BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Setelah
berakhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan (35H/656M) dengan kematiannya di
ujung pedang para pemberontak yang tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan
politik dan pemerintahannya, umat Islam pada waktu itu mengalami kegoncangan
dan perpecahan dalam menentukan siapa pemimpin mereka selanjutnya. Dalam
suasana ini akhirnya Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah yang keempat
menggantikan Utsman bin Affan. Walaupun Ali dipilih oleh mayoritas umat dari
kalangan Anshar dan Muhajirin, namun tidak didukung secara bulat oleh
sahabat-sahabat senior dan juga dari keluarga Bani Umaiyah. Hal ini tentu di
kemudian hari menimbulkan problematika dalam mengendalikan kepemimpinannya.
Sejak
awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib
perpecahan di kalangan umat Islam sudah tak terelakkan lagi. Tercatat dalam
lembaran sejarah, masa ini sebagai masa awal timbulnya disintegrasi umat Islam,
yang diawali perpecahan dalam bidang politik pemerintahan, dengan adanya
perlawanan dan pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib yang
melibatkan para sahabat senior Nabi. Dari masalah politik ini perpecahan
melebar ke masalah pemahaman terhadap teologi. Oleh karena itu, untuk lebih
jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana
ini dengan rumusan masalah sebagai berikut:
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Biografi Ali bin Abi Thalib?
2. Bagaimana
proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah?
3. Apa saja
Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
4. Bagaimana
Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib?
C. Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Biografi Ali Bin ABi Thalib.
2. Untuk
Mengetahui Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah
3. Untuk
Mengetahui Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
4. Untuk
Mengetahui Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali
bin Abi Thalib
Nama
lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abd
Manaf bin Qusay al-Quraisy. Ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hisyam, masuk
Islam dan ikut hijrah bersama Nabi. Ia
lahir di Mekkah 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah atau 10 tahun sebelum
bi’tsah (pengangkatan sebagai rasul). Ali adalah keponakan dan sekaligus
menantu Nabi dari putri beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri
Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.[1]
Ali
bin Abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam
(as-sabiqun al-awwalun) dari kalangan anak-anak (sekitar berumur delapan atau
sepuluh tahun), dan termasuk salah seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk
surga. Sejak kecil ia dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, karena
kedekatannya dengan Nabi. Ia orator ulung, hidupnya penuh asketis (al-ulama
ar-rahbaniyah rabbani al-ummah), berani, salah seorang yang banyak meriwayatkan
hadis, pengetahuannya keagamaannya sangat luas, fatwa-fatwanya menjadi pedoman
bagi para khalifah dan sahabat-sahabat para masa Abu Bakar, Umar dan Utsman.[2]
B. Pengangkatan
Menjadi Khalifah
Pengangkatan
Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa’ ar-rasyidin terjadi pada tahun
35H/656 M, berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsaman bin Affan, yang
terbunuh oleh sekelompok pemberontak dari Mesir yang bertepatan dengan 17 Juni
656 M, yang mana mereka tidak puas terhadap terhadap kebijakan pemerintahan
Utsman bin Affan. Setelah Utsman wafat, pemilihan khalifah yang keempat jatuh
ke tangan Ali bin Abi Thalib. Namun orang-orang Bani Umayyah, terutama
pemimpin-pemimpin pemimpinnya yang telah merasakan lezatnya kekuasaan dan
kekayaan semasa pemerintahan Utsman meraka khawatir jika pemerintahan dipegang
oleh Ali akan kembali disiplin sperti masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar.
Oleh karena itu mereka tidak menghendaki Ali menjadi Khalifah. Pemilihan khalifah
waktu itu lebih sulit dari pada sebelumnya.[3]
Penduduk
Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari Mesir, Bashrah dan Kufah
mencari siapa yang mau menjadi khalifah. Mereka meminta Ali bin Abi Thalib,
Zubair bin Awwam , Thalhah bin
Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash, dan
Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun
mereka menolak. Setelah mereka berunding, akhirnya mereka mendatangi penduduk
Madinah agar mereka mengambil keputusan, karena merekalah yang dianggap ahli
syura, yang berhak memutuskan pengangkatan khalifah, kreadibilitas mereka
diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam kalau tidak ada salah satu dari
mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah,
Zubair, dan masyarakat lainnya.
Akhirnya
dengan geram mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia.
Karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan
veteran perang Badar. Menurut Ali, orang yang didukung oleh komunitas inilah
yang lebih berhak menjadi khalifah. Dengan berbagai argumen yang diajukan oleh
berbagai kelompok tersebut, demi Islam dan menghindari fitnah, akhirnya Ali
bersedia dibai’at.
Pada
hari Jum’at di Mesjid Nabawi, mereka melakukan bai’at dan keesokan harinya oleh
sahabat-sahabat besar seperti Thalhah, dan Zubair, walaupun sebenarnya mereka
membai’at secara terpaksa dan keduanya mengajukan syarat dalam bai’at tersebut
supaya Ali menegakkan keadilan terhadap pembunuh Utsman. Namun Ali tidak
langsung menjawab kesanggupannya, karena situasi pada waktu itu belum
memungkinkan untuk mengambil tindakan dan para pembunuh Utsman tidak diketahui
satu persatunya.
Setelah
Ali terpilih, beliau mengucapkan pidato dan minta semua rakyat mentaati
peraturannya. Yang pidatonya sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
menurunkan sebuah kitab yang dapat memberi petunjuk yang menerangkan mana
yang baik dan mana yang buruk, karena
itu kerjakanlah segala yang baik dan tinggalkanlah segala yang buruk. Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan sesuatu dan lebih mengutamakan pengharaman darah
seorang muslim diatas segala yang diharamkannya. Hak kaum muslimin diikat
dengan ikhlas dan tauhid. Seorang muslim adalah seorang yang dapat menjauhkan
kaum muslimin dari kejahatan lisan dan tangannya, kecuali dengan hak. Tidak
dihalalkan bagi seorang muslim untuk menyakiti seorang muslim, kecuali dengan
apa yang telah ditetapkan oleh syariat. Kerjakanlah secepat-cepatnya segala
urusan yang umum dan yang khusus. [4]
Sesungguhnya
manusia ada dihadapan kamu, sesungguhnya kalian selalu berpacu dengan masa,
karena itu pergunakanlah sebaik mungkin waktumu agar kamu beruntung, sebab
setiap generasi akan diteruskan oleh generasi yang lain. Takutlah kepada Allah
didalam segala urusan hamba-hambaNya dan negeri-negeriNya, sebab kalian akan
dimintai pertanggungan jawab dalam segala hal, sampai tentang tempat-tempat dan
binatang-binatang ternak. Dan taatilah Allah dan janganlah kamu langgar sedikit
pun ketetapan-Nya. Jika kamu melihat suatu kebaikan, maka kerjakanlah jika kamu
melihat yang buruk maka tinggalkanlah. “Dan ingatlah (hai para Muhajirin)
ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekkah) kamu
takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat
menetap (Madinah). Dan jadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan
diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”
C. Konflik yang
terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
1. Fitnah
Kubra; Perang Antar Sahabat
Akibat dari pembunuhan Utsman dan disusul
dengan naiknya Ali menjadi khalifah yang tidak sepenuhnya didukung oleh umat
Islam pada waktu itu mengakibatkan sebagai ekses yang sangat luar biasa dalam
sejarah Islam, yaitu timbulnya tragedi yang mengenaskan yaitu perang saudara.
Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam
sejarah Islam adalah sebagai berikut:[5]
a)
Perang Berunta (Waqiatul Jamal) 36 H/ 657 M
Disebut
perang unta karena panglimanya (Aisyah) mengendarai unta. Ikut terjunnya Aisyah
memerangi Ali sebagai Khalifah, dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga
orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut
sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
Pemimpin
perang tersebut ialah: Zubair, Thalhah, dan Siti Aisyah. Di antara ketiga orang
itu Aisyah, sebagai panglima perangnya. Ketiga pemimpin itu di Mekkah mengumpulkan pasukan dari Hijaz
dan Yaman. Kemudian mereka menuju Basrah dan mengumpulkan pasukan untuk
memerangi khalifah Ali di Madinah. Perang ini merupakan perang saudara
pertamakali dalam Islam.
Sebab-sebab
perang:
1) Mereka tidak
setuju atas pengangkatan Ali sebagai Khalifah (sekalipun Zubair dan Thalhah
dulu turut membai’at Ali)
2) Mereka tidak
setuju atas tindakan Ali mengadakan pergantian wali (Gubernur), di beberapa
daerah.
3) Khalifah Ali
tidak menuruti permintaan mereka untuk mendahulukan mengabulkan tuntunan kaum
orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman (sekalipun yang
terakhir ini tidak disetujui Aisyah).
4) Ambisi Abdullah
Ibnu Zubair untuk menjadi Khalifah. Untuk ia membujuk Aisyah (Ibu angkatnya)
agar mendukungnya, dan ikut serta berangkat ke medan perang.
5) Ali tidak
mengangkat Thalhah dan Zubair sebagai gubernur.
Khalifah Ali ingin sekali
menghindari perang. Beliau sempat mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar
keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun,
ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat pun berkobar. Perang
Jamal menyebabkan 10.000 orang Islam terbunuh termasuk Zubair dan Thalhah.
Sedangkan Aisyah selamat. Perang ini tiba-tiba berhenti setelah unta yang
dikendarai Aisyah mati terbunuh. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan di
pihak Ali. Sedang Aisyah dipulangkan ke Madinah dengan penuh kehormatan dan
dipesan agar jangan kena bujuk lagi dan jangan mencampuri urusan politik.
b)
Perang Shiffin
Shiffin
adalah sebuah tempat tak jauh dari sebelah barat pantai Sungai Furat, selatan
Riqqah, timur laut Suria di dekat perbatasan Suria-Irak, dua kawasan bekas
jajahan Rumawi dan Persia.[6]
Perselisihan khalifah
Ali dan Muawiyah
Adannya perselisihan
antara Ali dan Muawiyah berarti kembalinya perselisihan Bani Hasyim dengan Bani
Umayyah, seperti pada zaman jahiliyah dahulu. Puncak perselisihan itu adalah
meletusnya perang yang disebut perang shiffin. Sebab-sebab perang:
(1) Muawiyah
menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Khalifah Utsman dan Muawiyah menuntut
beliau.
(2) Ali sebagai
Khalifah tidak percaya kepada Muawiyah di Syam, dan memecatnya dari jabatan
Gubernur. Tetapi pemecatan mereka itu tidak ditaati oleh muawiyah.
Khalifah Ali mengirimkan surat
kepada Muawiyah dan berisi ajakan dama, atau kalau tidak mau, maka muawiyah
dianggap memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Dan Ali berhak
memeranginya.[7]
Muawiyah menjawab dengan surat yang
berisi kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”. Mulai saat itulah perselisihan
memuncak. Muawiyah siap untuk perang, Ali pun berniat menggempur mereka.
Setelah selesai perang berunta, Ali
terus berangkat ke Kufah. Dari sana beliau mengirim utusan Jarir bin Abdullah Al-Ghazali
kepada Muawiyah agar minta supaya ia mau “bai’at” damai saja. Jawaban Muawiyah
ialah :
(1) Bai’at damai
tidak akan berlangsung sebelum darah Utsman selesai.
(2) Bila darah itu
tidak selesai bukan Bai’at yang berlangsung tetapi perang.
Jawaban tersebut disampaikan Jarir
pada Khalifah Ali dan menerangkan adanya persiapan perang di Syam. Dengan
demikian perang tidak dapat dielakkan lagi.
Pada mulanya pasukan Muawiyah
mendapat kemenangan. Karena pasukan Ali melakukan pembalasan yang keras sekali,
pasukan Muawiyah kembali menjadi kalah. Muawiyah sudah berpikir untuk lari,
tetapi Amr mengambil siasat dengan memerintahkan supaya menaruh mushaf
Al-Qur’an pada pucuk lembing mereka masing-masing, suatu tanda “damai dengan
hukum kitab”. Dan mereka berteriak meminta perdamaian. Tujuan ajakan damai itu
bagi muawiyah tidak lain untuk mengulur waktu gun menghindari kekalahan.
Melihat keadaan itu dan mendengar
seruan itu, pasukan Ali menjadi lemas tangannya tidak dapat melanjutkan perang.
Padahal sudah hampir menang. Sebagian pasukan ingin terus perang sampai menang,
tetapi sebagian ingin damai dan diselesaikan dengan hukum Allah. Sedang Ali
sendiri menghendaki menyelesaikan perang sampai menang. Karena beliau mengerrti
dan yakin bahwa seruan dari musuh itu hanya melihat belaka. Maka beliau berseru
: “teruskan perang sampai mendapatkan hukum”.
Tetapi karena pasukan Ali sudah
pecah, kemudian Ali memberhentikan perang dengan hati yang kesal. Pasukan
beliau mundur ke Kufah sedang pasukan Muawiyah mundur ke Syam.
Perang Shiffin ini memakan korban
dari pasuka Ali 25.000 orang gugur dan pasukan Muawiyah 45.000 yang menjadi korban. Kemudian diadakan
genjatan senjata dan dilanjutkan dengan diadakan pertemuan perdamaian dari
kedua belah pihak (arbitrase) di Dumantul Jandal.
Dumantul Jandal nama sebuah kampung
di Sarhan. Sarhan adalah nama sebuah wadi (oasis) di utara Saudi Arabia.[8]
1. Majlis
Tahkim Dumantul Jandal
Perjanjian
genjatan senjata antara Ali dan Muawiyah terlaksana. Kemudian mereka mengadakan
perundingan dengan ketentuan:
(1)
Perundingan tetap di adakan di Dumantul Jandal
tepat pada waktunya.
(2)
Masing-masing terdiri dari 100 orang utusan.
Dari pihak Ali diketahui oleh Abu Musa Al-Asy’ary, dan pihak Muawiyah diketahui
Amr bin Ash
Dengan taktik yang licin sebelum
sidang dimulai Amr berusaha mengadakan perundingan dengan Abu Musa. Hasil
perundingan ialah :
Keduanya sepakat untuk menurunkan
Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah (ingat! Bahwa Muawiyah bukan Khalifah).
Kata Amr : “hal itu untuk menjaga kebebasan berbicara di dalam perundingan”.
Abu Musa diminta berbicara dihadapan
sidanng lebih dahulu dari pada Amr (ingat! hal ini hanya untuk menjatuhkan Abu
Musa saja). Kata Amr “Hal itu untuk menghormati sahabat yang lebih tua, yang
lebih dahulu masuk Islam dan lain-lain”.
Setelah sidang dibuka Abu Musa
berbicara lebih dahulu yang isinya antara lain : “Bahwa saya telah sepakat
dengan Amr menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah, kemudian calon
gantinya adalah Abdullah bin Umar”. Kemudian Amr berbicara dengan air muka yang
manis, yang antara lain isinya: “...Saya percaya bahwa Abu Musa tidak akan
menjual agama dengan dunia. Dia menurunkan Ali dari jabatan Khalifah. Sekarang
saya menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah”.
Majlis tahkim itu berakhir dengan
kegagalan, memang Muawiyah tidak ada maksud menyelesaikan persoalan itu dengan
jalan perundingan. Jadi benar kata Ali bahwa ajakan dari pihak Muawiyah itu
hanya tipu muslihat saja. Dan kebetulan utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa
Al-Asy’ari seorang ulama besar yang jujur dan hanya bisa mengemukakan apa
adanya, bukan seorang diplomat sejenis Amr bin Ash.
2. Timbulnya
Aliran-Aliran dalam Islam
Islam di samping merupakan sistem agama, ia
juga merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad SAW disamping seorang rasul
sekaligus menjadi negarawan. Sehingga wajar persoalan-persoalan politik yang
timbul di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib seperti yang telah disebutkan di
atas pada akhirnya meningkat menjadi
persoalan yang membawa-bawa masalah keyakinan (teologi) dalam Islam. Sikap Ali
yang menerima arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui
oleh pengikutnya. Mereka berpendapat, hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh
arbitrase manusia. Menurut mereka, putusan hanya datang dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada, ayat al-Qur’an la hukma illa lillah,
menjadi semboyan mereka.[9]
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut
memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal
sebutan kaum “Khawarij”. Pendapat dan
pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah
kafir dalam arti telah keluar dari Islam (murtad, apostate) karena tidak berhukum
pada hukum Allah sebagai yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 44.
!$¯RÎ) $uZø9tRr&
sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 cqÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór&
tûïÏ%©#Ï9 (#rß$yd tbqÏY»/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà 4 xsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur wur (#rçtIô±n@ ÓÉL»t$t«Î/ $YYyJrO WxÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr&
ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah : 44).
Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash,
Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Karena
itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’wiyah, Amr bin Ash, Abu Musa
al-Asy’ari.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi
beberapa sekte. Konsep kafir yang mereka pahami turut mengalami perubahan.
Orang yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum pada al-Qur’an
saja, tetapi orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.
Untuk menghadapi pemikiran Khawarij tersebut
muncul aliran yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap
mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukan terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuni Aliran ini dikenal dengan sebutan Murji’ah.
Pada awalnya kelompok ini adalah orang-orang yang mengambil sikap diam dalam
melihat pertikaian di kalangan umat Islam sendiri. Mereka sangat berhati-hati
dalam menilai siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa perang
saudara pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Secara politik akhirnya mereka mayoritas mendukung pemerintah
Bani Umayah. Dalam masalah teologi, dari kelompok ini pulalah yang melahirkan
kelompok “Ahlussunah wal Jama’ah”.
Kemudian ada kelompok yang tidak setuju pada
keduanya maka lahirlah aliran “Mu’tazilah”, yang berpendapat bahwa orang
berdosa besar tidak kafir juga tidak mukmin, orang seperti itu berbeda di
posisi tengah (al-manzilah bainal manzilah).
Dari pihak pendukung fanatik Ali bin Abi Thalib
juga akhirnya melembagakan teori politiknya, bahwa sebenarnya yang berhak
menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib dan
dilanjutkan oleh keturunannya. Mereka ini kemudian dikenal dengan aliran
“Syi’ah”. Harapan mereka pada awalnya tertuju kepada Hasan putera tertua
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya mereka mengangkat Hasan, namun nampaknya
Hasan mewarisi sifat ayahnya, tidak berbakat menjadi khalifah. Kemudian ia
mengadakan akomudasi dengan menyerahkan hak khalifahny kepada Mu’awiyah. Kemudian para pengikutnya memposisikan sebagai
oposisi penguasa, sampai terbunuhnya pemimpin mereka berikutnya, Husein bin Abi
Thalib, saudara Hasan pada tragedi Karbela. Setelah itu mereka terus menerus
menggalang kekuatan untuk merongrong penguasa pada waktu itu.
Untuk selanjutnya aliran-aliran atau madzhab
tersebut berkembang, ada yang bersifat pengembangan, kritik, atau menandingi
dan melawan aliran-aliran yang sudah ada, ada yang bertahan lama, ada pula yang
hanya bertahan sebentar sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan umat
Islam itu sendiri dalam memahami pesan dan ajaran agamanya.
D. Masa Akhir
Jabatan Ali bin Abi Thalib
Ali
dilanda dengan cobaan yang sangat berat dimana para pengikutnya telah banyak
yang membangkang, terjadinya pelanggaran hukum dan pengacauan berita
perampasan, teror dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Rakyat sudah tidak pernah
tenang, semua berada dalam kegelisahan. Toleransi yang telah Ia berikan kepada
Muawiyyah dan Khawarij telah melampaui batas. Tetapi saat itu sekelompok
Khawarij memanfaaatkan momentum musim haji tahun 40 H. Mereka melihat jemaah
haji sudah bercerai berai. Golongan Muawiyyah melaksanakan sholat dengan imam
sendiri begitu pula dengan golongan Ali dengan imam sendiri. Sudah sangat parah
kondisinya saat itu. Khawarij yang tidak berhasil memerangi Muawiyyah dan Ali,
mereka berniat melakukan pembunuhan terhadap biang keladi yang dianggap
menimbulkan pertentangan dikalangan kaum muslimin, mereka adalah Ali,
Muawiyyah, dan Amr bin As.[10]
Pada
tanggal 40 H Khawarij yang telah sepakat akan melakukan pembunuhan yang terdiri
atas 3 orang telah menentukan tempat, tanggal, dan waktu pelaksaannya. Mereka
itu adalah Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi yang akan berangkat ke
Kuffah untuk membunuh Imam Ali. Al- Burak atau Al-Hajjaj bin Abdullah at-Tamimi
yang akan berangkat ke Syam untuk membunhu Muawiyyah. Amr bin Bakr at-Tamimi
yang akan pergi ke Mesir untuk membunuh Amr bin As. Pelaksanaannya ditentukan
dalam waktu yang sama yaitu saat mereka melakukan sholat subuh di Mesjid.
Tanggal 17 Ramadhan tahun ini juga. Pada waktu yang telah ditentukan, di Mesjid
Damsyik Hajjaj sudah menunggu Muawiyyah yang akan melaksanakan sholat subuh.
Tetapi Ia tidak berhasil,karena ketika mengayunkan pedangnya Ia disergap oleh
pengawal Muawiyyah, dan pedang itu hanya mengenai bokongnya. Kemudian orang
tersebut menemui ajalnya atas perintah Muawiyyah. Lain halnya dengan Ali yang
tidak mau dikawal dan tidak pernah memakai baju besi.
Amr
bin Bakr at-Tamimi juga tidak berhasil karena pada waktu yang telah ditentukan
Amr bin As sedang sakit sehingga Ia
tidak ke mesjid dan digantikan oleh Kharijah bin Habib As-Sahmi. Maka orang
bini tewas oleh pedang Amr bin Bakr at-Tamimi dan Ia menemui ajalnya atas perintah
Amr bin As.
Abdurrahman
bin Muljam al- Himyari al-Murad yang sudah menunggu di Kuffah menunggu waktu
yang telah ditentukan. Ketika Imam Ali datang dan menyerukan salat, mereka
menyambutnya didepan Mesjid dengan pukulan pedang. Pedang Abdurrahman bin
Muljam al- Himyari al-Muradi mengenai tepat didahinya tembus sampai ke otak.
Ali pun roboh tersungkur, sambil berkata “tangkap orang! Abdurrahman bin Muljam
al- Himyari al-Muradi tertangkap. Ali dibawa kerumahnya dan tinggal selama dua
hari satu malam. Ia berpesan apabila ia mati maka bunuh lah Dia tapi jangan
dianiaya. Sebelum ajal Imam Ali tidak menyebutkan nama pengganti dirinya, Ia
hanya memberikan nasehat kepada anak-anaknya.
Akhirnya
Ali bin Abi Thalib pun meninggal pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. 661 M. (24
Januari), gugur pada syahid pada usia 63 tahun. Jenaah Al dimandikan oleh Hasan
dan Husain. Dengan meningganya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pulalah masa
al-Khulafua’ ar-Rasyidun ,yang berlangsung selama 30 tahun. Mengenai tempat
pemakaman Ali bin Abi Thalib sebenarnya masih sangat rahaia, sebab khawatir
akan diganggu oleh pihak Khawarij. Namun dari berbagai pendapat yang berbeda
tentang letak pemakaman Ali. Menurut
kalangan Syi’ah mereka meyakini kalau makam Ali bin Abi Thalib ada di Najaf,
Irak selatan tempat ini dikenal dengan kompleks Imam Ali, dan disina pula
terdapat Masjid Imam Ali yang ter besar dikota ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khalifah
Ali bin Abi Thalib memerintah kurang lebih lima tahun (35-40 H/ 656-661 M).
Berakhirnya kekhalifahan Ali berakhir pula masa kepemimpinan para khalifah yang
cerdas, khulafa’urrasyidin yang empat, dengan sistem pemerintahan yang
demokratis, yang pada waktu itu sulit mencari padanannya di wilayah manapun.
Setelah itu, umat Islam mengalami perubahan dan perbedaan dalam sistem politik
kenegaraannya, dari sistem pemerintahan yang berdasarkan syura’, berubah
menjadi bentuk pemimpin yang tidak dipilih, tetapi berdasarkan penunjukkan yang
secara turun menurun (bani/dinasti) atau berbentuk kerajaan. Di bidang
pemahaman keagamaan juga muncul berbagai aliran (madzhab/sekte) yang bermula
timbul dari respon terhadap berbagai peristiwa di akhir pemerintahan Ali bin
Abi Thalib.
Bagaimanapun
mereka para generasi awal Islam, khususnya para khalifah yang empat adalah
orang-orang yang mempunyai kredibelitas dan integritas pribadinya, serta
loyalitas dan kontribusinya pada Islam tidak perlu diragukan lagi. Jika
seandainya mereka lepas dari kekurangan, maka bagaimana kita menerangkan
bagaimana berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan sahabat Nabi sendiri,
selang hanya beberapa tahun saja dari wafatnya Beliau. Padahal peperangan itu
banyak melibatkan sahabat besar, seperti: Ali, Aisyah, Amr bin Ash, Abu Musa
al-Asy’ari dan lain-lain.
B. Saran
Saran
saya kepada para pembaca baik Dosen, Mahasasiswa maupun masayarakat umum agar
dapat lebih kritis dalam membaca makalah ini dan dapat memberikan kritikan yang
membangun guna untuk memperbaiki kecacatan dalam pembuatan makalah ini dan
harapan saya agar para pembaca dapat mengambil pelajaran dari makalah Sejarah
Peradaban Islam ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar
Islam sepanjang sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2007)
Abbas Mahmud al-Akkad, Ketakwaan
Khalifah Ali bin Abi Thalib (terj. Bustami A. Gani dan zainal Abidin
Ahmad), (Jakarta: Bulan bintang, 1979)
Basuki, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Jakarta: Depag, 1999)
[1] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam sepanjang sejarah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 20
[3] Abbas Mahmud al-Akkad, Ketakwaan Khalifah Ali bin Abi Thalib
(terj. Bustami A. Gani dan zainal Abidin Ahmad), (Jakarta: Bulan bintang,
1979), hlm. 45
No comments:
Post a Comment