arti harfiahnya: papan lilin). Akan
menjadi apakah orang itu kelak, sepenuhnya tergantung pada
pengalaman-pengalaman apakah yang mengisi tabula rasa tersebut. Orang India
pandai berdagang kain, orang Minang berdagang kaki-lima, orang Melayu piawai
berpantun, anak maling jadi maling, anak dosen jadi dosen, dan seterusnya, itu
semua menurut John Locke adalah karena faktor lingkungan.[25]
Walau
ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi ternyata
lingkungan sanggup menimbulkan per- ubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi
tentunya tidaklah dapat terlepas dari otak. Dengan kata lain perkembangan
organik otak akan sangat mempenga- ruhi tingkat inteligensi seseorang. Di pihak
lain, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh
karena itu, ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan inteligensi
seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh
lingkungan yang amat penting.[26]
Selain
gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan
juga memegang peranan yang amat penting. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
intelegensi bisa berkurang karena tidak adanya bentuk rangsangan tertentu dalam
awal-awal kehidupan individu. Skeels dan Skodak menemukan dalam studi
longitudinal mereka bahwa anak- anak yang dididik dalam lingkurigan yang kaku,
kurang perhatian, dan kurang dorongan lalu dipindahkan ke dalam lingkungan yang
hangat, penuh perhatian, rasa percaya, dan dorongan, menunjukkan peningkatan
skor yang cukup berarti pada tes kecerdasan.
Seorang
tokoh empirisme lainnya, guru besar psikologi di Universitas John Hopkins, AS,
yang kemudian mendirikan aliran “Behaviorisme", John B. Watson bahkan
berani menyatakan- ini: “Berikan kepadaku sepuluh orang anak. Akan kujadikan
kesepuluh orang anak itu masing-masing menjadi pengemis, pedagang, sarjana, dan
sebagainya sesuai dengan kehendakku.” Jadi menurut Watson, karena jiwa manusia
waktu lahir masih bersih, maka untuk menjadikan manusia itu sesuai dengan yang
dikehendaki, kepada orang itu tinggal diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman
yang diperlukan. Asas ini bahkan bisa dipraktikkan kepada orang dewasa dengan
teknik yang kita kenal sebagai brain washing. Dengan cara itu, orang normal
bisa dibentuk menjadi radikal dan teroris (termasuk bom bunuh diri) untuk
tujuan politik, baik yang berdasarkan ajaran ideologi tertentu (seperti
komunisme), maupun yang berdasarkan ajaran agama tertentu.
Temuan
dari Scarrs dkk. (1977, dalam Quinn, 1995) yang meneliti anak-anak dari
kelompok Afrika-Amerika dari berbagai tempat tidak menemukan adanya perbedaan
hasil IQ. Scarr membandingkan hasil tes anak-anak tadi dengan anak-anak
keturunan Jerman. Akhirnya dicapai sdmulan bahwa perbedaan hasil IQ. hanya
terjadi pada dua kelompok yang berasal dari kebudayaan yang amat berbeda. Hal
ini tanipaknya senada dengan berbagai temuan hasil tes inteligensi yang
ternyata setelah diselidiki lebih lanjut dikaitkan dengan kebutuhan hidup
kelompoknya/ kebudayaannya. Indian Cree di Kanada lebih menekankan kemampuan
hati-hati dan bertingkah laku baik (Berry dan Bennet, 1992 dalam Quinn, 1995),
di sebagian Afrika kemampuan berburu yang diutamakan. Lain halnya di Cina, yang
dipentingkan adalah kemampuan menulis kata (Rumpel, 1988 dalam Quinn, 1995).[27]
c) Interaksi
Bawaan dan Lingkungan: Konvergensi
Kedua
pendapat tentang asal inteligensi di atas ada benarnya. Saat ini para peneliti
inteligensi setuju bahwa inteligensi adalah hasil dari kontribusi lingkungan
dan bawaan (Garret, 2003). Dari sudut pandang bawaan, para peneliti beranjak
pada penelitian terhadap otak. Temuan ini dikuatkan oleh penelitian dengan
menggunakan metode pemindaian otak dikenali beberapa area otak yang terkait
dengan inteligensi. Pada tikus yang hidup di kandang yang penuh dengan mainan,
lorong dan sejenisnya diketahui memiliki sambungan neuron-neuron yang lebih
banyak dan lebih cepat belajar (Rampon dkk, 2000; Haier, 2003 dalam Feldman,
2008). Sebaliknya bahwa anak seorang dosen akan menjadi dosen juga, membuktikan
bahwa lingkungan pun ada pengaruhnya.
Yang
kurang dapat diterima adalah pendapat bahwa faktor pembawaan atau faktor
lingkungan mutlak memengaruhi per- kembangan kehidupan seseorang. Kedua faktor
itu sama ber- pengaruhnya. Pendapat terakhir ini dikenal sebagai teori
konvergensi, dengan tokohnya William Stern (1938). Beberapa percobaan dapat
membuktikan teori konvergensi ini. Francis Galton (1822-1911) membuktikan bahwa
dua orang anak kembar identik, jika dididik dan dibesarkan dalam keluarga
dengan lingkungan yang berbeda, akan mengembangkan sifat-sifat yang juga
berbeda. Makin besar perbedaan lingkungannya, makin besar pula perbedaan sifat
kedua anak kembar itu (dalam Bulmer, 2003). Jadi, pengaruh lingkungan cukup
besar pada kedua anak itu. Di sisi lain, seseorang dengan taraf kecerdasan yang
tergolong terbelakang, jika diberi didikan yang sistematis untuk menguasai
pelajaran-pelajaran sekolah menengah, tidak akan menunjukkan kemajuan yang
berarti sampai masa percobaan itu usai.
Jadi,
terbukti dari kedua percobaan di atas bahwa lingkungan boleh berpengaruh
terhadap perkembangan inteligensi seseorang, tetapi dalam batas-batas baWaan
yang ada.
3. Tipe-tipe
Intelegensi
Dalam tujuan tes intelegensi pada anak dikenal
berbagai alat ukur. Alat ukur tersebut diantaranya adalah Tes Intelegensi (IQ),
Tes Emosional (EQ), tes Spiritual (SQ), Psikotes dan lain sebagainya.[28] Semakin
tinggi semangat orang untuk meraih sukses, maka semakin tinggi pula kebutuhan
akan modal intelektual, emosional, psikologi minat dan bakat.
Stamberg (1983) mengklaim bahwa terdapat tiga
tipe intelegensi dalam "teori triarki" yang dikemukakan, yaitu :[29]
a) Intelegensi analitis
1) Berhubungan secara
kasar dengan IQ
2) Cenderung memiliki
korelasi sedang dengan kreatif, namun rendah dengan praktis
b) Intelegensi Kreatif
Fokusnya pada menemukan,
menyelediki, menciptakan, dan membayangkan.
c) Intelegensi praktis
1) Menyelesaikan masalah
yang mungkin dihadapi dalam suatu tugas tertentu contohnya mengganti ban
2) Stanberg menemukan
korelasi yang relatif rendah dengan skor IQ
B. Kepribadian
1. Pembentukan
Kepribadian
Istilah bahasa Inggris untuk kepribadian adalah
personality, yang berasal dari kata Latin “persona” yang artinya adalah topeng.
Dulu topeng dipakai dalam teater untuk menunjukkan karakter tokoh yang
dimainkan.[30] Kepribadian (personality)
adalah sebuah konsep yang sangat sukar dimengerti dalam Psikologi, meskipun
istilah ini digunakan sehari-hari. Bukan saja di kalangan psikologi, tetapi
juga oleh awam (misalnya: kepribadian bangsa, kepribadian luhur, 10 kepribadian
orang sukses dan lain-lain). Di bawah ini akan dikemukakan sederetan definisi
dari berbagai aliran psikologi, sekadar untuk menggambarkan berapa luasnya
pengertian yang dicakup oleh istilah tersebut dalam psikologi.
Teori Psikoanalisis yang dipelopori oleh
Sigmund Freud memandang kepribadian terdiri dari tiga komponen, yaitu Id
(naluri), Ego (kesadaran atau "aku”), dan Superego (hati nurani).
Interaksi antarketiga komponen itu terwujud dalam perilaku.[31]
a)
Kaum Behavioris, dipelopori oleh B.F. Skinner,
memandang kepribadian sebagai rangkaian kebiasaan (habit) yang tersusun dari
sejumlah hubungan rangsang (stimulus) dan reaksi (response) yang memperoleh
penguatan (reinforcement).
b)
Leon Festinger dan para penganut psikologi
Kognitif lainnya bahwa kognisilah yang menentukan perilaku. Isi kognisi atau
kesadaran adalah pengetahuan, minat, sikap, penilaian, dan harapan tentang
dunia, khususnya tentang orang-orang lain. Dengan demikian kepribadian adalah
proses kognitif, yaitu berpikir dan membuat keputusan.
c)
Psikologi Humanistik menekankan pada kebebasan
berke- hendak sebagai bagian dari kepribadian manusia. A.H. Maslow, salah satu
pemuka aliran ini, berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang tertinggi adalah
aktualisasi diri. Bagaimana manusia itu berusaha untuk mencapai aktualisasi
dirinya, itulah yang menentukan perilakunya.
d)
Dalam Teori Biopsikologi, Richard Davidson
memandang kepribadian sebagai hasil kerja bagian-bagian dari otak yang disebut
prefrontal cortex (PFC) sebagai pusat rasio dan amygdala sebagai pusat emosi.
Selain dari definisi-definisi di atas, masih banyak definisi kepribadian
yang lain, tetapi yang saya rasa paiing mudah dipahami, karena cukup
operasional dan mudah diterapkan, adalah definisi dari Gordon W. Allport yang
sudah merintis konsep tentang kepribadian ini sejak 1937 (dalam Allport, 1961)
sebagai berikut:
“Kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang
menentukan cara penyesuaian diri yang unik (khusus) dari individu tersebut
terhadap lingkungannya.”
Kata-kata kunci dari definisi Allport tersebut di atas adalah (1) sistem
psikis (pikiran, perasaan, motivasi, minat, dan sebagainya) dan sistem fisik
(tinggi badan, warna kulit, sistem syaraf, pencernaan, kacamata, jerawat,
gemuk/kurus dan lain-lain); (2) organisasi dinamis yang menggabungkan semua
sistem psiko- fisik tadi dalam suatu proses kerja yang kait-mengait dan terus
berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya; (3) penyesuaian diri individu
tersebut terhadap lingkungannya; dan (4) secara unik (khas, tidak sama dengan
individu lainnya).
Untuk jelasnya, kita bayangkan seorang gadis remaja bernama Putri, yang
cantik, tinggi semampai, cerdas, fasih berbahasa Inggris, pandai bergaul,
pernah juara sepatu roda, dan terakhir terpilih sebagai None Jakarta. Kita
sudah bisa membayangkan bagaimana kepribadian Putri. Kepribadian itu adalah
hasil pengorganisasian semua sistem psikis (cerdas, pandai gaul) dan fisik
(unggi semampai, cantik) sehingga menghasilkan seorang Putri yang berhasil
menjadi juara sepatu roda dan Nona Jakarta.[32]
Secara tiba-tiba, oleh dokter dia diharuskan memakai kacamata karena dia
mengeluh pusing kalau sedang membaca. Selain itu, dia melihat ada jerawat
tumbuh di wajahnya. Terjadi dua perubahan dalam sistem fisiknya. Dampaknya
adalah perubahan drastis pada total kepribadian Putri. Dia tidak lagi percaya
diri, lebih suka menyendiri, murung, dan cepat marah. Kacamatanya tidak pernah
dipakai sehingga dia bertambah pusing
Itulah yang namanya kepribadian. Kepribadian selalu berubah karena
selalu menyesuaikan diri dengan keadaan. Tetapi, juga ada yang menetap, karena
setelah berjerawat dan berkacamata, dia tetaplah Putri sebelum berjerawat dan
berkacamata. Gerak-geriknya, gaya bicaranya, tatapan matanya, tetaplah seperti
Putri yang dulu. Ia masih tetap paling suka makan sate kambing dan tidak pernah
gemuk walaupun makan sate berapa tusuk sekalipun.
Dalam pemeriksaan psikologis (misalnya untuk tujuan seleksi pegawai
baru), tugas psikolog adalah mengidentifikasi aspek-aspek kepribadian yang
sifatnya relatif menetap yang akan menentukan prestasinya kelak di
pekerjaannya. Menurut Allport, salah satu aspek yang menetap itu adalah sifat
(trait) seperti pemarah, cepat tanggap, atau pemberani. Termasuk juga di sini
aspek kecerdasan. Sebaliknya, ada aspek-aspek yang sifatnya sementara dan bisa
diubah atau dikembangkan melalui pengalaman dan pelatihan, seperti sikap kerja,
ketekunan, disiplin, dan sebagainya. Di sinilah faktor bawaan akan dipadukan
dengan faktor pengalaman dalam suatu hasil pemeriksaan psikologis yang
komprehensif.[33]
Salah satu teori sifat (trait) yang sekarang populer di kalangan
peneliti psikologi, adalah teori Lima Dimensi Model Kepribadian, atau sering
disebut teori “5 Besar” (The Big Five theory) yang dikemukakan pertama kali
oleh L.L. Thurstone (1934) dan kemudian dikembangkan alat ukurnya oleh Lewis
Goldberg dan kawan-kawan (1993). Teori Lrii menyatakan bahwa ada lima sifat
dasar inti pada manusia. Kepribadian seseorang ditentukan oleh sifat-sifat yang
dominan dari kelima sifat itu. Agar mudah diingat, kelima sifat itu bisa
disingkat menjadi OCEAN (lautan) atau CANOE (perahu):
a) Openness to
experience - keterbukaan pada pengalaman dan gagasan-gagasan baru vs.
tradisional dan berorientasi semata- mata pada rutinitas.
b) Conscientiousness
- memenuhi tugas, berencana, dan teratur vs. santai, spontan, dan tak dapat
diandalkan.
c) Extraversion -
ceria dan berorientasi pada rangsangan yang ada di luar vs. pendiam dan
menghindari stimulus dari luar.
d) Agreeableness -
bersifat sosial, bersahabat, cinta damai vs. agrcsif, dominan, tidak setuju
pada orang lain.
e) Neuroticism -
reaktif secara emosional, mudah terpicu emosi negatifnya vs. tenang,
terkendali, optimis.
Seperti halnya dalam inteligensi, dalam kepribadian juga digunakan
alat-alat psikodiagnostis atau psikotes. Dalam asesmen (teknik evaluasi
psikologik yang lebih lengkap), tidak hanya digunakan alat-alat
psikodiagnostik, melainkan juga digunakan metode wawancara dan obervasi melalui
proses simulasi, games (permainan), diskusi dan sebagainya. Semua itu dilakukan
agar psikolog dapat memberikan gambaran yang selengkap dan setepat mungkin
tentang kepribadian para subjek yang diperiksa. Bukan suatu hal yang mudah,
karena suami atau istri subjek, bahkan orang tua subjek yang sudah hidup
bersama selama bertahun-tahun belum tentu mengenal betul kepribadian subjek.
Sementara itu, seorang (atau tim) psikolog harus bisa mendeskripsikan
kepribadian orang yang diperiksanya hanya dalam waktu sehari atau dua hari.[34]
Berbeda dari alat-alat psikodiagnostik untuk mengetahui tingkat kecerdasan
(IQ), tes-tes kepribadian tidak hanya meng- gunakan teknik mengukur
(kuantitatif, psikometri), melainkan juga menggunakan teknik tes proyeksi1 dan
tes inventori (pilihan sedang diperiksa).
2. Pembentukan
Identitas Diri
Pengalaman-pengalaman yang umum maupun yang
khusus di atas memberi pengaruh yang berbeda-beda pada masing-masing individu.
Individu itu pun merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara
berbeda-beda pula, sampai akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu kepribadian
yang tetap (permanen). Proses integrasi pengalaman-pengalaman ke dalam
kepribadian yang makin lama makin menjadi dewasa disebut proses pembentukan
identitas diri.
Sebelum sampai pada pembentukan kepribadian
yang matang, dewasa, dan permanen, proses pembentukan identitas diri harus
melalui berbagai tingkatan. Salah satu tingkat yang harus dilalui adalah
imitasi (keinginan untuk meniru orang lain) yang dilanjutkan dengan
identifikasi (dorongan untuk menjadi identik dengan orang lain). Pada masa
remaja, tahap identifikasi ini dapat menyebabkan kebingungan dan kekaburan akan
peranan sosial, karena remaja- remaja cenderung mengidentifikasikan dirinya
dengan beberapa tokoh sekaligus, misalnya dengan ayah, ibu, kakak, saudara,
guru, kawan, atau bintang sinetron idolanya. Padahal, sering kali tokoh-tokoh
identifikasi itu saling bertentangan. Ayah yang sangat dibanggakan dan dikagumi
oleh anaknya, justru melarang anak itu bergaul dengan sahabatnya yang sangat
baik hati dan suka menolong hanya karena sahabat itu menyukai lagu-lagu rock
metal yang juga digemari sang anak.[35]
Kalau kekaburan akan perahan sosial ini tidak
dapat dihapuskan sampai dewasa, maka besar kemungkinannya dia akan mengalami
krisis identitas sampai ke masa dewasanya. Oleh karena itu, penting sekali
diusahakan agar remaja dapat menentukan sendiri identitas dirinya dan
berangsur-angsur melepaskan identifikasinya terhadap orang lain sehingga
akhirnya menjadi dirinya sendiri.
Orang tua bisa membantu proses ini, misalnya
mereka dengan tidak selalu mengatakan, "... kamu contoh Papa, dong. Dulu
Papa gak pernah dapat rapor merah. Seumur kamu, Papa sudah cari duit sendiri...
Kamu? Bagaimana kamu mau jadi orang, kalau belajar saja malas”. Sebaliknya,
gunakanlah kalimat-kalimat yang mendorong semangat, kamu pintar betul main
internet. Seumur kamu, Papa belum kenal internet. Ajarin Papa main internet,
dong... Nanti Papa ajarin kamu Bahasa Inggris, sampai bisa. OK? Papajanji,
deh!’\ Teknik mendorong semangat ini bisa dilakukan juga oleh tokoh- tokoh
identitas lainnya, seperti guru.
3. Ekspresi
Kepribadian
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahwa arti
kepribadian sangat luas.[36]
Oleh karena itu, jika kita hendak menggambarkan atau menguraikan kepribadian
seseorang, kita harus membagi-bagi kepribadian tersebut dalam beberapa
karakteristik yang dapat dilihat atau diukur. Dengan kata lain, kepribadian
seseorang Hu diekspresikan ke dalam beberapa karakteristik sehingga dengan
memahami karakteristik- karakteristik tersebut, kita dapat mengerti pula
kepribadian orang yang bersangkutan.
Sekalipun tidak semua pakar sependapat, tetapi
karakteris- tik-karakteristik yang saya anggap terpenting untuk mengenali
kepribadian adalah: [37]
a) Penampilan
Fisik: tubuh yang besar, wajah yang tampan, pakaian yang rapi, atau tubuh yang
kurang sehat, wajah yang kuyu, pakaian kusut, semuanya menggambarkan
kepribadian dari orang yang bersangkutan. Juga bisa dilihat apakah ia berwibawa
dan percaya pada diri sendiri atau kurang semangat dan mempunyai perasaan
rendah diri dan sebagainya.
b) Temperamen:
yaitu suasana hati yang menetap dan khas pada orang yang bersangkutan,
misalnya: pemurung, pemarah, periang, dan sebagainya.
c) Kecerdasan dan
kemampuan: termasuk kreativitasnya:2 mengikuti teori Multiple Intelligence,
kita bisa mengidentifikasi kemampuan yang menonjol pada orang yang
bersangkutan.
d) Arah Minat dan
Pandangan Mengenai Nilai-nilai: hobi, pekerjaan-pekerjaan yang selalu
dilakukan, serta kebiasaan sehari-hari merupakan indikator terbaik untuk
menggambarkan arah minat dan pandangan moral seseorang.
e) Sikap Sosial:
hal ini bisa diukur dengan beberapa psikotes atau skala seperti MPPT, EPPS, The
Big Five Test, atau tes-tes proyeksi. Namun, bisa juga digali dari wawancara
mendalam atau observasi dalam proses simulasi, games, atau diskusi.
Kecenderungan-kecenderungan dalam motivasinya: hal ini pun dapat diketahui
melalui beberapa tes dan wawancara serta observasi selama proses pemeriksaan.
f) Cara-cara
Pembawaan Diri: bentuknya misalnya sopan santun, banyak bicara, krids, mudah
bergaul, dan sebagainya. Cara pembawaan diri ini terlepas dari isi atau materi
yang dibawakan. Seseorang dapat berbicara tentang berita kematian atau
soal-soal perdagangan atau mengundang seseorang ke suatu perjamuan, atau
menegur kesalahan seseorang, tetapi semuanya dilakukan dengan cara yang sopan
atau justru sebaliknya.
g) Kecenderungan
Patologis: merupakan tanda-tanda adanya gangguan jiwa yang serius (bukan
sekadar stres atau depresi karena frustrasi). Memang, yang paling tepat untuk
men- diagnosis gangguan jiwa adalah dokter spesialis kejiwaan (SpKJ) atau
psikolog klinis. Jetapi, mata seorang psikolog non-klinis, atau asesor,
bahkan awam yang waspada pun akan mampu mengidentifikasi adanya gangguan jiwa
berat seperti skhiozophrenia (berbicara dan berperilaku aneh, ngawur tanpa arah
(bizarre), ada halusinasi, dan sebagainya). Bisa juga autisma (hiperaktif]
tetapi tidak ada kontak dengan orang lain, tidak bisa diajak bercakap-cakap,
lebih suka dengan kegiatannya sendiri yang bersifat mengulang-ulang dan
lain-lain).[38]
4. Jenis
Kepribadian
Sekalipun kepribadian itu unik, yaitu berbeda
pada tiap-tiap orang, tetapi ada pakar psikologi yang tetap berusaha
menggolong- golongkan kepribadian dalam beberapa jenis. Usaha ini adalah usaha
yang sukar sekali, karena itu penggolongan yang mereka buat hanya dapat
didasarkan pada satu atau dua aspek saja dari keseluruhan kepribadian. Beberapa
di antara penggolongan kepribadian itu akan diuraikan di bawah ini.
Penggolongan menurut Ernst Kretschmer
(1888-1964) dida- sari pada ciri-ciri fisik dan berorientasi pada
penyakit-penyakit kejiwaan. Ada tiga macam tipe, yaitu:
a) Tipe Asthenis:
bertubuh kurus, jangkung, mempunyai tem- peramen yang mirip dengan penderita
skizofrenia.
b) Tipe Atletis:
bertubuh tegap, seperti olahragawan, mempunyai temperamen yang mirip dengan
penderita epilepsi.
c) Tipe Piknis:
gemuk, pendek, bertemperamen mirip dengan penderita manis-depresif
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa Setiap intelegensi memiliki urutan
perkembangan tersendiri, yang pertumbuhan dan kemunculannya berbeda satu sama
lain. Sebagai contoh intelegensi musikal tubuh paling awal dalam kehidupan
manusia, tetapi kualitasnya akan tergantung pada interaksi dengan lingkungan
bagaimana cara mengembangkannya. Inteligensi adalah penyesuaian diri secara
mental terhadap situasi atau kondisi baru.
Kepribadian
(personality) adalah sebuah konsep yang sangat sukar dimengerti dalam
Psikologi, meskipun istilah ini digunakan sehari-hari. Bukan saja di kalangan
psikologi, tetapi juga oleh awam (misalnya: kepribadian bangsa, kepribadian
luhur, 10 kepribadian orang sukses dan lain-lain). Di bawah ini akan
dikemukakan sederetan definisi dari berbagai aliran psikologi, sekadar untuk
menggambarkan berapa luasnya pengertian yang dicakup oleh istilah tersebut
dalam psikologi.
B. Saran
Demikianlah
pembahasan makalah mengenai intelegensi dan kepribadian, semoga dapat
bermanfaat bagi kita pembaca sekalian. Penulis menyarankan agar mari kita
banyak membaca agar kita dapat menambah wawasan kita di bidang Psikologi.
Kritik
dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fitriyah, Lailatul
dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2014)
Hariwijaya, Tes IQ Pada Anak, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006)
Irwanto, dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT.
Total Grafikka, 2002)
Ling, Jonathan dan Jonathan Catling, Psikologi
Kognitiif, (Jakarta: PT Erlangga, 2012)
Sarwono, Wirawan, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009)
Sujanto, Agus. Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009)
Suryasubrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2013)
Suyanto, Agus. Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009)
Yusuf, Syamsu, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
[1] Syamsu Yusuf, Landasan
Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
[2] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 153
[3] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 153
[4] Agus Suyanto, Psikologi
Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 66
[5] Lailatul Fitriyah, dan Mohammad Jauhar, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 196
[6] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 167
[7] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 167
[8] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 153
[9] Sumadi Suryasubrata, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 124
[10] Agus Sujanto, Psikologi
Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 66
[11] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 168
[12] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 155
[13] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 155
[15] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 155
[16] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 156
[17] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 157
[18] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 158
[19] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 160
[20] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 161
[22] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 168
[23] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, ... h. 168
[26] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, ... h. 169
[27] Wirawan Sarwono, Pengantar
Psikologi Umum, ... h. 166
[28] Hariwijaya, Tes IQ
Pada Anak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. v
[29] Jonathan Ling dan
Jonathan Catling, Psikologi Kognitiif, (Jakarta: PT Erlangga, 2012), h. 66
[30] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 169
[31] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 170
[32] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 171
[33] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 172
[34] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 172
[35] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 173
[36] Lailatul Fitriyah, dan Mohammad Jauhar, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 189
[37] Lailatul Fitriyah, dan Mohammad Jauhar, Pengantar
Psikologi Umum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2014), h. 189
[38] Irwanto, dkk, Psikologi
Umum, (Jakarta: PT. Total Grafikka, 2002), h. 178
No comments:
Post a Comment