BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Fiqih Siyasah adalah bukan kajian yang
baru di antara ilmu pengetahuan yang lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan
dengan perjalan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan
berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya
Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan
Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan
Negara dari serangna musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan
masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai
upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi
makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Luasnya pembahasan
tentang kajian fiqih siyasah, maka pemakalah membuat tema “Konsep dalam
Siyasah”.
Hubungan agama dan politik selalu
menjadi topik pembicaraan yang menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat
pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler.
Di samping itu sejarah mencatat bahwa
permasalahan prtama yang dipersoalkan oleh organisasi pertama umat Islam
sesudah muhammad Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau
pengganti beliau yang akan memimpin umat atau juga lazim disebut imamah.
Tidak mengherankan, kalau dalam pentas
perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi Muhammad SAW wafat sampai di abad
modern ini, umat Islam menampilkan sebagai sistem dan bentuk pemerintahan.
Mulai dari bentuk kekhilafahan yang demokrasi sampai kebentuk yang monarkis
absolut.
Keragaman dalam peraktek mencuatkan
juga konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang
politik Islam, perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan
pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dengan negara yang dikaitkan
dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW, dan penafsiran terhadapajaran Islam dalam
kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Terjadinya keragaman praktek dan
keragaman konsep dan pemikiran tersebut, bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran
Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti
tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan perbedaan
dai intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing.
Untuk memperjelas masalah ini,
terutama bagaimana sistem pemerintahan setelah wafatnya Nabi Muhammad, maka
kami sbagai pemakalah akan menjelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa yang
dimaksud dengan konsep imarah?
2.
Apa yang
dimaksud dengan konsep imamah?
3.
Apa yang
dimaksud dengan konsep khalifah?
4.
Bagaimana
pembahasan tentang khalifah imam?
5.
Apa yang
dimaksud dengan amir dalam fiqh siyasah?
C.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan konsep imarah
2.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan konsep imamah
3.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan konsep khalifah
4.
Untuk
mengetahui pembahasan tentang khalifah imam
5.
Untuk
menegetahui yang dimaksud dengan amir dalam fiqh siyasah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Imarah
1.
Pengertian Imarah dan Penggunaanya
Imarah
berarti pemerintahan yang artinya tidak jauh berbeda dengan imamah.
Perbedaannya adalah ditinjau dari segi penggunaanya. Penggunaan kata ini
pertamakalinya diberikan kepada khalifah yang kedua yaitu umar bin khatab. Umar
tidak mau menyebut dirinya sebagai khalifah karena khawatir terjadi pengulangan
kata khalifah.
Gelar
amir yang tanpa embel-embel berasal dari kata amara yang berarti memerintah.
Dalam bahasa Arab, amir berarti seseorang yang memerintah, seorang komandan
militer, seorang gubernur provinsi, atau putra mahkota.[1]
Secara
linguistik, terma amir ini berasal dari bahasa semit yang berarti bicara,
perintah. Selain itu amir juga bermakna penguasa, raja atau komandan militer.
Gelar ini sering digunakan oleh pemimpin daerah yang berusaha melepaskan diri
dari pemerintahan pusat yang tidak efektif, sebagai mana yang telah dilakukan
oleh pemimpin dari dinasti Tahiriah.
Imarat
ini merupakan sebutan untuk jabatan amir dalam suatu negara kecil yang
berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir. Gelar amir
pertama digunakan juga pada masa khalifah umar bin khatab. Pada masa dinasti
abbasiyyah geelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerah propinsi yang juga
disebut sebagai wali.
Tugasnya
mulai dibedakan dan didampingi oleh pejabat yang diangkat. Pada masa dinasti
abbasiyyah, penguasa daerah sudah mulai disebut dengan amir yang bekerja
sebagai pengelola pajak, keuangan dan lain-lain.
Disaat
pergantian kekuasaan dari bani umayyah kepada dinasti bani abbasiyyah
memunculkan satu peristiwa baru yang belum pernah dikenal dalam tradisi islam
sebelumnya. Masa umayyah penguasa hanya menganggap jabatan sebagai wakil tuhan
dimuka bumi. Sedangkan dimasa abbasiyyah konsep itu bergeser menjadi wakil
tuhan dimuka bumi yang mengurusi masalah umat islam secara keseluruhan.
B.
Imamah
1.
Pengerian
Imamah
Secara
istilah imamah adalah kepemimpinan menyeluruh berkaitan dengan urusan keagamaan
dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi rasulullah SAW. Senada dengan ini
dikatakan oleh Al-Tafzani sebagai dikutip oleh Rasyid Ridha, Imamah adalah
kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yakni suatu khilafah yang
diwarisi dari Nabi. Demikian pula pendapat Al-Mawardi, Imamah dibentuk untuk
menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.[2]
Dalam
wacana fiqih siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah.
Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam.
istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan syi’ah, sedangkan istilah
khilafah lebih populer penggunanya dalam masyarakat sunni.
Hanya
saja terdapat perbedaan mendasar antara kadua aliran ini dalam memahami imamah.
Kelompok syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran
agama, sedangkan sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa
pemikir sunni juga menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentang
khilafah. Hal ini antara lain dilakukan oleh Abu al-hasan al-Mawardi.[3]
Penegakan
institusi imamah atau khalifah, menurut para fuqaha mempunyai dua fungsi, yaitu
menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumannya, serta menjalankan
politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam. menurut al-Mawardi,
imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memlihara agama dan
mengatur kehidupan dunia.
Sejalan
dengan pandangan al-mawardi, Audah mendefenisikan bahwa khilafah atau imamah
adalah kepemimpinan umum umat islam dalam masalah-masalah keduniaan dan
keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw. Dalam rangka menegakkan agama
dan memilihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.
2.
Konsep
Imamah di Dunia Syi’ah
Bila
dikalangan sunni memiliki pemikiran yang beragam tentang eksistensi imamah,
maka dikalangan syi’ah begitu kental dan tak berubah sampai sekarang. Kaum
syi’ah tetap memelihara konsep dasar yang fundamental tentang doktrin imamah
sebagai kepemimpinan yang berdimensi spritual dan politis.
Imam
adalah ma’shum sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik bagi komunitas
muslim. Dan yang berhak memegang otoritas spritual dan politis setelah nabi
wafat adalahh Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Doktrin ini dipegang oleh
syi’ah imamiyah atau syi’ah imam dua belas.[4]
C.
Khilafah
1.
Pengerian
Khilafah
Khilafah
secara bahasa dapat diartikan dengan pengganti, yaitu seseorang yang
menggantikan tempat orang lain dalam persoalan. Menurut istilah khalifah
merupakan pemimpin yang menggantikan nabi dalam tanggung jawab umum terhadap
pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undangnya yang
mempersamakan orang lemah dan orang kuat, orang mulia dan orang hina di depan
kebenaran sebagai khalifah rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia.
Menurut
ibnu khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh
peraturan untuk mewujudkan kemaslahatan duni akhirat bagi umat dengan merujuk
kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan terakhir, mka kemaslahatan
dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya sebagai pengganti
fungsi pembuat syariat dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik
keduniaan.[5]
2.
Konsep
Khilafah di Dunia Sunni
Term
khilafah sering digunakan oleh mayoritas ahlussunnah sedangkan kalangan syiah
lebih akrab menggunakan kata imamah untuk menunjukkan konsep mereka dalam hal
kepemimpinan. Paradigma pemikiran sunni lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan
khulfa ar-rasyiddin. Para khalifah memiliki kapasitas sebagai pemimpin agama
dan pemimpin politik dalam memimpin umat islam.
Fungsi
mereka untuk menggantikan kepemimpinan nabi, sebagai pemimpin agama dan
pemimpin politik atau kepala negara. Pandangan ini kemudian menimbulkan
ungkapan al- islam din wa daulat ( islam adalah agama dan suatu negara).
Ungkpan yang menekankan pada islam totalitas, yakni meliputi segala aspek
kehidupan manusia.
Paradigma
pemikiran para juris sunni klasik dikukuhkan kembali oleh al-maududi dizaman
modern. Katanya, hukum islam adalahh pola bagi kehidupan yang mencakup seluruh
tatanan kemasyarakatan secara sempurna.
Karena
itu pula hukum islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau
negara. Negara didasarkan pada prinsip yang mengakui kedaulatan tuhan,
kapasitas nabi muhammad sebagai wakil tuhan dan menerapkan musyawarah serta kedaulatan
yang sesungguhnya berada pada tangan tuhan.
D.
Khalifah Imam
1.
Pengertian Khalifah
Khilafah
berasal dari bahasa arab yaitu( خلافة) yang artinya pemimpin
atau datang kemudian. Khilafah menurut bahasa artinya adalah pengganti, Duta,
kepemimpinan atau wakil. Dan kata Khilafah ini bersinonim dengan kata Imamah
atau Imarah yang artinya pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah menurut
istilah yaitu struktur pemerintahan yang pelaksanaannya diatur berdasarkan
syariat islam. Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan
Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh
penjuru dunia (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam). Dalam pengertian
syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW
dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah). Inilah pengertiannya
pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah
Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri.[6]
Para
ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan
Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai
penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang
menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan)
dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang
Khilafah sebagai penampakan agama (almazh-har ad-dini), yakni institusi yang
menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang
kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan amalah (seperti
perdagangan), al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan
ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini.
Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak
menyepakati satu definisi untuk Khilafah.
Khilafah
dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan
sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi
umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi
pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul
Muslimin.
2.
Tujuan
Khilafah
Secara
umum yaitu untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur,
sejahtera lahir dan batin serta memperoleh ampunan dan ridho dari Allah SWT.
Sebagai fiman Allah SWT dalam surah Saba’ ayat 15
ôs)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×pt#uä ( Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJt 5A$yJÏ©ur ( (#qè=ä. `ÏB É-øÍh öNä3În/u (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4 ×ot$ù#t/ ×pt6ÍhsÛ ;>uur Öqàÿxî ÇÊÎÈ
Artinya : Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan)
di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”(QS.
Saba’/34:15)
Secara Khusus
a)
Melanjutkan
kepemimpinan islam setelah nabi Muhammad saw wafat. Hal tersebut tidak berarti
menggantikan kedudukannya sebagai nabi, melainkan sebagai pemimpin dan pelanjut
risalah yang telah diajarkan oleh beliau.
b)
Mengupayakan
kesejahteraan lahir dan batin dalam rangka memperoleh kebahagian di dunia dan
di akhirat
c)
Mewujudkan
dasar-dasar Khilafah yang adil dalam seluruh aspek kehidupan umat islam.
d)
Untuk
membentuk suatu masyarakat yg hidupnya subur, makmur, sejahtera dan berkeadilan
serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
E.
Amir
Kata amir diturunkan dari kata amira
yang berarti menjadi amir. Amir bermakna pemimpi, dalam kamus inggris diartikan
dengan orang yang memerintah, komandan dan raja. Atas dasar makna-makna ini,
amir didefinisikan dengan seorang penguasa yang melaksanakan urusan. Bentuk
jama’nyaq adalah umara ( para penguasa, para pemimpin, para komandan ).
Istilah amir digunakan untuk gelar
bagi jabatan-jabatan penting yang berpariasi dalam sejarah pemerintahan Islam
dengan sebutan yang beragam. Secara
resmi penggunaankata amir berarti pemimpin komunitas muslim muncul dalam balai
Sakifah bani Saidah. Pertemuan kaum anshar
dan muhajirin untuk memusyawarahkan pemimpin umat Islam sebagai
pengganti Nabi setelah beliau wafat. Gelar Amir al mu’minin yang setingkat
dengan khalifah diguunakan oleh Umar bin Khatab khalifah kedua.[7]
Selama pemerintahan Islam di madinah,
para komandan militer, komandan divisi militer disebut amir yaitu amir al-jaisy
atau amir aljund. Para gurbenur pada mulanya adalah para jendral yang menaklukan
daerah, juga disebut amir. Tugas utama amir pada mulanya sebagai penguasa
daera, pengelola administrasi politik, mengumpulan pajak dan sebagai pemimpin
agama. Kemudian pada masa pasca Rasul tugasnya bertambah meliputi pemimpin
ekspedisI-ekspedisi militer,
menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan daerah taklukan Islam,
membangun masjid, jadi imam shalat dan khatib dalam shalat jumat, mengurus
administrasi pengadilan, dan selain itu bertanggung jawab pada khalifah di
Madinah.
Pada masa dinasti Umayah gelar amir
hanya digunakan untuk penguasa daerahnprovinsi yang juga disebut wali ( hakim,
penguasa, dan pemerintah). Dan tugasnya
pun mulai dibedakan dan di dampingi pejabat yang dia angkat. Amir juga diberi
wewenang mengangkat wakilnya di daerah-daerah atas persetujuan khalifah. Tapi
ada juga yang langsung diangkat oleh khalifah. Selain itu amir juga bertugas
mengawasi percetakan uang, mengatur sistem penarikan pajak , memimpin delegasi
uuntuk menyampaikan baiat kepada khalifah yang baru diangkat, membangun
sarana-sarana umum, seperti jembatan, kanal, jalan dan mengirimkan sebagian
penghasilan daerah ke Damaskus.[8]
Pada masa dinasti Abbasiyah, penguasa
daerah atau gurbenur juga disebut amir. Pada umumnya tugas amir pada periode
ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil dan keuangania di
dampingi oleh pejabat keuangan yang disebut amil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang universal.
Sejak abad Klasik, tengah, hingga modern, islam mengalami sejarah panjang
mengenai kepemimpinan politik Islam. Adanya pandangan yang berbeda mengenai
Imamah (syi’ah Imamiyah) dan Khilafah (Sunni) menjadi problem tersendiri bagi
umat Islam. Dimana terjadi pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni
mengenai siapa penerus atau pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Kemunculan Islam syi’ah berawal dari
masalah pengganti (Khalifah) Nabi Muhammad. Mereka menolak kepemimpinan Abu
Bakar, Umar, dan Utsman, karena menganggap hanya Ali Bin Abi Thalib lah yang
berhak menggantikan Nabi Muhammad. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan
kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk
mengikutinya.
Mereka berpandangan seperti itu karena
berdasarka bukti utama atas sahnya Ali sebaagai penerus Nabi adalah peristiwa
Ghadir Khum. Sedangkan kemunculan Islam Sunni merupakan kelompok muslim
pendukung Sunnah. Sunnah sendiri merupakan jejak yang ditinggalkan oleh Nabi
Muhammad dan Khulafaur ar-rasyidin, yang disebut dengan Ahlussunah berarti
pengikut atau penganut Nabi Muhammad dan Jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi,
Ahlussunnah wal-Jama’ah mengandung Sunnah
Nabi dan para sahabat Nabi Muhammad.
B.
Saran-saran
Melalui makalah ini, kami selaku
penyusun makalah mengharapkan kritikan dan dukungan yang mendukung demi
kebaikan makalah ini. Dan perihal materi ambillah sesuatu yang bermanfaat dan
terapkan dalam keseharian.
DAFTAR PUSTAKA
Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran ). (PT. Raja Grafindo Persada. 1999)
Syarif Mujir Ibnu
dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT
Gelora Aksara Pratama,2008)
Fahmi Asyannawi, Fiqih Politik (terjemahan ), (Pustaka
Setia,Bandung, 2006)
A.Djazuli, Fiqih Siyasah, (Prenada Media, Bandung,
2003)
Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1993)
Mujir Ibnu Syarif
dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT
Gelora Aksara Pratama, 2008)
[1] Suyuti Pulungan, Fiqih
Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ). (PT. Raja Grafindo Persada.
1999), h. 63
[2] Suyuti Pulungan, Fiqih
Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ). (PT. Raja Grafindo Persada.
1999) H. 65
[3]Syarif Mujir Ibnu dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT Gelora Aksara Pratama,2008), h. 204
[4] Fahmi Asyannawi, Fiqih
Politik (terjemahan ), (Pustaka Setia,Bandung, 2006), h. 9
[5] A.Djazuli, Fiqih Siyasah,
(Prenada Media, Bandung, 2003), h. 87
[6]
Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993) h. 135
[7] Mujir
Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih
Siyasah, (PT Gelora Aksara Pratama, 2008), h. 311
[8] Mujir
Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih
Siyasah, … h. 313
No comments:
Post a Comment