BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Membicarakan masuknya
Islam di Bengkulu tidak terlepas dari membicarakan masuknya Islam di Indonesia.
Ada beberapa tahapan yang dapat menjelaskan tentang masuknya Islam ke
Indonesia. Tahap pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah). Pada tahun 30 Hijri
atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW,
Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan
Daulah Islam yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan yang
memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di
Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti
Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah
perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan
pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi
dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.Lambat laun penduduk pribumi mulai
memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat
dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam.
Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai.
Berita dari Marcopolo
menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah
banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batutah,
pengembara Muslim dari Magribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan
tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa
Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam
seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka
tahun 475 H/1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan
makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang
Arab.Tahap kedua, abad ke 14 Masehi.
Sampai dengan abad
ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk
Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum
Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan
berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam,
Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara
lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu/ Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold
dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai
penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia
Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana masuknya islam di sumatera?
2.
Bagaimana masuknya islam di Bengkulu?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui masuknya Islam di Sumatera
2.
Untuk mengetahui masuknya Islam di Bengkulu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masuknya
Islam ke Indonesia
Menurut beberapa
sejarawan, agama Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi yang
dibawa oleh para pedagang muslim. Meskipun begitu, belum diketahui secara pasti
sejak kapan Islam masuk ke Indonesia karena para ahli masih berbeda pendapat
mengenai hal tersebut. Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan
tentang proses masuknya Islam ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat,
dan teori Persia.[1]
a.
Teori
Gujarat, Teori yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama
Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para
pedagang dari Kambay(Gujarat), India.
b.
Teori
Persia, Teori ini dipelopori oleh P.A Husein Hidayat. Teori Persia ini
menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang
Iran) karena adanya beberapa kesamaan antara kebudayaan masyarakat Islam
Indonesia dengan Persia.
c.
Teori
Mekkah, Teori ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam
baru sampai di Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Teori
ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (arab)
sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7. Teori ini didasari oleh sebuah
berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada abad ke-7 sudah terdapat sebuah
perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.
Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita
muslim bernama Fatimah Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan
diperkirakan berasal dari abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah
masuk ke Indonesia jauh sebelum abad ke-13.
B.
Masuknya
Islam di Sumatera
Sumatera mengawali
jejak perjalanan Islam di nusantara. Di bagian utara pulau ini pernah berdiri
Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Kerajaan yang
berdiri di tanah Aceh itu bahkan pernah dikunjungi Ibnu Batutah, pengembara
muslim paling ternama sepanjang sejarah.
Daftar sejarah itu
bila dirunut ke belakang bisa lebih panjang, karena menurut data sejarah di
Aceh Timur, pada abad ke-9 pernah berdiri kerajaan Perlak yang kemudian
menggabungkan diri dengan Pasai.
Kekayaan khazanah
Islam Sumatera lalu dilanjutkan dengan berdirinya kerajaan Malaka (1402 – 1511)
yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang menyelamatkan
diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit. Nama Malaka kemudian masyhur
sebagai salah satu pelabuhan penting di dunia. Portugis, Belanda dan Inggris
pun merapat di sana.[2]
Masih di bagian Utara
Sumatera berdiri Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1360 dengan ibu kota
Kutaraja (Banda Aceh). Sultan Ali Mughayat Syah dinobatan sebagai Sultan
pertama pada Ahad, 1 Jumadil Awwal 913 H bertepatan pada 8 September 1507.
Selain masyhur dengan sistem pendidikan militer yang baik, komitmennya dalam
menentang imperialisme Eropa, sistem pemerintahan teratur dan sistematik,
kesultanan Aceh merupakan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan terutama
Islam.
Kesultanan Aceh
melahirkan beberapa ulama ternama. Karya-karya mereka menjadi rujukan utama
dalam bidang masing-masing. Tersebutlah Hamzah Fansuri dengan karyanya Tabyan
fi Ma’rifati al-Udyan. Syamsuddin al-Sumatrani dengan Miraj al-Muhakikin al
Iman. Nuruddin ar-Raniry dengan Sirat al-Mmustaqim. Syekh Abdul Rauf Singkili
dengan Mi’raj al Tulabb fi Fashil.
Beranjak ke Selatan
ada lagi kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi yang berdiri sekitar
abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat
sekarang dan di utara Jambi. Terdapat juga kerajaan Lingga-Riau yang merupakan
perpecahan dari Kesultanan Johor. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu
menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahsa besar lain dunia, yang
kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang
perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan
sejarawan keturunan Melayu-Bugis.
Di luar itu berdiri
kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di banyak tempat di pulau Sumatera
seperti di Padang (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), Medan
(Sumatera Utara) dan Bengkulu. Perkembangan Islam di daerah Padang bahkan
diwarnai dengan masuknya aliran Wahabi dan memberi warna khas bagi pergerakan
nasional lewat golongan paderi.[3]
C.
Sejarah
Perkembangan Islam di Bengkulu
Islam masuk ke
Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil'alamin.Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan
dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang
bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah
berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan
dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.[4]
Islam di Bengkulu
masuk melalui beberapa jalur, di antaranya melalui Sumatera Barat, Sumatera
Selatan (Palembang), dan interaksi antara kerajaan-kerajaan yang ada di
Bengkulu dengan kerajaan Banten Islam di tanah Jawa.Informasi mengenai sejarah
awal masuknya Islam di Bengkulu diperoleh dari berbagai sumber yang menunjukkan
terdapat beberapa pintu masuk Agama Islam ke Bengkulu. Menurut sumber yang ada
Islam masuk ke Bengkulu terjadi dengan adanya interaksi kerajaan Banten dengan
Bengkulu. Dikatakan bahwa Raja pertama Kerajaan Sungai Serut yang bernama Ratu
Agung menurut kepercayaan rakyat adalah Dewa dari Gungung Bungkuk yang sakti,
tetapi kepercayaan ini tidak dapat diterima karena tidak masuk akal.
Ratu Agung lebih
tepat dikatakan berasal dari Banten dengan alasan bila kita memperhatikan sejarah
Banten yang memberitakan bahwa Sultan Hasanudin (1546-1570), putra Sunan Gunung
Jati yang kawin dengan Pangeran Ratu Nyawa (putri Sultan Demak), mempunyai
seorang putra yang bernama Ratu Agung. Sebagai seorang pangeran yang merangkap
pedagang yang mengumpul lada di Sungai Serut ia membina satu kerajaan Sungai
Serut yang mengumpulkan hasil bumi dari pedalaman, terutama lada untuk Banten.
Pendapat ini
diperkuat dengan adanya peristiwa bahwa yang menggantikan Sultan Hasanudin
(raja pertama Banten) bukan putranya Ratu Agung, tetapi Pangeran Yusuf
(1570-1580), Muhammad Pangeran Sedangrana (1580-1596), Abdul Kadir (1596-1651)
dan Abdul Fatah Sultan Ageng (1651-1682). Peristiwa pemakaman Ratu Agung secara
Islam disebut dalam Tambo Bengkulu. Di dalam Tambo dikatakan bahwa Bilal,
Khatib dan Qadi hadir di wafatnya Ratu Agung. Beliau dimakamkan di Bengkulu
Tinggi yang sekarang dikenal dengan nama Keramat Batu Menjolo.Diketahui dari
sejarah bahwa Kerajaan Islam Banten sebagai kerajaan maritim sejak awal abad
XVI menduduki tempat penting dalam perdagangan di pantai Barat Sumatera melalui
selat Sunda. Malahan pada akhir abad XVI Banten merupakan bandar terbesar di
sebelah barat pulau Jawa, sebagai pusat perdagangan internasional, yang mana
hadir para pedagang Portugis, Belanda, Inggris, Arab, Turki dll. Banten sebagai
kerajaan pesisir mementingkan pelayaran dan perdagangan yang mana raja dan
keluarga turut mengambil peran.
Kerajaan Sungai Serut
ini diperkirakan muncul pertengahan abad XVI, karena menurut sejarah Banten, karangan
Hossein Djajadiningrat, Sultan Banten Hasanuddin pernah melakukan perjalanan
bersama Ratu Balo dan Ki Jongjo ke Lampung, Indrapura, Selebar dan Bengkulu.
Sultan Banten Hasanuddin kawin dengan seorang putri dari Sultan Indrapura dan
menerima hadiah perkawinan daerah pantai barat Sumatera sejauh Air Itam ke
Utara. Dengan perkawinan ini, dimulailah pengaruh Kerajaan Banten atas daerah
pesisir barat Sumatera tersebut.Rakyat kerajaan Sungai Serut disebut Rejang
Sabah (suku bangsa Rejang yang berasal dari Lebong di dataran tinggi Bukit
Barisan yang menyebar ke pesisir) karena banyak jumlahnya daripada suku Lembak
yang minoritas.
Ratu Agung sebagai
raja pertama (1550-1570) mempunyai anak 7 orang yaitu Raden Jili, Monok Mincur,
Lemang Batu, Taju Rumpun, Rindang Papan, Anak Dalam Muara Bengkulu, dan Putri
Gading Cempaka. Pada pemerintahan Anak Dalam (1570-1615) wilayahnya meluas ke
utara sampai ke dusun-dusun di tepi Air Lais dan Air Ketahun dan ke selatan
sampai ke Air Lempuing.Pada zaman Anak Dalam ini pula pada akhir abad XVI telah
berdatangan para pedagang Aceh ke Bandar kecil Sungai Serut dan bermukim di
bukit dekat pantai, yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Bukit Aceh,
untuk membeli lada dan hasil bumi lainnya.
Menurut tambo
Bengkulu, putra Sultan Aceh yang juga pedagang melihat Putri Gading Cempaka
yang cantik itu, dan peristiwa ini disampaikan kepada ayahnya Sultan Iskandar
Muda (1607-1636). Demi memperkuat pengaruhnya, beliau menyetujui putranya
meminang putri disertai oleh satu pasukan, tetapi ditolak oleh Anak Dalam.
Sebagai akibat penolakan itu, putra Sultan Aceh memerintahkan penglima pasukan
laut memerangi Anak Dalam. Sekalipun perang ini tidak seimbang, rakyat tetap
mempertahankan dengan sungguh-sungguh daerahnya sehingga banyak memakan korban
yang bergelimpangan di Sungai Serut dan hanyut ke hulu sungai. Raja Anak Dalam
melarikan diri ke pedalaman (Gunung Bungkuk) dan kerajaannya musnah.[5]
Peristiwa ini terjadi
sekitar tahun 1615, dan mulai sejak peristiwa itu Sungai Serut berubah nama
menjadi Sungai Bengkulu (Bengkahulu berasal dari kata-kata bangkai ke
hulu).Dengan peristiwa di atas, maka orang-orang Rejang di Luak Pesisir (Rejang
Sabah) kehilangan rajanya dan berkeliaran tanpa pimpinan kesatuan mereka.
Sekalipun denmikian, setiap dusun masih dikepalai seorang pemimpin yang dipilih
rakyatnya dan bertugas memimpin serta menegakkan adat istiadat yang berlaku di
dusun sebagai masyarakat hukum adat dan semua adat istiadat itu diketahui
mereka secara lisan turun temurun.
Data yang diperoleh
dari Abdullah Siddik ini berbeda menurut data yang dikemukakan Hakim Benardie
dalam bukunya Sejarah Maritim Indonesia. Menurut Hakim, Ratu Agung yang
dinyatakan sebagai Raja Bengkulu atau tepatnya raja kecil (akuwu) Kerajaan
Sungai Serut bukanlah keturunan langsung dari Sultan Hasanudin.Babad dan kronik
Jakarta ada menyebut keberadaan Ratu Agung yang juga dikenal dengan sebutan
Ratu Dewata merupakan salah seorang pewaris tahta Kesultanan Banten (pewaris
belum tentu keturunan langsung raja).
Ratu Agung atau Ratu
Dewata memerintah Jakarta 941-950 H atau 1535-1543 M menggantikan penguasa
kesultanan Kalapa Vasal Banten (Jakarta sekarang) Ratu Sami`am (Sami`nan) yang
memerintah negeri Kalapa 918-941 H atau 1512-1535 M.Setelah Ratu Agung (Raja
Jakarta vasal Banten) ini turun tahta, selanjutnya diangkat kembali menjadi
Raja (akuwu) di negeri Bengkulu (1543-1575). Namun tidak ada sumber sejarah
yang menyebutkan, kapan awal pemerintahan Ratu Agung alias Ratu Dewata ini
berkuasa, kronik hanya menyebutkan setelah turun tahta dari akuwu Jakarta, raja
ini menjadi akuwu pula di Bengkulu.[6]
Tidak ada keterangan
apa nama kerajaan yang dipimpinnya itu. Benarkah nama kerajaan itu adalah
Kerajaan Sungai Serut?Nama Sungai Serut baru ditemui dalam kronik Bengkulu yang
berkaitan dengan Ratu Agung, raja negeri Bengkulu. Namun ada juga yang menyebut
kerajaan Sungai Serut ini dengan nama Kerajaan Diatas Angin, sebagaimana dalam
babad Tanah Sunda, Babad Sarabon (Cirebon), dan Babad Banten. Kerajaan Diatas
Angin adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan tempat keberadaan suatu
kerajaan yang berada di posisi di atas, sebagaimana posisi di dalam peta bola
dunia.\
Kerajaan kecil itu
berada di bagian utara dari Kesultanan Banten dan Kerajaan Sarabon vasal
Banten.Selanjutnya dalam kronik Tanah Sunda, Banten dan Jakarta diceritakan
bahwa Ratu Agung pernah memerintah Jakarta vasal Banten dan Bengkulu vasal
Banten. Pada akhir pemerintahannya, dia melarikan diri (mengasingkan diri) ke
negeri Palimbam (Sriwijaya atau Palembang sekarang) dan kemungkinan meninggal
di sana, tetapi ada juga yang menyebut akuwu ini melarikan diri ke Sarabon,
meninggal di sana dan dimakamkan di Gunung Sembung. Hingga saat ini belum ada
keterangan atau naskah yang menyebutkan bahwa hijrahnya raja Bengkulu Ratu
Agung ke Palembang dikarenakan mengasingkan diri, dan atau diasingkan. Turunnya
Ratu Agung dari akuwu di Bengkulu kemungkinan besar ia mendapat tekanan dari
para pedagang Belanda yang tergabung dalam Vereenig de Oost Indiache Compagnie
(VOC). Para pedagang itu sudah menguasai perdagangan di negeri Banten sejak
pertengahan abad ke 16.
Dugaan ini diperkuat
dan dibuktikan dengan datangnya ekspedisi Kerajaan Belanda pertama 1595 M yang
dipimpin Cornelis de Houtman dan menguasai beberapa daerah penghasil rempah di
Nusantara.Beberapa data yang dikemukakan Hakim ini berbeda dengan data dari
Abdullah Siddik. Siddik menyatakan bahwa Sultan Hasanuddin adalah keturunan
dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Sedang menurut Hakim Sultan Hasanuddin
bukan keturunan Sunan Gunung Jati. Sultan Hasanuddin merupakan Raja Banten yang
pertama dan Fatahillah atau Sunan Gunung Jati merupakan panglima perangnya
ketika itu, dan nanti akhirnya menggantikan Hasanudin sebagai Raja Banten kedua
setelah Hasanudin meninggal. Begitu pula terjadi perbedaan data mengenai Ratu
Agung yang menyatakan bahwa Ratu Agung adalah anak Sultan Hasanudin Raja
Banten. Sedang menurut Hakim tidak ada data yang tegas yang menunjukkan Ratu
Agung keturunan langsung dari Sultan Hasnudin. Mengenai informasi tentang
wafatnya Ratu Agung yang dinyatakan dimakamkan di Bengkulu Tinggi dengan
dihadiri Bilal, Khatib dan Qadi.
Menurut Hakim
Benardie, Ratu Agung mengasingkan atau diasingkan ke Palembang dan dimakamkan
di sana.Selain berhubungan dengan Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Banten juga
memiliki hubungan dengan Kerajaan Selebar. Menurut suatu riwayat Kerajaan
Selebar berasal dari Kerajaan Jenggalo yang didirikan oleh seorang pemberani
dan bijaksana yang namanya tidak disebut. Ada riwayat lain yang menyatakan
bahwa Kerajaan Selebar dibina oleh Rangga Janu, salah satu Kerabat Mojopahit.
Menurut sejarah dengan runtuhnya Kerajaan Mojopahit karena penaklukan kerajaan
Demak antara 1518-1521 oleh Adipati Unus, beberapa bangsawan Mojopahit yang
juga pedagang menuju Bengkulu.
Di abad inilah
diperkirakan kedatangan Rangga Janu dan adiknya Rangga Beru ke daerah Bia Paku
di wilayah Kerajaan Jenggalo, dan bermukim. Kemudian menyusul adiknya Rio
(Ario) bina yang pandai memikat hati raja, sehingga ia dijadikan kepala daerah
Bia Paku dan diberi gelar Rio Kajang Sebidang. Setelah Raja jenggalo meninggat,
rakyat memilih Rangga Janu sebagai penggantinya karena tindak tanduknya yang
bijaksana. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1565. Beliaulah yang memindahkan
kedudukan pemerintahannya ke Bandar Selebar yang letaknya lebih strategis dan
menguntungkan niaga di teluk Selebar yang aman dari gelombang ganas Samudera
Hindia. Dengan ini mulailah dikenal Kerajaan Selebar dengan rajanya Rangga
Janu, bergelar Depati Payung Negara.Hal ini disimpulkan dari peristiwa
perjalanan Sultan Banten Hasanudin ke Lampung Indrapura, Selebar meliputi
dusun-dusun yang terbentang mulai dari Sungai Lempuing sampai ke sungai Ngalam,
dan rakyatnya terdiri dari suku Lembak dan Serawai yang berkebun lada.[7]
Gelar Pengeran bagi
kepala Masyarakat Hukum Adat di wilayah diberi oleh Raja Selebar. Dari sejarah
Banten, diketahui bahwa Banten sebagai bandar dagang internasional pada tahun
1545 berkembang pesat, tempat persinggahan para pedagang Eropa, Asia dan
Nusantara. Daerah ini harus mempunyai persediaan lada yang banyak, karena pada
waktu itu lada adalah komoditi perdagangan utama. Maka itu, Sultan Hasanudin
pernah mengadakan perjalanan ke Selebar karena ladanya.
Dalam zaman
pemerintahan beliau inilah Kerajaan Selebar mulai dimasukkan ke dalam pengaruh
(vasal) Banten dan turut berkembang maju.Pada sekitar tahun 1620, pantai
selatan barat Sumatera sampai perbatasan kerajaan Indrapura betul-betul berada
di bawah pengaruh Sultan Banten, yang tiap tahun mengirim utusannya (Jenang) ke
Selebar untuk bukan saja mengumpulkan lada, tetapi turut menyelesaikan
perselisihan yang timbul, dan bila perlu mengangkat kepada dusun yang disebut
Proatin.
Pada tahun 1668 M
(1079 H) Depati Bangsa Radin, putra Depati Payung Negara, dari Selebar
berkunjung ke Banten menghadap Sultan Agung Tirtayasa (Sultan Abdullah
Abdulfatah, 1651-1682). Ia mendapat surat dari Sultan Banten yang tertulis di
atas loyang pengakuan sebagai raja kerajaan Selebar dengan gelar Pangeran Nata
Di Raja. Seterusnya menurut riwayat, Pangeran Nata Di Raja inilah yang kawin
dengan Putri Kemayan, anak perempuan dari Sultan Agung Tirtayasa, disertai 12
tentara Banten yang turut serta kembali ke Selebar.Selain berhubungan dengan
kerajaan Banten Bengkulu juga berhubungan dengan kerajaan Minangkabau di
Pagaruyung.
Sebagaimana diketahui
bahwa Kerajaan Sungai Serut dihancurkan oleh Kerajaan Aceh, dan rajanya Anak
Dalam menghilang di Gunung Bungkuk sehingga orang Rejang Sabah berkeliaran
tanpa raja. Pemerintahan Depati Tiang Empat di Lebong berselisih paham siapa
yang akan menggantikan Anak Dalam sebagai Raja Ulu Bengkulu. Masalah ini
dimusyawarahkan bersama, dan terdapat kata sepakat untuk mengirim utusan ke
Raja Minangkabau di Pagaruyung untuk mendapat pentunjuk mengenai bagaimana cara
memcahkan persoalan tersebut. Raja Pagaruyung mengirim utusan Baginda Maharaja
Sakti dari Sungai Tarab untuk menyelesaikan soal bekas Kerajaan Sungai Serut
Ulu Bengkulu.
Pengiriman itu
diperkirakan sekitar tahun 1625. Berkat kebijaksanaan Baginda Maharaja Sakti,
maka dapatlah diatasi segala kesulitan antara para Depati tiang Empat. Sebagai
penghargaan atas tindakan beliau yang arif dan bijaksana itu, dimintalah kepada
beliau supaya sudi menjadi Raja Ulu Bengkulu. Permintaan itu beliau terima
dengan baik. Baginda Maharaja Sakti dinobatkan menjadi raja Ulu Bengkulu
(1625-1630) sebagai tempat kedudukannya, raja baru ini memilih muara Sungai
Lemau, dekat dusun Pondok Kelapa yang sekarang, bukannya muara Sungai Bengkulu
tempat kedudukan Kerajaan Sungai Serut yang terdahulu. Diriwayatkan bahwa
Baginda Maharaja Sakti mendapat berita beradanya Anak Dalam Muara Bengkulu
dengan adik-adiknya di Gunung Bungkuk, termasuk adiknya bungsunya Putri Gading
Cempaka. Maka dikirimlah utusan ke Gunung bungkuk untuk melamar Putri Gading
Cempaka. Lamaran diterima dengan baik, dan akhirnya Baginda Maharaja Sakti
menikah dengan Putri Gading Cempaka.[8]
Pada masa
pemerintahan Baginda Maharaja Sakti, hukum adat ditata, dibangun adat serta
lembaga Bengkulu, dan diperluas penanaman lada yang pada waktu itu merupakan
barang dagangan utama. Pada tahun 1079 H (1668 M) menurut sejarah, Bagindo
Sebayam yang memakai gelar Tuan Pati Bangun Negara, Putra Baginda Maharaja
Sakti bersama-sama dengan Depati Bangsa Radin dari kerajaan Selebar pergi ke
Banten untuk menyatakan kerajaan mereka di bawah lindungan kerajaan Banten yang
dipimpin Sultan Agung Tirtayasa yang pada masa itu pengaruhnya sampai ke
pesisir Bengkulu. Dari Sultan Agung Tirtayasa, Tuan Pati Bangun Negara dari
Kerajaan sungai Lemau mendapat piagam pengakuan yang dibuat dari tembaga
sebagai raja dari kerajaan Sungai Lemau dengan gelar Pangeran Raja Muda. Selain
kerajaan Sungai Serut, Selebar dan Sungai Lemau terdapat kerajaan kecil lain
yang dinamakan dengan kerajaan Sungai Itam yang rakyatnya terdiri dari suku
Lembak dan berkedudukan di muara sungai Itam.
Menurut naskah
Melayu, pendiri kerajaan ini adalah Senggaran Pati, seorang yang berasal dari
Lembak Beliti, Dusun, Dusun Taba Pingin Pucuk Palembang. Oleh Sultan Palembang
ia dijatuhkan hukuman seumur hidup dengan tugas mengasuh dan menjaga tempat
pemandian keluarga raja di Sungai Musi, karena difitnah berbuat zina dengan
anak gadis pamannys dan membunuh pamannya. Dengan tugas tersebut maka Senggana
Pati terkenal dengan nama Aswanda. Karena kelalaiannya, maka pada suatu ketika
putri Sultan Palembang, Sinar Rembulan, disambar buaya besar dan pemuda Aswanda
ditugaskan mencari serta membunuh buaya itu. Ia berhasil melaksanakan tugasnya,
kemudian melarikan diri ke kerajaan Sungai Lemau dan meminta suaka. Pada masa
itu kerajaan Sungai Lemau diperintah oleh Bagindo Sebayam.Karena Aswanda
berkelakuan baik dan berasal pula dari keturunan bangsawan ia diambil menantu
oleh Bagindo Sebayam dan diberi sebagian wilayah kerajaannya, yaitu daerah
pesisir yang terbentang antara sungai Itam dan sungai Bengkulu, ke hulu sampai
sungai Renah Kepahyang danke hilir sampai ke pinggir laut. Peristiwa ini
diperkirakan terjadi pada tahun 1650.Para keturunan Aswanda menyangkal asal
usul leluhurnya seperti yang dinyatakan di dalam naskah Melayu, dan menganggap
bahwa leluhurnya berasal dari Majapahit atau Pagaruyung. Pernyataan itu dapat
diterima karena pada masa keruntuhan kerajaan Majapahit (1513-1528) para
bangsawan Majapahit terpencar dan ada yang masuk ke daerah pedalaman Palembang,
tetapi tidak datang dari Pagaruyung. Ditinjau dari sudut sejarah, yaitu di abad
XVII, dapat diterima asal usul Senggana Pati (Aswanda) dari Majapahit yang
datang menetap di wilayah pedalaman kerajaan Palembang. Yang memerintah
kerajaan Sungai Itam sebagai raja pertama adalah Aswanda dengan gelar Depati
Bangsa Raja (1650-1686).
Dalam pemerintahan
Depati Bangsa Raja inilah EIC dengan kapal layar niaganya yang besar tiba di muara
Sungai Bengkulu. Menurut Bloome penduduk di pesisir ini telah menganut agama
Islam, karena waktu mereka datang itu tepat blan puasa, penduduk sedang
berpuasa. Selain itu, jika mereka bersumpah, mereka mempergunakan Kitab Suci
Al-qur’an.Kerajaan Anak Sungai terletak di bagian utara wilayah Bengkulu
sekarang wilayahnya terdiri dari lembah-lembah Sungai Menjunto di utara sampai
Air Urai di Selatan. Sultannya bernama Encik Redik, keturunan dari raja-raja di
Pariaman dengan gelar Sultan Saidi syarif dan berkedudukan di Menjuto. Kerajaan
ini meliputi daerah-daerah Negeri Empat Belas Kota (Muko-muko), Negeri Lima
Kota (Bantal), Negeri Proatin nan kurang satu enam puluh (Seblat) dan
Ketahun.Secara tradisional kerajaan Anak Sungai dianggap sebagai rantau dari Kerajaan
Minangkabau, dan pada permulaan abad XVII merupakan provinsi dari kerajaan
Indrapura di bawah Sultan Muzaffar Syah (1620-1660). Rakyatnya terdiri dari
penduduk asli dusun yang terkenal dengan sebutan Suku Anak Sungai, anak pesisir
yang menetap di sutu membuka ladang padi sambil berkebun lada, yaitu sejumlah
kecil orang Palembang dan Jambi. Adapun mayoritasnya adalah orang-orang Padang
Darat yang banyak berdiam di pasar sebagai pedagang.Pemerintahnya berpola
Melayu, yaitu kedaulatan politik berada pada sultan Menjuto dan dibantu oleh
beberapa menteri. Penduduknya beragama Islam. Pada tiap-tiap dusun ada
pemimpinya, yaitu Proatin, yang secara sukarela tunduk kepada sultan, sedangkan
terhadap menteri, secara teori, pada waktu tertentu mereka memberi penghormatan
dan upeti.Menteri Negeri Empat Belas Kota atau Muko-Muko mempunyai kedudukan
tertinggi yang mengurus hal ihwal negara, Menteri Lima Kota atau Bantal
mengurus keamanan dalam negeri, sedangkan para Proatin mengurus dusunnya
masing-masing.[9]
Sebagaimana diketahui
dalam sejarah, pada permulaan abad ke XVII, Kerajaan Indrapura berada di bawah
pengaruh kerajaan Aceh sampai akhir pemerintahan sultan Iskandar Muda, di mana
pengaruh Aceh mulai terasa berkurang, terutama di bawah Sultan Iskandar Sani
dan istrinya Ratu Tajaul Alam (1641-1675). Dengan demikian maka Sultan
Indrapura, Muhammad Syah (1660-1691) putra Sultan Muzaffar Syah, merasa agak
leluasa mengadakan perdagangan dengan para pedagan Eropa seperti VOC Belanda
dan EIC Inggris.
Pada tahun 1663 Kerajaan
Indrapura membuat perjanjian dagang dengan VOC. Pada pertengahan abad XVII,
kerajaan Anak Sungai masih di bawah kerajaan Indrapura, yang wakilnya
berkedudukan di Menjuto dengan menyandang gelar Raja Adil, yaitu Tuanku Sungut,
kemenakan laki-laki Sultan Muhammad Syah.Selama abad XVII timbul hasrat pada
rakyat kerajaan Anak Sungai untuk memisahkan diri dari kekuasan Sultan
Indrapura. Keinginan ini disokong Raja Adil. Maka timbullah kerusuhan politik
di wilayah Anak Sungai yaitu gerakan memisahkan diri dari kekuasaan Indrapura
yang dipimpin kerabat Sultan Muhammad Syah yang mewakilinya di wilayah Anak
Sungai. Yaitu Tuanku Sungut dan Tuanku Di Bawa Pauk (Raja Kecil Besar).
Seterusnya diketahui bahwa keributan yang muncul dengan bantuan EIC dapat
diselesaikan buat sementara dengan adanya kantor dagang dan pos pertahanan
Inggris di Menjuto pada tahun 1686.Pada tahun 1691, Raja Mansur kemenakan
Sultan Muhammad Syha dan juga saudara laki-laki Raja Perempuan yang kawin
dengan panglima Raja dari Padan, atas bantuan VOC (Belanda) menjadi Sultan
Indrapura, sedangkan Sultan Muhammad Syah melarikan diri ke Menjuto. Di Menjuto
beliau tidak diterima dengan baik, tetapi didaulat oleh penguasa kerajaan Anak
Sungai, Raja Itam, anak Encik Redik, keturunan Raja Pariaman.
Putera Raja Itam
bernama Gulemat yang masih di bawah umur diangkat sebagai pengganti ayahnya
yang meninggal di tahun 1695.Kematian Raja Itam ini dipakai sebagai kesempatan
terbaik oleh Sultan Muhammad Syah dan wakilnya Raja Adil untuk menuntuk kembali
Kerajaan Anak Sungai sebagai Provinsi Kerajaan Indrapura, tetapi Inggris
menolak tuntutan mereka seepenuhnya dan tetap melindungi Gulemat. Sementara itu
pada tahun 1693 Inggris menarik diri dari Indrapura karena Sultan Indrapura,
Raja Mansur yang menjatuhkan Sultan Muhammad Syah atas bantuan Belanda (VOC)
menetapkan seorang putranya, Merah Bangun, sebagai wakilnya (Ratu Adil) di
Menjuto.Melihat keadaan demikian Inggris berkompromi dengan mengakui Merah
Bangun dan Gulemat sebagai penguasa bersama atas wilayah Anak Sungai dan pada
tanggal 16 September 1695 EIC mengakui pemerintahan bersama mereka.Seterusnya
diketahui bahwa Raja Adil tidak senang dengan sikap Inggris di Menjuto, yaitu
sikap Charles Barwell yang mencoba mempertahankan status quo dengan cara
membagikan daerah-daerah. Raja adil mempunyai pengawasan bebas atas Menjuto,
dan Gulemat tetap menguasai daerah-daerah lain dan Kerajaan Anak
Sungai.Pembagian tersebut tidak menyelesaikan masalah dan pada tahun 1699, Raja
Adil menarik diri dari pemerintahan dan meninggalkan Gulemat sebagai penguasa
tunggal Kerajaan Anak Sungai. Merah Bangun pindah berkedudukan di Muko-Muko,
dan menentang Gulemat. Demikian juga raja Makota, ayah tiri Gulemat, menentang
Gulemat dan berhasil menguasai Menjuto pada tahun 1716. satu-satunya anak yang
hidup, yaitu Raja Kecil Besar gelar Tuanku di Bawa Pauk, menjadi Penguasa
Menjuto yang diakui oleh EIC sebagai Sultan Kecil Muhamad Syah (1716-1728).Pada
tahun 1728 , Raja Kecil Besar meletakkan jabatannya secara sukarela.
Berdasarkan hasil musyawarah, para Proatin telah mengajukan permohonan kepada
Sultan IndraPura agar putranya Merah Bangun yang berkedudukan di Muko-Muko
diperkenankan untuk dinobatkan menjadi Sultan Muko-Muko yang otonom. Pada bulan
Agustus 1728 Merah Bangun dinobatkan oleh Sultan Indrapura sebagai Sultan
Muko-Muko pertama dan berdiri sendiri, berkedudukan di Muko-Muko dengan gelar
Sultan Gendam Mersah (1728-1752).Dari data-data yang telah dikemukakan
sebelmnya dapat dijelaskan bahwa beberapa kerajaan kecil yang terdapat di wilayah
Bengkulu yang memiliki hubungan dengan kerajaan Banten yang merupakan Kerajaan
Islam yang besar ketika itu, merupakan jalan masuknya Islam di Bengkulu.
Masuknya Islam di Bengkulu pada masa ini dapat dibenarkan karena
kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu merupakan daerah yang tunduk
(vasal) kepada kerajaan Banten. Selain itu Raja Banten juga ada mengirim utusan
dan memberikan pengakuan terhadap para raja kecil tersebut dengan memberi
mereka gelar yang dari namanya dapat diterima mereka sudah memeluk agama Islam.
Ditambah lagi dengan adanya bukti-bukti sejarah yang menunjukkan itu adalah
peninggalan sejarah umat Islam.Selain kerajaan Banten kerajaan kecil yang ada
di Bengkulu juga memiliki hubungan dengan kerajaan Pagaruyung.
Hubungan yang terjadi
tidak sekedar hubungan dagang, tetapi lebih dari itu yaitu dalam bentuk adanya
permohonan bantuan untuk menyelesaikan masalah, yang nantinya utusan raja
Pagaruyung tersebut menjadi seorang raja di wilayah Bengkulu. Kerajaan
Pagaruyung juga merupakan salah satu kerajaan Islam ketika itu. Dengan
demikian, maka utusan yang dikirim juga merupakan seorang muslim yang akhirnya
menjadi raja sekaligus menjadi penyebar Islam di Bengkulu.Berdasarkan data-data
tersebut dapat dinyatakan bahwa sejarah kedatangan Islam di Bengkulu paling
tidak merupakan sumbangan dari dua Kerajaan Islam yang sudah ada dan berkembang
pada saat itu yaitu Banten dan Pagaruyung. Sebagai pembahasan yang cukup
penting diulas di sini menurut penulis adalah peninggalan budaya yang menurut
pengakuan masyarakat Bengkulu merupakan budaya asli daerah Bengkulu yang
diidentikan dengan agama Islam. Perayaan tersebut adalah tabot.Sebuah
kebudayaan yang dinilai sebagai bentuk dari kemunculan Islam di Bengkulu adalah
Tabot.
Tabot dinilai sebagai
bentuk kebudayaan Islam yang dibawa para penyiar Islam yang datang ke Bengkulu.
Namun, menurut penelitian Hakim Benardie tabot bukanlah budaya Islam yang
dibawa para penyiar Islam di Bengkulu. Menurutnya pasang surut bahasa yang
berkembang di suatu daerah akan sangat membantu dan memperkaya bagi peneliti
sejarah, sebagaimana pasang surutnya bahasa Melayu Kota Bengkulu itu sendiri
dan kesenian rakyat tradisional yan dimainkan pada musim ketam. Sayangnya
kesenian ini hilang dan tenggelam dengan datangnya kolonial Inggris, dan
masuknya kesenian Tabot pada awal abad ke 18 yang dibawa oleh tentara Inggris
yang umumnya berasal dari etnik Shimphahi di kaki gunung Himalaya India.Pembawa
kesenian tabot itu bukanlah orang-orang yang beragama Hindu atau Budha yang
baik, dan bukan pula orang Islam. Mereka adalah tentara sewaan dan budak
tentara Inggris (Gurca) yang dibawa ke Nusantara.
Gurca ini mengenal
berbagai kebudayaan di India dan Persia. Kesenian inilah yang dikembangkannya
di Bengkulu dan Pariaman Sumatera Barat.Tarian tabot semula hanya berbentuk
tarian rakyat dalam rangka menghormati dewa bumi dan dewi padi (dewi Sri
sebagai dewi kemakmuran) pada masyarakat tani Hindu. Si penari berlenggang
lenggok lemah gemulai memuja sambil menjunjung sebuah miniatur pagoda setinggi
120 cm (sekarang mungkin yang disebut Gerga) di dalamnya terdapat sepasang
patung dewa bumi dan dewi Sri, sementara pada empat sisi miniatur pagoda
terdapat lampu damar. Tarian ini diiringi dengan pukulan gendang yang kencang
sehingga terdengar ke seluruh penjuru negeri.Masyarakat bengkulu yang haus
hiburan sangat menyukainya, sehingga tidak jarang pada pesta perayaan
perkawinanpun mereka mengundang penari-penari tabot semalam suntuk. Atraksi
juga dimeriahkan dengan orang-orang yang berjalan di atas bara api, ditusuk
dengan besi dan tidur di atas paku.
Sementara pedagang
kue yang ikut hadir berjualan telah membuat semakin menyemarakkan pesta hajat
tersebut.Kesenian ini pada akhirnya domodifikasi dan dimanfaatkan kolonial
Inggris dan Belanda sehingga bentuknya berubah seperti apa yang kita lihat
sekarang. Tabot itu sendiri di Persia tempat Hasan dan Husain cucu Nabi
Muhammad saw wafat di Karbel, tidak dikenal orang sama sekali. Secara jujur
kita dapat melihat dari berbagai proses pensakralan dalam prosesi pembuatan
tabot serta ritual pembuangannya di Bengkulu, yang diklaim sebagai salah satu
kesenian budaya daerah.
Dari prosesi ritual
tabot akan terlihat jelas bagaimana kentalnya budaya Hindu dan Budha melekat
dan dibungkus dengan kemasan Islam.Silahkan cermati secara sungguh-sungguh
bagaimana prosesi ritual tabot di Kampung Berkas dan kampung Kepiri. Di sana
terdapat bangunan Stupa (Tangkup sebagaimana yang terdapat di Candi Borobudur),
dan pada hari perayaannya stupa tersebut diberi kelambu secara khusus. Benda sakral
seperti ini juga terdapat di salah satu di sudut (sisi) Benteng Marlborough
menghadap ke pelabuhan laut lama, juga terdapat sebuah Gerga Batu di Kampung
Berkas.Oleh karena itu, tidak tepat kalau tabot dikatakan merupakan kesenian
budaya asli daerah Bengkulu.
Tabot merupakan alat
(mediasi) kesenian yang dibungkus secara religius oleh kolonial Inggris dalam
menggalang kekuatan rakyat dari ancaman Belanda. Ancaman yang dimaksud adalah
gangguan perdagangan rempah yang dilakukan Belanda (VOC) terhadap Inggris (EIC)
seperti lada, kopi, cengkeh, pala, kopra pada awal abad ke 18.Untuk menghimpun
kekuatan agar rakyat tetap setia pada Inggris maka diciptakan kesenian rakyat
yang berbau sosial religius berupa tabot. Kesenian tabot ini berbaur dengan
kesenian-kesenian rakyat lainnya sehingga lebih menarik perhatian masyarakat
luas Bengkulu, dan ditambah lagi dengan iringan gendang (dol dan tamtam).
Dengan menghidupkan
kesenian rakyat tabot itu ternyata misi perdagangan Inggris (EIC) yan dibantu
penguasanya di Bengkulu berhasil, dan usaha perdagangan dapat berjalan lancar,
sekaligus dapat mencegah masuknya Belanda (VOC).Pergantian pemerintahan pada
tahun 1824 (dari Inggris ke Belanda) tidak mempengaruhi kesenian tabot sama
sekali. Kesenian ini sudah terlanjur disukai sebagian masyarakat Bengkulu yang
dilestarikan oleh etnis Shimphahi dan Benggali.
Mereka ini pada
umumnya daulu adalah mantan narapidana Inggris yang dibawa dari Madras India
dan Madagaskar Afrika ke Bengkulu untuk dijadikan budak-budak pekerja dan
sebagaian di antaranya dijadikan serdadu Inggris.PenutupInteraksi awal
masyarakat Bengkulu dengan Islam dapat diketahu melalui beberapa jalur, antara
lain melalui jalur Minangkabau (Kerajaann Pagaruyung) yaitu dengan adanya
pengaruh kerajaan Pagaruyung di Mukomuko, dan jalur kerjasama beberapa kerajaan
seperti Sungai Serut dan Selebar dengan Banten. Jalur-jalur masuk dan
berkembangnya Islam di Bengkulu, membuat corak tersendiri dalam aplikasi
keberagamaan masyarakat Bengkulu.
Mencermati beberapa
data yang ada tentang sejarah Islam di Bengkulu, maka perlu dilakukan suatu
kajian yang serius dan sungguh-sungguh tentang proses masuknya Islam ke
Bengkulu, dan perkembangan Islam di Bengkulu, serta para penyiar agama Islam di
Bengkulu. Sehingga dengan demikian sejarah masuknya Islam di Bengkulu yang
selama ini masih kurang didapatkan informasinya secara luas dan tepat dapat
dikurangi. Begitu juga perlu diadakan penelitian yang intensif terhadap
peninggalan sejarah Islam agar dapat membantu menjelaskan mengenai keberadaan Islam
di Bengkulu dari masa awal masuknya hingga masa sekarang.Last Updated.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa Islam di Bengkulu masuk
melalui beberapa jalur, di antaranya melalui Sumatera Barat, Sumatera Selatan
(Palembang), dan interaksi antara kerajaan-kerajaan yang ada di Bengkulu dengan
kerajaan Banten Islam di tanah Jawa.Informasi mengenai sejarah awal masuknya
Islam di Bengkulu diperoleh dari berbagai sumber yang menunjukkan terdapat
beberapa pintu masuk Agama Islam ke Bengkulu. Menurut sumber yang ada Islam
masuk ke Bengkulu terjadi dengan adanya interaksi kerajaan Banten dengan
Bengkulu. Dikatakan bahwa Raja pertama Kerajaan Sungai Serut yang bernama Ratu
Agung menurut kepercayaan rakyat adalah Dewa dari Gungung Bungkuk yang sakti,
tetapi kepercayaan ini tidak dapat diterima karena tidak masuk akal.
B.
Saran
Demikianlah pembaasan makalah mengenai
masuknya Islam di Bengkulu, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan
saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Islam Nusantara:
Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)
C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991)
Bambang Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat
Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah.
Abdullah Siddik. Hukum Adat Rejang. (Jakarta:
Balai Pustaka, 1980)
Budi Ariwibowo. “Sejarah Bengkulu”.
Tersedia di http://pelabuhankecil.blogspot.com/. Diunggah pada 12
November 2009.
KATA
PENGANTAR
Dengan
mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang membahas mengenai Masuknya Islam di Bengkulu.
Dengan
pembuatan karya tulis/makalah ini kami menyadari dan mengakui masih banyak
terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT semata. Karena itulah kami mengharapkan adanya keritikan dan
saran-saran perbaikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah,
kepada Allah jua kami memohon ampun dan kepada Allah SWT jualah kita berharap,
semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi diri kami sendiri dan bagi pembaca
sekalian umumnya.
Bengkulu, September 2016
Penulis
|
MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM DI TIMUR TENGAH
“Sejarah Perkembangan Islam di Bengkulu”
Disusun
Oleh :
Eka Sumarni
NIM. 1416212489
Dosen Pengampu :
Saepudin, M.S.I
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
BENGKULU
2016
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul........................................................................................ i
Kata
Pengantar...................................................................................... ii
Daftar
Isi................................................................................................ iii
Bab
I Pendahuluan................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan...................................................................... 2
Bab
II Pembahasan................................................................................ 3
A.
Masuknya Islam di Indonesia......................................................... 3
B.
Masuknya Islam di Sumatera......................................................... 4
C.
Sejarah Perkembangan Islam di Bengkulu...................................... 5
Bab
III Penutup...................................................................................... 21
A. Kesimpulan................................................................................... 21
B. Saran............................................................................................ 21
DAFTAR
PUSTAKA
[2] Azyumardi
Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal ...
h.28
[3] C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press,1991) h. 54
[5] Bambang
Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
[6] Bambang
Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
[9] Budi
Ariwibowo. “Sejarah Bengkulu”. Tersedia di http://pelabuhankecil.blogspot.com/.
Diunggah pada 12 November 2009.
No comments:
Post a Comment