Sunday, April 15, 2018

Sejarah Islam di Bengkulu


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Membicarakan masuknya Islam di Bengkulu tidak terlepas dari membicarakan masuknya Islam di Indonesia. Ada beberapa tahapan yang dapat menjelaskan tentang masuknya Islam ke Indonesia. Tahap pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah). Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batutah, pengembara Muslim dari Magribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H/1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.Tahap kedua, abad ke 14 Masehi.
Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/ Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana masuknya islam di sumatera?
2.      Bagaimana masuknya islam di Bengkulu?

C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui masuknya Islam di Sumatera
2.      Untuk mengetahui masuknya Islam di Bengkulu


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Masuknya Islam ke Indonesia
Menurut beberapa sejarawan, agama Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang muslim. Meskipun begitu, belum diketahui secara pasti sejak kapan Islam masuk ke Indonesia karena para ahli masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya Islam ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat, dan teori Persia.[1]
a.       Teori Gujarat, Teori yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay(Gujarat), India.
b.      Teori Persia, Teori ini dipelopori oleh P.A Husein Hidayat. Teori Persia ini menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang Iran) karena adanya beberapa kesamaan antara kebudayaan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia.
c.       Teori Mekkah, Teori ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7. Teori ini didasari oleh sebuah berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada abad ke-7 sudah terdapat sebuah perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.
Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita muslim bernama Fatimah Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan diperkirakan berasal dari abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia jauh sebelum abad ke-13.

B.     Masuknya Islam di Sumatera
Sumatera mengawali jejak perjalanan Islam di nusantara. Di bagian utara pulau ini pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Kerajaan yang berdiri di tanah Aceh itu bahkan pernah dikunjungi Ibnu Batutah, pengembara muslim paling ternama sepanjang sejarah.
Daftar sejarah itu bila dirunut ke belakang bisa lebih panjang, karena menurut data sejarah di Aceh Timur, pada abad ke-9 pernah berdiri kerajaan Perlak yang kemudian menggabungkan diri dengan Pasai.
Kekayaan khazanah Islam Sumatera lalu dilanjutkan dengan berdirinya kerajaan Malaka (1402 – 1511) yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang menyelamatkan diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit. Nama Malaka kemudian masyhur sebagai salah satu pelabuhan penting di dunia. Portugis, Belanda dan Inggris pun merapat di sana.[2]
Masih di bagian Utara Sumatera berdiri Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1360 dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Sultan Ali Mughayat Syah dinobatan sebagai Sultan pertama pada Ahad, 1 Jumadil Awwal 913 H bertepatan pada 8 September 1507. Selain masyhur dengan sistem pendidikan militer yang baik, komitmennya dalam menentang imperialisme Eropa, sistem pemerintahan teratur dan sistematik, kesultanan Aceh merupakan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan terutama Islam.
Kesultanan Aceh melahirkan beberapa ulama ternama. Karya-karya mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing. Tersebutlah Hamzah Fansuri dengan karyanya Tabyan fi Ma’rifati al-Udyan. Syamsuddin al-Sumatrani dengan Miraj al-Muhakikin al Iman. Nuruddin ar-Raniry dengan Sirat al-Mmustaqim. Syekh Abdul Rauf Singkili dengan Mi’raj al Tulabb fi Fashil.
Beranjak ke Selatan ada lagi kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi yang berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang dan di utara Jambi. Terdapat juga kerajaan Lingga-Riau yang merupakan perpecahan dari Kesultanan Johor. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahsa besar lain dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.
Di luar itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di banyak tempat di pulau Sumatera seperti di Padang (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), Medan (Sumatera Utara) dan Bengkulu. Perkembangan Islam di daerah Padang bahkan diwarnai dengan masuknya aliran Wahabi dan memberi warna khas bagi pergerakan nasional lewat golongan paderi.[3]

C.     Sejarah Perkembangan Islam di Bengkulu
Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.[4]
Islam di Bengkulu masuk melalui beberapa jalur, di antaranya melalui Sumatera Barat, Sumatera Selatan (Palembang), dan interaksi antara kerajaan-kerajaan yang ada di Bengkulu dengan kerajaan Banten Islam di tanah Jawa.Informasi mengenai sejarah awal masuknya Islam di Bengkulu diperoleh dari berbagai sumber yang menunjukkan terdapat beberapa pintu masuk Agama Islam ke Bengkulu. Menurut sumber yang ada Islam masuk ke Bengkulu terjadi dengan adanya interaksi kerajaan Banten dengan Bengkulu. Dikatakan bahwa Raja pertama Kerajaan Sungai Serut yang bernama Ratu Agung menurut kepercayaan rakyat adalah Dewa dari Gungung Bungkuk yang sakti, tetapi kepercayaan ini tidak dapat diterima karena tidak masuk akal.
Ratu Agung lebih tepat dikatakan berasal dari Banten dengan alasan bila kita memperhatikan sejarah Banten yang memberitakan bahwa Sultan Hasanudin (1546-1570), putra Sunan Gunung Jati yang kawin dengan Pangeran Ratu Nyawa (putri Sultan Demak), mempunyai seorang putra yang bernama Ratu Agung. Sebagai seorang pangeran yang merangkap pedagang yang mengumpul lada di Sungai Serut ia membina satu kerajaan Sungai Serut yang mengumpulkan hasil bumi dari pedalaman, terutama lada untuk Banten.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya peristiwa bahwa yang menggantikan Sultan Hasanudin (raja pertama Banten) bukan putranya Ratu Agung, tetapi Pangeran Yusuf (1570-1580), Muhammad Pangeran Sedangrana (1580-1596), Abdul Kadir (1596-1651) dan Abdul Fatah Sultan Ageng (1651-1682). Peristiwa pemakaman Ratu Agung secara Islam disebut dalam Tambo Bengkulu. Di dalam Tambo dikatakan bahwa Bilal, Khatib dan Qadi hadir di wafatnya Ratu Agung. Beliau dimakamkan di Bengkulu Tinggi yang sekarang dikenal dengan nama Keramat Batu Menjolo.Diketahui dari sejarah bahwa Kerajaan Islam Banten sebagai kerajaan maritim sejak awal abad XVI menduduki tempat penting dalam perdagangan di pantai Barat Sumatera melalui selat Sunda. Malahan pada akhir abad XVI Banten merupakan bandar terbesar di sebelah barat pulau Jawa, sebagai pusat perdagangan internasional, yang mana hadir para pedagang Portugis, Belanda, Inggris, Arab, Turki dll. Banten sebagai kerajaan pesisir mementingkan pelayaran dan perdagangan yang mana raja dan keluarga turut mengambil peran.
Kerajaan Sungai Serut ini diperkirakan muncul pertengahan abad XVI, karena menurut sejarah Banten, karangan Hossein Djajadiningrat, Sultan Banten Hasanuddin pernah melakukan perjalanan bersama Ratu Balo dan Ki Jongjo ke Lampung, Indrapura, Selebar dan Bengkulu. Sultan Banten Hasanuddin kawin dengan seorang putri dari Sultan Indrapura dan menerima hadiah perkawinan daerah pantai barat Sumatera sejauh Air Itam ke Utara. Dengan perkawinan ini, dimulailah pengaruh Kerajaan Banten atas daerah pesisir barat Sumatera tersebut.Rakyat kerajaan Sungai Serut disebut Rejang Sabah (suku bangsa Rejang yang berasal dari Lebong di dataran tinggi Bukit Barisan yang menyebar ke pesisir) karena banyak jumlahnya daripada suku Lembak yang minoritas.
Ratu Agung sebagai raja pertama (1550-1570) mempunyai anak 7 orang yaitu Raden Jili, Monok Mincur, Lemang Batu, Taju Rumpun, Rindang Papan, Anak Dalam Muara Bengkulu, dan Putri Gading Cempaka. Pada pemerintahan Anak Dalam (1570-1615) wilayahnya meluas ke utara sampai ke dusun-dusun di tepi Air Lais dan Air Ketahun dan ke selatan sampai ke Air Lempuing.Pada zaman Anak Dalam ini pula pada akhir abad XVI telah berdatangan para pedagang Aceh ke Bandar kecil Sungai Serut dan bermukim di bukit dekat pantai, yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Bukit Aceh, untuk membeli lada dan hasil bumi lainnya.
Menurut tambo Bengkulu, putra Sultan Aceh yang juga pedagang melihat Putri Gading Cempaka yang cantik itu, dan peristiwa ini disampaikan kepada ayahnya Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Demi memperkuat pengaruhnya, beliau menyetujui putranya meminang putri disertai oleh satu pasukan, tetapi ditolak oleh Anak Dalam. Sebagai akibat penolakan itu, putra Sultan Aceh memerintahkan penglima pasukan laut memerangi Anak Dalam. Sekalipun perang ini tidak seimbang, rakyat tetap mempertahankan dengan sungguh-sungguh daerahnya sehingga banyak memakan korban yang bergelimpangan di Sungai Serut dan hanyut ke hulu sungai. Raja Anak Dalam melarikan diri ke pedalaman (Gunung Bungkuk) dan kerajaannya musnah.[5]
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1615, dan mulai sejak peristiwa itu Sungai Serut berubah nama menjadi Sungai Bengkulu (Bengkahulu berasal dari kata-kata bangkai ke hulu).Dengan peristiwa di atas, maka orang-orang Rejang di Luak Pesisir (Rejang Sabah) kehilangan rajanya dan berkeliaran tanpa pimpinan kesatuan mereka. Sekalipun denmikian, setiap dusun masih dikepalai seorang pemimpin yang dipilih rakyatnya dan bertugas memimpin serta menegakkan adat istiadat yang berlaku di dusun sebagai masyarakat hukum adat dan semua adat istiadat itu diketahui mereka secara lisan turun temurun.
Data yang diperoleh dari Abdullah Siddik ini berbeda menurut data yang dikemukakan Hakim Benardie dalam bukunya Sejarah Maritim Indonesia. Menurut Hakim, Ratu Agung yang dinyatakan sebagai Raja Bengkulu atau tepatnya raja kecil (akuwu) Kerajaan Sungai Serut bukanlah keturunan langsung dari Sultan Hasanudin.Babad dan kronik Jakarta ada menyebut keberadaan Ratu Agung yang juga dikenal dengan sebutan Ratu Dewata merupakan salah seorang pewaris tahta Kesultanan Banten (pewaris belum tentu keturunan langsung raja).
Ratu Agung atau Ratu Dewata memerintah Jakarta 941-950 H atau 1535-1543 M menggantikan penguasa kesultanan Kalapa Vasal Banten (Jakarta sekarang) Ratu Sami`am (Sami`nan) yang memerintah negeri Kalapa 918-941 H atau 1512-1535 M.Setelah Ratu Agung (Raja Jakarta vasal Banten) ini turun tahta, selanjutnya diangkat kembali menjadi Raja (akuwu) di negeri Bengkulu (1543-1575). Namun tidak ada sumber sejarah yang menyebutkan, kapan awal pemerintahan Ratu Agung alias Ratu Dewata ini berkuasa, kronik hanya menyebutkan setelah turun tahta dari akuwu Jakarta, raja ini menjadi akuwu pula di Bengkulu.[6]
Tidak ada keterangan apa nama kerajaan yang dipimpinnya itu. Benarkah nama kerajaan itu adalah Kerajaan Sungai Serut?Nama Sungai Serut baru ditemui dalam kronik Bengkulu yang berkaitan dengan Ratu Agung, raja negeri Bengkulu. Namun ada juga yang menyebut kerajaan Sungai Serut ini dengan nama Kerajaan Diatas Angin, sebagaimana dalam babad Tanah Sunda, Babad Sarabon (Cirebon), dan Babad Banten. Kerajaan Diatas Angin adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan tempat keberadaan suatu kerajaan yang berada di posisi di atas, sebagaimana posisi di dalam peta bola dunia.\
Kerajaan kecil itu berada di bagian utara dari Kesultanan Banten dan Kerajaan Sarabon vasal Banten.Selanjutnya dalam kronik Tanah Sunda, Banten dan Jakarta diceritakan bahwa Ratu Agung pernah memerintah Jakarta vasal Banten dan Bengkulu vasal Banten. Pada akhir pemerintahannya, dia melarikan diri (mengasingkan diri) ke negeri Palimbam (Sriwijaya atau Palembang sekarang) dan kemungkinan meninggal di sana, tetapi ada juga yang menyebut akuwu ini melarikan diri ke Sarabon, meninggal di sana dan dimakamkan di Gunung Sembung. Hingga saat ini belum ada keterangan atau naskah yang menyebutkan bahwa hijrahnya raja Bengkulu Ratu Agung ke Palembang dikarenakan mengasingkan diri, dan atau diasingkan. Turunnya Ratu Agung dari akuwu di Bengkulu kemungkinan besar ia mendapat tekanan dari para pedagang Belanda yang tergabung dalam Vereenig de Oost Indiache Compagnie (VOC). Para pedagang itu sudah menguasai perdagangan di negeri Banten sejak pertengahan abad ke 16.
Dugaan ini diperkuat dan dibuktikan dengan datangnya ekspedisi Kerajaan Belanda pertama 1595 M yang dipimpin Cornelis de Houtman dan menguasai beberapa daerah penghasil rempah di Nusantara.Beberapa data yang dikemukakan Hakim ini berbeda dengan data dari Abdullah Siddik. Siddik menyatakan bahwa Sultan Hasanuddin adalah keturunan dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Sedang menurut Hakim Sultan Hasanuddin bukan keturunan Sunan Gunung Jati. Sultan Hasanuddin merupakan Raja Banten yang pertama dan Fatahillah atau Sunan Gunung Jati merupakan panglima perangnya ketika itu, dan nanti akhirnya menggantikan Hasanudin sebagai Raja Banten kedua setelah Hasanudin meninggal. Begitu pula terjadi perbedaan data mengenai Ratu Agung yang menyatakan bahwa Ratu Agung adalah anak Sultan Hasanudin Raja Banten. Sedang menurut Hakim tidak ada data yang tegas yang menunjukkan Ratu Agung keturunan langsung dari Sultan Hasnudin. Mengenai informasi tentang wafatnya Ratu Agung yang dinyatakan dimakamkan di Bengkulu Tinggi dengan dihadiri Bilal, Khatib dan Qadi.
Menurut Hakim Benardie, Ratu Agung mengasingkan atau diasingkan ke Palembang dan dimakamkan di sana.Selain berhubungan dengan Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Banten juga memiliki hubungan dengan Kerajaan Selebar. Menurut suatu riwayat Kerajaan Selebar berasal dari Kerajaan Jenggalo yang didirikan oleh seorang pemberani dan bijaksana yang namanya tidak disebut. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Kerajaan Selebar dibina oleh Rangga Janu, salah satu Kerabat Mojopahit. Menurut sejarah dengan runtuhnya Kerajaan Mojopahit karena penaklukan kerajaan Demak antara 1518-1521 oleh Adipati Unus, beberapa bangsawan Mojopahit yang juga pedagang menuju Bengkulu.
Di abad inilah diperkirakan kedatangan Rangga Janu dan adiknya Rangga Beru ke daerah Bia Paku di wilayah Kerajaan Jenggalo, dan bermukim. Kemudian menyusul adiknya Rio (Ario) bina yang pandai memikat hati raja, sehingga ia dijadikan kepala daerah Bia Paku dan diberi gelar Rio Kajang Sebidang. Setelah Raja jenggalo meninggat, rakyat memilih Rangga Janu sebagai penggantinya karena tindak tanduknya yang bijaksana. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1565. Beliaulah yang memindahkan kedudukan pemerintahannya ke Bandar Selebar yang letaknya lebih strategis dan menguntungkan niaga di teluk Selebar yang aman dari gelombang ganas Samudera Hindia. Dengan ini mulailah dikenal Kerajaan Selebar dengan rajanya Rangga Janu, bergelar Depati Payung Negara.Hal ini disimpulkan dari peristiwa perjalanan Sultan Banten Hasanudin ke Lampung Indrapura, Selebar meliputi dusun-dusun yang terbentang mulai dari Sungai Lempuing sampai ke sungai Ngalam, dan rakyatnya terdiri dari suku Lembak dan Serawai yang berkebun lada.[7]
Gelar Pengeran bagi kepala Masyarakat Hukum Adat di wilayah diberi oleh Raja Selebar. Dari sejarah Banten, diketahui bahwa Banten sebagai bandar dagang internasional pada tahun 1545 berkembang pesat, tempat persinggahan para pedagang Eropa, Asia dan Nusantara. Daerah ini harus mempunyai persediaan lada yang banyak, karena pada waktu itu lada adalah komoditi perdagangan utama. Maka itu, Sultan Hasanudin pernah mengadakan perjalanan ke Selebar karena ladanya.
Dalam zaman pemerintahan beliau inilah Kerajaan Selebar mulai dimasukkan ke dalam pengaruh (vasal) Banten dan turut berkembang maju.Pada sekitar tahun 1620, pantai selatan barat Sumatera sampai perbatasan kerajaan Indrapura betul-betul berada di bawah pengaruh Sultan Banten, yang tiap tahun mengirim utusannya (Jenang) ke Selebar untuk bukan saja mengumpulkan lada, tetapi turut menyelesaikan perselisihan yang timbul, dan bila perlu mengangkat kepada dusun yang disebut Proatin.
Pada tahun 1668 M (1079 H) Depati Bangsa Radin, putra Depati Payung Negara, dari Selebar berkunjung ke Banten menghadap Sultan Agung Tirtayasa (Sultan Abdullah Abdulfatah, 1651-1682). Ia mendapat surat dari Sultan Banten yang tertulis di atas loyang pengakuan sebagai raja kerajaan Selebar dengan gelar Pangeran Nata Di Raja. Seterusnya menurut riwayat, Pangeran Nata Di Raja inilah yang kawin dengan Putri Kemayan, anak perempuan dari Sultan Agung Tirtayasa, disertai 12 tentara Banten yang turut serta kembali ke Selebar.Selain berhubungan dengan kerajaan Banten Bengkulu juga berhubungan dengan kerajaan Minangkabau di Pagaruyung.
Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Sungai Serut dihancurkan oleh Kerajaan Aceh, dan rajanya Anak Dalam menghilang di Gunung Bungkuk sehingga orang Rejang Sabah berkeliaran tanpa raja. Pemerintahan Depati Tiang Empat di Lebong berselisih paham siapa yang akan menggantikan Anak Dalam sebagai Raja Ulu Bengkulu. Masalah ini dimusyawarahkan bersama, dan terdapat kata sepakat untuk mengirim utusan ke Raja Minangkabau di Pagaruyung untuk mendapat pentunjuk mengenai bagaimana cara memcahkan persoalan tersebut. Raja Pagaruyung mengirim utusan Baginda Maharaja Sakti dari Sungai Tarab untuk menyelesaikan soal bekas Kerajaan Sungai Serut Ulu Bengkulu.
Pengiriman itu diperkirakan sekitar tahun 1625. Berkat kebijaksanaan Baginda Maharaja Sakti, maka dapatlah diatasi segala kesulitan antara para Depati tiang Empat. Sebagai penghargaan atas tindakan beliau yang arif dan bijaksana itu, dimintalah kepada beliau supaya sudi menjadi Raja Ulu Bengkulu. Permintaan itu beliau terima dengan baik. Baginda Maharaja Sakti dinobatkan menjadi raja Ulu Bengkulu (1625-1630) sebagai tempat kedudukannya, raja baru ini memilih muara Sungai Lemau, dekat dusun Pondok Kelapa yang sekarang, bukannya muara Sungai Bengkulu tempat kedudukan Kerajaan Sungai Serut yang terdahulu. Diriwayatkan bahwa Baginda Maharaja Sakti mendapat berita beradanya Anak Dalam Muara Bengkulu dengan adik-adiknya di Gunung Bungkuk, termasuk adiknya bungsunya Putri Gading Cempaka. Maka dikirimlah utusan ke Gunung bungkuk untuk melamar Putri Gading Cempaka. Lamaran diterima dengan baik, dan akhirnya Baginda Maharaja Sakti menikah dengan Putri Gading Cempaka.[8]
Pada masa pemerintahan Baginda Maharaja Sakti, hukum adat ditata, dibangun adat serta lembaga Bengkulu, dan diperluas penanaman lada yang pada waktu itu merupakan barang dagangan utama. Pada tahun 1079 H (1668 M) menurut sejarah, Bagindo Sebayam yang memakai gelar Tuan Pati Bangun Negara, Putra Baginda Maharaja Sakti bersama-sama dengan Depati Bangsa Radin dari kerajaan Selebar pergi ke Banten untuk menyatakan kerajaan mereka di bawah lindungan kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Agung Tirtayasa yang pada masa itu pengaruhnya sampai ke pesisir Bengkulu. Dari Sultan Agung Tirtayasa, Tuan Pati Bangun Negara dari Kerajaan sungai Lemau mendapat piagam pengakuan yang dibuat dari tembaga sebagai raja dari kerajaan Sungai Lemau dengan gelar Pangeran Raja Muda. Selain kerajaan Sungai Serut, Selebar dan Sungai Lemau terdapat kerajaan kecil lain yang dinamakan dengan kerajaan Sungai Itam yang rakyatnya terdiri dari suku Lembak dan berkedudukan di muara sungai Itam.
Menurut naskah Melayu, pendiri kerajaan ini adalah Senggaran Pati, seorang yang berasal dari Lembak Beliti, Dusun, Dusun Taba Pingin Pucuk Palembang. Oleh Sultan Palembang ia dijatuhkan hukuman seumur hidup dengan tugas mengasuh dan menjaga tempat pemandian keluarga raja di Sungai Musi, karena difitnah berbuat zina dengan anak gadis pamannys dan membunuh pamannya. Dengan tugas tersebut maka Senggana Pati terkenal dengan nama Aswanda. Karena kelalaiannya, maka pada suatu ketika putri Sultan Palembang, Sinar Rembulan, disambar buaya besar dan pemuda Aswanda ditugaskan mencari serta membunuh buaya itu. Ia berhasil melaksanakan tugasnya, kemudian melarikan diri ke kerajaan Sungai Lemau dan meminta suaka. Pada masa itu kerajaan Sungai Lemau diperintah oleh Bagindo Sebayam.Karena Aswanda berkelakuan baik dan berasal pula dari keturunan bangsawan ia diambil menantu oleh Bagindo Sebayam dan diberi sebagian wilayah kerajaannya, yaitu daerah pesisir yang terbentang antara sungai Itam dan sungai Bengkulu, ke hulu sampai sungai Renah Kepahyang danke hilir sampai ke pinggir laut. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tahun 1650.Para keturunan Aswanda menyangkal asal usul leluhurnya seperti yang dinyatakan di dalam naskah Melayu, dan menganggap bahwa leluhurnya berasal dari Majapahit atau Pagaruyung. Pernyataan itu dapat diterima karena pada masa keruntuhan kerajaan Majapahit (1513-1528) para bangsawan Majapahit terpencar dan ada yang masuk ke daerah pedalaman Palembang, tetapi tidak datang dari Pagaruyung. Ditinjau dari sudut sejarah, yaitu di abad XVII, dapat diterima asal usul Senggana Pati (Aswanda) dari Majapahit yang datang menetap di wilayah pedalaman kerajaan Palembang. Yang memerintah kerajaan Sungai Itam sebagai raja pertama adalah Aswanda dengan gelar Depati Bangsa Raja (1650-1686).
Dalam pemerintahan Depati Bangsa Raja inilah EIC dengan kapal layar niaganya yang besar tiba di muara Sungai Bengkulu. Menurut Bloome penduduk di pesisir ini telah menganut agama Islam, karena waktu mereka datang itu tepat blan puasa, penduduk sedang berpuasa. Selain itu, jika mereka bersumpah, mereka mempergunakan Kitab Suci Al-qur’an.Kerajaan Anak Sungai terletak di bagian utara wilayah Bengkulu sekarang wilayahnya terdiri dari lembah-lembah Sungai Menjunto di utara sampai Air Urai di Selatan. Sultannya bernama Encik Redik, keturunan dari raja-raja di Pariaman dengan gelar Sultan Saidi syarif dan berkedudukan di Menjuto. Kerajaan ini meliputi daerah-daerah Negeri Empat Belas Kota (Muko-muko), Negeri Lima Kota (Bantal), Negeri Proatin nan kurang satu enam puluh (Seblat) dan Ketahun.Secara tradisional kerajaan Anak Sungai dianggap sebagai rantau dari Kerajaan Minangkabau, dan pada permulaan abad XVII merupakan provinsi dari kerajaan Indrapura di bawah Sultan Muzaffar Syah (1620-1660). Rakyatnya terdiri dari penduduk asli dusun yang terkenal dengan sebutan Suku Anak Sungai, anak pesisir yang menetap di sutu membuka ladang padi sambil berkebun lada, yaitu sejumlah kecil orang Palembang dan Jambi. Adapun mayoritasnya adalah orang-orang Padang Darat yang banyak berdiam di pasar sebagai pedagang.Pemerintahnya berpola Melayu, yaitu kedaulatan politik berada pada sultan Menjuto dan dibantu oleh beberapa menteri. Penduduknya beragama Islam. Pada tiap-tiap dusun ada pemimpinya, yaitu Proatin, yang secara sukarela tunduk kepada sultan, sedangkan terhadap menteri, secara teori, pada waktu tertentu mereka memberi penghormatan dan upeti.Menteri Negeri Empat Belas Kota atau Muko-Muko mempunyai kedudukan tertinggi yang mengurus hal ihwal negara, Menteri Lima Kota atau Bantal mengurus keamanan dalam negeri, sedangkan para Proatin mengurus dusunnya masing-masing.[9]
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, pada permulaan abad ke XVII, Kerajaan Indrapura berada di bawah pengaruh kerajaan Aceh sampai akhir pemerintahan sultan Iskandar Muda, di mana pengaruh Aceh mulai terasa berkurang, terutama di bawah Sultan Iskandar Sani dan istrinya Ratu Tajaul Alam (1641-1675). Dengan demikian maka Sultan Indrapura, Muhammad Syah (1660-1691) putra Sultan Muzaffar Syah, merasa agak leluasa mengadakan perdagangan dengan para pedagan Eropa seperti VOC Belanda dan EIC Inggris.
Pada tahun 1663 Kerajaan Indrapura membuat perjanjian dagang dengan VOC. Pada pertengahan abad XVII, kerajaan Anak Sungai masih di bawah kerajaan Indrapura, yang wakilnya berkedudukan di Menjuto dengan menyandang gelar Raja Adil, yaitu Tuanku Sungut, kemenakan laki-laki Sultan Muhammad Syah.Selama abad XVII timbul hasrat pada rakyat kerajaan Anak Sungai untuk memisahkan diri dari kekuasan Sultan Indrapura. Keinginan ini disokong Raja Adil. Maka timbullah kerusuhan politik di wilayah Anak Sungai yaitu gerakan memisahkan diri dari kekuasaan Indrapura yang dipimpin kerabat Sultan Muhammad Syah yang mewakilinya di wilayah Anak Sungai. Yaitu Tuanku Sungut dan Tuanku Di Bawa Pauk (Raja Kecil Besar). Seterusnya diketahui bahwa keributan yang muncul dengan bantuan EIC dapat diselesaikan buat sementara dengan adanya kantor dagang dan pos pertahanan Inggris di Menjuto pada tahun 1686.Pada tahun 1691, Raja Mansur kemenakan Sultan Muhammad Syha dan juga saudara laki-laki Raja Perempuan yang kawin dengan panglima Raja dari Padan, atas bantuan VOC (Belanda) menjadi Sultan Indrapura, sedangkan Sultan Muhammad Syah melarikan diri ke Menjuto. Di Menjuto beliau tidak diterima dengan baik, tetapi didaulat oleh penguasa kerajaan Anak Sungai, Raja Itam, anak Encik Redik, keturunan Raja Pariaman.
Putera Raja Itam bernama Gulemat yang masih di bawah umur diangkat sebagai pengganti ayahnya yang meninggal di tahun 1695.Kematian Raja Itam ini dipakai sebagai kesempatan terbaik oleh Sultan Muhammad Syah dan wakilnya Raja Adil untuk menuntuk kembali Kerajaan Anak Sungai sebagai Provinsi Kerajaan Indrapura, tetapi Inggris menolak tuntutan mereka seepenuhnya dan tetap melindungi Gulemat. Sementara itu pada tahun 1693 Inggris menarik diri dari Indrapura karena Sultan Indrapura, Raja Mansur yang menjatuhkan Sultan Muhammad Syah atas bantuan Belanda (VOC) menetapkan seorang putranya, Merah Bangun, sebagai wakilnya (Ratu Adil) di Menjuto.Melihat keadaan demikian Inggris berkompromi dengan mengakui Merah Bangun dan Gulemat sebagai penguasa bersama atas wilayah Anak Sungai dan pada tanggal 16 September 1695 EIC mengakui pemerintahan bersama mereka.Seterusnya diketahui bahwa Raja Adil tidak senang dengan sikap Inggris di Menjuto, yaitu sikap Charles Barwell yang mencoba mempertahankan status quo dengan cara membagikan daerah-daerah. Raja adil mempunyai pengawasan bebas atas Menjuto, dan Gulemat tetap menguasai daerah-daerah lain dan Kerajaan Anak Sungai.Pembagian tersebut tidak menyelesaikan masalah dan pada tahun 1699, Raja Adil menarik diri dari pemerintahan dan meninggalkan Gulemat sebagai penguasa tunggal Kerajaan Anak Sungai. Merah Bangun pindah berkedudukan di Muko-Muko, dan menentang Gulemat. Demikian juga raja Makota, ayah tiri Gulemat, menentang Gulemat dan berhasil menguasai Menjuto pada tahun 1716. satu-satunya anak yang hidup, yaitu Raja Kecil Besar gelar Tuanku di Bawa Pauk, menjadi Penguasa Menjuto yang diakui oleh EIC sebagai Sultan Kecil Muhamad Syah (1716-1728).Pada tahun 1728 , Raja Kecil Besar meletakkan jabatannya secara sukarela. Berdasarkan hasil musyawarah, para Proatin telah mengajukan permohonan kepada Sultan IndraPura agar putranya Merah Bangun yang berkedudukan di Muko-Muko diperkenankan untuk dinobatkan menjadi Sultan Muko-Muko yang otonom. Pada bulan Agustus 1728 Merah Bangun dinobatkan oleh Sultan Indrapura sebagai Sultan Muko-Muko pertama dan berdiri sendiri, berkedudukan di Muko-Muko dengan gelar Sultan Gendam Mersah (1728-1752).Dari data-data yang telah dikemukakan sebelmnya dapat dijelaskan bahwa beberapa kerajaan kecil yang terdapat di wilayah Bengkulu yang memiliki hubungan dengan kerajaan Banten yang merupakan Kerajaan Islam yang besar ketika itu, merupakan jalan masuknya Islam di Bengkulu. Masuknya Islam di Bengkulu pada masa ini dapat dibenarkan karena kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu merupakan daerah yang tunduk (vasal) kepada kerajaan Banten. Selain itu Raja Banten juga ada mengirim utusan dan memberikan pengakuan terhadap para raja kecil tersebut dengan memberi mereka gelar yang dari namanya dapat diterima mereka sudah memeluk agama Islam. Ditambah lagi dengan adanya bukti-bukti sejarah yang menunjukkan itu adalah peninggalan sejarah umat Islam.Selain kerajaan Banten kerajaan kecil yang ada di Bengkulu juga memiliki hubungan dengan kerajaan Pagaruyung.
Hubungan yang terjadi tidak sekedar hubungan dagang, tetapi lebih dari itu yaitu dalam bentuk adanya permohonan bantuan untuk menyelesaikan masalah, yang nantinya utusan raja Pagaruyung tersebut menjadi seorang raja di wilayah Bengkulu. Kerajaan Pagaruyung juga merupakan salah satu kerajaan Islam ketika itu. Dengan demikian, maka utusan yang dikirim juga merupakan seorang muslim yang akhirnya menjadi raja sekaligus menjadi penyebar Islam di Bengkulu.Berdasarkan data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa sejarah kedatangan Islam di Bengkulu paling tidak merupakan sumbangan dari dua Kerajaan Islam yang sudah ada dan berkembang pada saat itu yaitu Banten dan Pagaruyung. Sebagai pembahasan yang cukup penting diulas di sini menurut penulis adalah peninggalan budaya yang menurut pengakuan masyarakat Bengkulu merupakan budaya asli daerah Bengkulu yang diidentikan dengan agama Islam. Perayaan tersebut adalah tabot.Sebuah kebudayaan yang dinilai sebagai bentuk dari kemunculan Islam di Bengkulu adalah Tabot.
Tabot dinilai sebagai bentuk kebudayaan Islam yang dibawa para penyiar Islam yang datang ke Bengkulu. Namun, menurut penelitian Hakim Benardie tabot bukanlah budaya Islam yang dibawa para penyiar Islam di Bengkulu. Menurutnya pasang surut bahasa yang berkembang di suatu daerah akan sangat membantu dan memperkaya bagi peneliti sejarah, sebagaimana pasang surutnya bahasa Melayu Kota Bengkulu itu sendiri dan kesenian rakyat tradisional yan dimainkan pada musim ketam. Sayangnya kesenian ini hilang dan tenggelam dengan datangnya kolonial Inggris, dan masuknya kesenian Tabot pada awal abad ke 18 yang dibawa oleh tentara Inggris yang umumnya berasal dari etnik Shimphahi di kaki gunung Himalaya India.Pembawa kesenian tabot itu bukanlah orang-orang yang beragama Hindu atau Budha yang baik, dan bukan pula orang Islam. Mereka adalah tentara sewaan dan budak tentara Inggris (Gurca) yang dibawa ke Nusantara.
Gurca ini mengenal berbagai kebudayaan di India dan Persia. Kesenian inilah yang dikembangkannya di Bengkulu dan Pariaman Sumatera Barat.Tarian tabot semula hanya berbentuk tarian rakyat dalam rangka menghormati dewa bumi dan dewi padi (dewi Sri sebagai dewi kemakmuran) pada masyarakat tani Hindu. Si penari berlenggang lenggok lemah gemulai memuja sambil menjunjung sebuah miniatur pagoda setinggi 120 cm (sekarang mungkin yang disebut Gerga) di dalamnya terdapat sepasang patung dewa bumi dan dewi Sri, sementara pada empat sisi miniatur pagoda terdapat lampu damar. Tarian ini diiringi dengan pukulan gendang yang kencang sehingga terdengar ke seluruh penjuru negeri.Masyarakat bengkulu yang haus hiburan sangat menyukainya, sehingga tidak jarang pada pesta perayaan perkawinanpun mereka mengundang penari-penari tabot semalam suntuk. Atraksi juga dimeriahkan dengan orang-orang yang berjalan di atas bara api, ditusuk dengan besi dan tidur di atas paku.
Sementara pedagang kue yang ikut hadir berjualan telah membuat semakin menyemarakkan pesta hajat tersebut.Kesenian ini pada akhirnya domodifikasi dan dimanfaatkan kolonial Inggris dan Belanda sehingga bentuknya berubah seperti apa yang kita lihat sekarang. Tabot itu sendiri di Persia tempat Hasan dan Husain cucu Nabi Muhammad saw wafat di Karbel, tidak dikenal orang sama sekali. Secara jujur kita dapat melihat dari berbagai proses pensakralan dalam prosesi pembuatan tabot serta ritual pembuangannya di Bengkulu, yang diklaim sebagai salah satu kesenian budaya daerah.
Dari prosesi ritual tabot akan terlihat jelas bagaimana kentalnya budaya Hindu dan Budha melekat dan dibungkus dengan kemasan Islam.Silahkan cermati secara sungguh-sungguh bagaimana prosesi ritual tabot di Kampung Berkas dan kampung Kepiri. Di sana terdapat bangunan Stupa (Tangkup sebagaimana yang terdapat di Candi Borobudur), dan pada hari perayaannya stupa tersebut diberi kelambu secara khusus. Benda sakral seperti ini juga terdapat di salah satu di sudut (sisi) Benteng Marlborough menghadap ke pelabuhan laut lama, juga terdapat sebuah Gerga Batu di Kampung Berkas.Oleh karena itu, tidak tepat kalau tabot dikatakan merupakan kesenian budaya asli daerah Bengkulu.
Tabot merupakan alat (mediasi) kesenian yang dibungkus secara religius oleh kolonial Inggris dalam menggalang kekuatan rakyat dari ancaman Belanda. Ancaman yang dimaksud adalah gangguan perdagangan rempah yang dilakukan Belanda (VOC) terhadap Inggris (EIC) seperti lada, kopi, cengkeh, pala, kopra pada awal abad ke 18.Untuk menghimpun kekuatan agar rakyat tetap setia pada Inggris maka diciptakan kesenian rakyat yang berbau sosial religius berupa tabot. Kesenian tabot ini berbaur dengan kesenian-kesenian rakyat lainnya sehingga lebih menarik perhatian masyarakat luas Bengkulu, dan ditambah lagi dengan iringan gendang (dol dan tamtam).
Dengan menghidupkan kesenian rakyat tabot itu ternyata misi perdagangan Inggris (EIC) yan dibantu penguasanya di Bengkulu berhasil, dan usaha perdagangan dapat berjalan lancar, sekaligus dapat mencegah masuknya Belanda (VOC).Pergantian pemerintahan pada tahun 1824 (dari Inggris ke Belanda) tidak mempengaruhi kesenian tabot sama sekali. Kesenian ini sudah terlanjur disukai sebagian masyarakat Bengkulu yang dilestarikan oleh etnis Shimphahi dan Benggali.
Mereka ini pada umumnya daulu adalah mantan narapidana Inggris yang dibawa dari Madras India dan Madagaskar Afrika ke Bengkulu untuk dijadikan budak-budak pekerja dan sebagaian di antaranya dijadikan serdadu Inggris.PenutupInteraksi awal masyarakat Bengkulu dengan Islam dapat diketahu melalui beberapa jalur, antara lain melalui jalur Minangkabau (Kerajaann Pagaruyung) yaitu dengan adanya pengaruh kerajaan Pagaruyung di Mukomuko, dan jalur kerjasama beberapa kerajaan seperti Sungai Serut dan Selebar dengan Banten. Jalur-jalur masuk dan berkembangnya Islam di Bengkulu, membuat corak tersendiri dalam aplikasi keberagamaan masyarakat Bengkulu.
Mencermati beberapa data yang ada tentang sejarah Islam di Bengkulu, maka perlu dilakukan suatu kajian yang serius dan sungguh-sungguh tentang proses masuknya Islam ke Bengkulu, dan perkembangan Islam di Bengkulu, serta para penyiar agama Islam di Bengkulu. Sehingga dengan demikian sejarah masuknya Islam di Bengkulu yang selama ini masih kurang didapatkan informasinya secara luas dan tepat dapat dikurangi. Begitu juga perlu diadakan penelitian yang intensif terhadap peninggalan sejarah Islam agar dapat membantu menjelaskan mengenai keberadaan Islam di Bengkulu dari masa awal masuknya hingga masa sekarang.Last Updated.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa Islam di Bengkulu masuk melalui beberapa jalur, di antaranya melalui Sumatera Barat, Sumatera Selatan (Palembang), dan interaksi antara kerajaan-kerajaan yang ada di Bengkulu dengan kerajaan Banten Islam di tanah Jawa.Informasi mengenai sejarah awal masuknya Islam di Bengkulu diperoleh dari berbagai sumber yang menunjukkan terdapat beberapa pintu masuk Agama Islam ke Bengkulu. Menurut sumber yang ada Islam masuk ke Bengkulu terjadi dengan adanya interaksi kerajaan Banten dengan Bengkulu. Dikatakan bahwa Raja pertama Kerajaan Sungai Serut yang bernama Ratu Agung menurut kepercayaan rakyat adalah Dewa dari Gungung Bungkuk yang sakti, tetapi kepercayaan ini tidak dapat diterima karena tidak masuk akal.

B.     Saran
Demikianlah pembaasan makalah mengenai masuknya Islam di Bengkulu, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)

C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991)


Bambang Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Abdullah Siddik. Hukum Adat Rejang. (Jakarta: Balai Pustaka, 1980)

Budi Ariwibowo. “Sejarah Bengkulu”. Tersedia di http://pelabuhankecil.blogspot.com/. Diunggah  pada 12 November 2009.


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas mengenai Masuknya Islam di Bengkulu.
Dengan pembuatan karya tulis/makalah ini kami menyadari dan mengakui masih banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Karena itulah kami mengharapkan adanya keritikan dan saran-saran perbaikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, kepada Allah jua kami memohon ampun dan kepada Allah SWT jualah kita berharap, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi diri kami sendiri dan bagi pembaca sekalian umumnya.


Bengkulu,    September 2016

Penulis

ii
 

 

MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM DI TIMUR TENGAH
“Sejarah Perkembangan Islam di Bengkulu”



 


















Disusun Oleh :
Eka Sumarni
NIM. 1416212489





Dosen Pengampu :
Saepudin, M.S.I





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BENGKULU
2016
 

DAFTAR ISI



Halaman Judul........................................................................................        i
Kata Pengantar......................................................................................        ii
Daftar Isi................................................................................................        iii

Bab I Pendahuluan.................................................................................        1
A.     Latar Belakang..............................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.........................................................................        2
C.     Tujuan Pembahasan......................................................................        2

Bab II Pembahasan................................................................................        3
A.     Masuknya Islam di Indonesia.........................................................        3
B.     Masuknya Islam di Sumatera.........................................................        4
C.     Sejarah Perkembangan Islam di Bengkulu......................................        5

Bab III Penutup......................................................................................        21
A.     Kesimpulan...................................................................................        21
B.     Saran............................................................................................        21

DAFTAR PUSTAKA
 






[1] Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) h.20
[2] Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal  ...  h.28
[3] C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991) h. 54
[4] http://historybengkuuluu.blogspot.co.id/p/history-bengkulu.html
[5] Bambang Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
[6] Bambang Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
[7] Abdullah Siddik. Hukum Adat Rejang. (Jakarta: Balai Pustaka, 1980) h. 31
[8] Abdullah Siddik. Hukum Adat Rejang. (Jakarta: Balai Pustaka, 1980) h. 33
[9] Budi Ariwibowo. “Sejarah Bengkulu”. Tersedia di http://pelabuhankecil.blogspot.com/. Diunggah  pada 12 November 2009.

No comments:

Post a Comment