Monday, April 16, 2018

Konsep Imamah, Imarah, Khalifah, Amir dalam Fiqh Siyasah


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Fiqih Siyasah adalah bukan kajian yang baru di antara ilmu pengetahuan yang lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan dengan perjalan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan Negara dari serangna musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Luasnya pembahasan tentang kajian fiqih siyasah, maka pemakalah membuat tema “Konsep dalam Siyasah”.
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler.
Di samping itu sejarah mencatat bahwa permasalahan prtama yang dipersoalkan oleh organisasi pertama umat Islam sesudah muhammad Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat atau juga lazim disebut imamah.
Tidak mengherankan, kalau dalam pentas perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi Muhammad SAW wafat sampai di abad modern ini, umat Islam menampilkan sebagai sistem dan bentuk pemerintahan. Mulai dari bentuk kekhilafahan yang demokrasi sampai kebentuk yang monarkis absolut.
Keragaman dalam peraktek mencuatkan juga konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam, perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dengan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW, dan penafsiran terhadapajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Terjadinya keragaman praktek dan keragaman konsep dan pemikiran tersebut, bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan perbedaan dai intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing.
Untuk memperjelas masalah ini, terutama bagaimana sistem pemerintahan setelah wafatnya Nabi Muhammad, maka kami sbagai pemakalah akan menjelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan konsep imarah?
2.      Apa yang dimaksud dengan konsep imamah?
3.      Apa yang dimaksud dengan konsep khalifah?
4.      Bagaimana pembahasan tentang khalifah imam?
5.      Apa yang dimaksud dengan amir dalam fiqh siyasah?

C.     Tujuan Makalah
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan konsep imarah
2.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan konsep imamah
3.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan konsep khalifah
4.      Untuk mengetahui pembahasan tentang khalifah imam
5.      Untuk menegetahui yang dimaksud dengan amir dalam fiqh siyasah




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Imarah
1.      Pengertian Imarah dan Penggunaanya
Imarah berarti pemerintahan yang artinya tidak jauh berbeda dengan imamah. Perbedaannya adalah ditinjau dari segi penggunaanya. Penggunaan kata ini pertamakalinya diberikan kepada khalifah yang kedua yaitu umar bin khatab. Umar tidak mau menyebut dirinya sebagai khalifah karena khawatir terjadi pengulangan kata khalifah.
Gelar amir yang tanpa embel-embel berasal dari kata amara yang berarti memerintah. Dalam bahasa Arab, amir berarti seseorang yang memerintah, seorang komandan militer, seorang gubernur provinsi, atau putra mahkota.[1]
Secara linguistik, terma amir ini berasal dari bahasa semit yang berarti bicara, perintah. Selain itu amir juga bermakna penguasa, raja atau komandan militer. Gelar ini sering digunakan oleh pemimpin daerah yang berusaha melepaskan diri dari pemerintahan pusat yang tidak efektif, sebagai mana yang telah dilakukan oleh pemimpin dari dinasti Tahiriah.
Imarat ini merupakan sebutan untuk jabatan amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir. Gelar amir pertama digunakan juga pada masa khalifah umar bin khatab. Pada masa dinasti abbasiyyah geelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerah propinsi yang juga disebut sebagai wali.
Tugasnya mulai dibedakan dan didampingi oleh pejabat yang diangkat. Pada masa dinasti abbasiyyah, penguasa daerah sudah mulai disebut dengan amir yang bekerja sebagai pengelola pajak, keuangan dan lain-lain.
Disaat pergantian kekuasaan dari bani umayyah kepada dinasti bani abbasiyyah memunculkan satu peristiwa baru yang belum pernah dikenal dalam tradisi islam sebelumnya. Masa umayyah penguasa hanya menganggap jabatan sebagai wakil tuhan dimuka bumi. Sedangkan dimasa abbasiyyah konsep itu bergeser menjadi wakil tuhan dimuka bumi yang mengurusi masalah umat islam secara keseluruhan.

B.     Imamah
1.      Pengerian Imamah
Secara istilah imamah adalah kepemimpinan menyeluruh berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi rasulullah SAW. Senada dengan ini dikatakan oleh Al-Tafzani sebagai dikutip oleh Rasyid Ridha, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi. Demikian pula pendapat Al-Mawardi, Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.[2]
Dalam wacana fiqih siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan syi’ah, sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunanya dalam masyarakat sunni.
Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara kadua aliran ini dalam memahami imamah. Kelompok syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran agama, sedangkan sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa pemikir sunni juga menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentang khilafah. Hal ini antara lain dilakukan oleh Abu al-hasan al-Mawardi.[3]
Penegakan institusi imamah atau khalifah, menurut para fuqaha mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumannya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam. menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memlihara agama dan mengatur kehidupan dunia.
Sejalan dengan pandangan al-mawardi, Audah mendefenisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw. Dalam rangka menegakkan agama dan memilihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.
2.      Konsep Imamah di Dunia Syi’ah
Bila dikalangan sunni memiliki pemikiran yang beragam tentang eksistensi imamah, maka dikalangan syi’ah begitu kental dan tak berubah sampai sekarang. Kaum syi’ah tetap memelihara konsep dasar yang fundamental tentang doktrin imamah sebagai kepemimpinan yang berdimensi spritual dan politis.
Imam adalah ma’shum sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik bagi komunitas muslim. Dan yang berhak memegang otoritas spritual dan politis setelah nabi wafat adalahh Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Doktrin ini dipegang oleh syi’ah imamiyah atau syi’ah imam dua belas.[4]

C.     Khilafah
1.      Pengerian Khilafah
Khilafah secara bahasa dapat diartikan dengan pengganti, yaitu seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam persoalan. Menurut istilah khalifah merupakan pemimpin yang menggantikan nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undangnya yang mempersamakan orang lemah dan orang kuat, orang mulia dan orang hina di depan kebenaran sebagai khalifah rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia.
Menurut ibnu khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan untuk mewujudkan kemaslahatan duni akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan terakhir, mka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya sebagai pengganti fungsi pembuat syariat dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.[5]
2.      Konsep Khilafah di Dunia Sunni
Term khilafah sering digunakan oleh mayoritas ahlussunnah sedangkan kalangan syiah lebih akrab menggunakan kata imamah untuk menunjukkan konsep mereka dalam hal kepemimpinan. Paradigma pemikiran sunni lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan khulfa ar-rasyiddin. Para khalifah memiliki kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik dalam memimpin umat islam.
Fungsi mereka untuk menggantikan kepemimpinan nabi, sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik atau kepala negara. Pandangan ini kemudian menimbulkan ungkapan al- islam din wa daulat ( islam adalah agama dan suatu negara). Ungkpan yang menekankan pada islam totalitas, yakni meliputi segala aspek kehidupan manusia.
Paradigma pemikiran para juris sunni klasik dikukuhkan kembali oleh al-maududi dizaman modern. Katanya, hukum islam adalahh pola bagi kehidupan yang mencakup seluruh tatanan kemasyarakatan secara sempurna.
Karena itu pula hukum islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Negara didasarkan pada prinsip yang mengakui kedaulatan tuhan, kapasitas nabi muhammad sebagai wakil tuhan dan menerapkan musyawarah serta kedaulatan yang sesungguhnya berada pada tangan tuhan.

D.    Khalifah Imam
1.      Pengertian Khalifah
Khilafah berasal dari bahasa arab yaitu( خلافة) yang artinya pemimpin atau datang kemudian. Khilafah menurut bahasa artinya adalah pengganti, Duta, kepemimpinan atau wakil. Dan kata Khilafah ini bersinonim dengan kata Imamah atau Imarah yang artinya pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah menurut istilah yaitu struktur pemerintahan yang pelaksanaannya diatur berdasarkan syariat islam. Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam). Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri.[6]
Para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (almazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah.
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin.
2.      Tujuan Khilafah
Secara umum yaitu untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh ampunan dan ridho dari Allah SWT. Sebagai fiman Allah SWT dalam surah Saba’ ayat 15
ôs)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×ptƒ#uä ( Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJtƒ 5A$yJÏ©ur ( (#qè=ä. `ÏB É-øÍh öNä3În/u (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4 ×ot$ù#t/ ×pt6ÍhsÛ ;>uur Öqàÿxî ÇÊÎÈ  
Artinya : Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”(QS. Saba’/34:15)
Secara Khusus
a)      Melanjutkan kepemimpinan islam setelah nabi Muhammad saw wafat. Hal tersebut tidak berarti menggantikan kedudukannya sebagai nabi, melainkan sebagai pemimpin dan pelanjut risalah yang telah diajarkan oleh beliau.
b)      Mengupayakan kesejahteraan lahir dan batin dalam rangka memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat
c)      Mewujudkan dasar-dasar Khilafah yang adil dalam seluruh aspek kehidupan umat islam.
d)      Untuk membentuk suatu masyarakat yg hidupnya subur, makmur, sejahtera dan berkeadilan serta mendapat ampunan dari Allah SWT.

E.     Amir
Kata amir diturunkan dari kata amira yang berarti menjadi amir. Amir bermakna pemimpi, dalam kamus inggris diartikan dengan orang yang memerintah, komandan dan raja. Atas dasar makna-makna ini, amir didefinisikan dengan seorang penguasa yang melaksanakan urusan. Bentuk jama’nyaq adalah umara ( para penguasa, para pemimpin, para komandan ).
Istilah amir digunakan untuk gelar bagi jabatan-jabatan penting yang berpariasi dalam sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam.  Secara resmi penggunaankata amir berarti pemimpin komunitas muslim muncul dalam balai Sakifah bani Saidah. Pertemuan kaum anshar  dan muhajirin untuk memusyawarahkan pemimpin umat Islam sebagai pengganti Nabi setelah beliau wafat. Gelar Amir al mu’minin yang setingkat dengan khalifah diguunakan oleh Umar bin Khatab khalifah kedua.[7]    
Selama pemerintahan Islam di madinah, para komandan militer, komandan divisi militer disebut amir yaitu amir al-jaisy atau amir aljund. Para gurbenur pada mulanya adalah para jendral yang menaklukan daerah, juga disebut amir. Tugas utama amir pada mulanya sebagai penguasa daera, pengelola administrasi politik, mengumpulan pajak dan sebagai pemimpin agama. Kemudian pada masa pasca Rasul tugasnya bertambah meliputi pemimpin ekspedisI-ekspedisi  militer, menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan daerah taklukan Islam, membangun masjid, jadi imam shalat dan khatib dalam shalat jumat, mengurus administrasi pengadilan, dan selain itu bertanggung jawab pada khalifah di Madinah.
Pada masa dinasti Umayah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerahnprovinsi yang juga disebut wali ( hakim, penguasa, dan pemerintah).  Dan tugasnya pun mulai dibedakan dan di dampingi pejabat yang dia angkat. Amir juga diberi wewenang mengangkat wakilnya di daerah-daerah atas persetujuan khalifah. Tapi ada juga yang langsung diangkat oleh khalifah. Selain itu amir juga bertugas mengawasi percetakan uang, mengatur sistem penarikan pajak , memimpin delegasi uuntuk menyampaikan baiat kepada khalifah yang baru diangkat, membangun sarana-sarana umum, seperti jembatan, kanal, jalan dan mengirimkan sebagian penghasilan daerah ke Damaskus.[8]
Pada masa dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gurbenur juga disebut amir. Pada umumnya tugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil dan keuangania di dampingi oleh pejabat keuangan yang disebut amil.




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Islam merupakan agama yang universal. Sejak abad Klasik, tengah, hingga modern, islam mengalami sejarah panjang mengenai kepemimpinan politik Islam. Adanya pandangan yang berbeda mengenai Imamah (syi’ah Imamiyah) dan Khilafah (Sunni) menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Dimana terjadi pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni mengenai siapa penerus atau pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Kemunculan Islam syi’ah berawal dari masalah pengganti (Khalifah) Nabi Muhammad. Mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, karena menganggap hanya Ali Bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya.
Mereka berpandangan seperti itu karena berdasarka bukti utama atas sahnya Ali sebaagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum. Sedangkan kemunculan Islam Sunni merupakan kelompok muslim pendukung Sunnah. Sunnah sendiri merupakan jejak yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur ar-rasyidin, yang disebut dengan Ahlussunah berarti pengikut atau penganut Nabi Muhammad dan Jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi, Ahlussunnah wal-Jama’ah  mengandung Sunnah Nabi dan para sahabat Nabi Muhammad.

B.     Saran-saran
Melalui makalah ini, kami selaku penyusun makalah mengharapkan kritikan dan dukungan yang mendukung demi kebaikan makalah ini. Dan perihal materi ambillah sesuatu yang bermanfaat dan terapkan dalam keseharian.


DAFTAR PUSTAKA

Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ). (PT. Raja Grafindo Persada. 1999)

Syarif Mujir Ibnu dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT Gelora Aksara Pratama,2008)

Fahmi Asyannawi, Fiqih Politik (terjemahan ), (Pustaka Setia,Bandung, 2006)

A.Djazuli, Fiqih Siyasah, (Prenada Media, Bandung, 2003)

Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993)

Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT Gelora Aksara Pratama, 2008)


[1] Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ). (PT. Raja Grafindo Persada. 1999), h. 63
[2] Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ). (PT. Raja Grafindo Persada. 1999) H. 65
[3]Syarif Mujir Ibnu dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT Gelora Aksara Pratama,2008),     h. 204
[4] Fahmi Asyannawi, Fiqih Politik (terjemahan ), (Pustaka Setia,Bandung, 2006), h. 9
[5] A.Djazuli, Fiqih Siyasah, (Prenada Media, Bandung, 2003), h. 87
[6] Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993) h. 135
[7] Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, (PT Gelora Aksara Pratama, 2008), h. 311
[8] Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah,  … h. 313

No comments:

Post a Comment