BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sekolah sebagai institusi (lembaga)
pendidikan merupakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem
yang komplek dan dinamis. Dalam kaitannya, sekolah adalah tempat yang bukan
hanya sekedar tempat berkumpul guru dan murid, melainkan berada pada suatu
tatanan yang rumitdan saling berkaitan. Oleh karena itu sekolah di pandang
suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan lebih dari itu.Kegiatan lain
organisasi sekolah adalah mengelola sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan
menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat serta pada gilirannya lulusan sekolah diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada pembangunan bangsa.
Penempatan kualitas sumber daya
manusia sebagai penentu baik dalam konteks pembangunan nasional maupun dalam
tatanan peradaban global merupakan dua sisi dari suatu perubahan,
perlumenempatkan pendidikan sebagai sentral yang harus dipertahankan oleh semua
pihak yang terlibat.
Pendidikan berkembang dan membetuk
masyarakat yang berkualitas. Akan tetapi masyrakat pun berkemampuan membentuk
pendidikan yang berkualitas. Berdasarkan pada Undang-Undang no. 2 tahun 1989
tentang sistem Pendidikan Nasional, masalah kualitas pendidikan menjadi
perhatian. Undang-undang dan berbagai peraturan dalam sistem nasional merupakan
alat negara untuk mencapai tujuan negara dan bangsa dalam menyiapkan manusia
Indonesia bagi peranannya dimasa yang akan datang.
B. Latar
belakang masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa
yang dimaksud dengan lembaga pendidikan?
2. Apa
pengertian sekolah sebagai lembaga pendidikan
3. Bagaimana
fungsi dan tujuan sekolah sebgai lembaga pendidikan?
4. Bagaimana
hubungan antara guru dan peserta didik?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pengertian lembaga sekolah
2. Untuk
mengetahui pengertian sekolah sebagai lembaga pendidikan
3. Untuk
mengetahui fungsi dan tujuan sekolah sebgai lembaga pendidikan
4. Untuk
memahami hubungan guru dengan peserta didik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Lembaga Pendidikan
Secara bahasa lembaga adalah suatu
organisasi. Sedangkan Pendidikan adalah karya bersama yang berlangsung dalam
suatu pola kehidupan insani tertentu. Sedangkan menurut John De.wey,
mengartikan pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental baik secara intelektual maupun emosional ke arah alam dan sesama
manusia.[1]
Jadi, lembaga pendidikan/lingkungan
pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang melingkupi proses
berlangsungnya pendidikan. Lingkungan pendidikan bisa berupa lingkungan fisik,
sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.
Untuk mencapai sasaran dan fungsi di
maksud maka lembaga pendidikan menjadi salah satu wahana strategis dalam
membina sumber daya manusia yang berkualitas.[2]
Berkaitan dengan semakin meningkatnya
tuntutan kualitas pendidikan, maka pemaknaan pendidikan tidak cukup hanya
meletakkannya dalam pengertian schooling, tetapi lebih daripada itu lagi,
tuntutan kualitas tidak memungkinkan peserta didik melakukan kegiatan
pendidikan formal saja, tetapi mesti serentak dan bersamaan dengan perlunya
kebersamaan antara pendidikan formal, nonformal, dan informal. Karenanya
memberdayakan semua lembaga pendidikan ini serta mengaturnya menjadi satu
kesatuan adalah merupakan suatu upaya untuk lebih memberdayakan pendidikan di
era globalisasi.
Upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat pada dasarnya merupakan cita-cita dari pembangunan bangsa.
Kesejahteraan dalam hal ini mencakup dimensi lahir batin, material dan
spiritual. Lebih dari itu pendidikan menghendaki agar peserta didiknya menjadi
individu yang menjalani kehidupan yang aman dan damai. Oleh karena itu
pembangunan lembaga pendidikan
diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia
yang aman, damai, dan sejahtera. Sejalan dengan realitas kehidupan sosial yang
berkembang di masyarakat, maka pengembangan nilai-nilai serta peningkatan mutu
pendidikan tentunya menjadi tema pokok dalam rencana kerja pemerintah dalam
membangun lembaga pendidikan.[3]
Lembaga pendidikan di indonesia dalam
UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: sekolah dan luar
sekolah, selanjutnya pembagian lebih rincinya menjadi tiga bentuk:
1.
Informal (keluarga)
Menurut Ki Hajar Dewantoro, suasana kehidupan
keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan orang-seorang
(pendidikan individual) maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempat
pendidikan yang sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan pendidikan ke
arah pribadi yang utuh, tidak saja bagi kanak-kanak tapi juga bagi para remaja.
Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, sebagai pengajar, dan sebagai
pemberi contoh.
2.
Formal (sekolah)
Sekolah adalah lembaga pendidikan
formal yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat. Sekolah menjalankan tugas
mendidik anak yang sudah tidak mampu lagi dilakukan oleh keluarga, mengingat
semakin kompleksnya praktek mendidik anak.[4]
Pendidikan formal dapat coraknya
diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat), pemerintah daerah dan masyarakat.
3.
Nonformal (masyarakat)
Pendidikan nonformal adalah salah satu bentuk pendidikan di samping pendidikan
formal dan informal. Kedudukan pendidikan nonformal ini tidak kalah perananya
dari penddikan formal. Banyak hal yang tidak terjangkau oleh pendidikan formal
dapat dilaksanakan lewat pendidikan nonformal. Oleh karena itu pendidikan
nonformal memegang peranan yang sangat strategis dalam ikut serta memberdayakan
pendidikan di Indonesia.
Satuan pendidikan nonformal meliputi
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada
standard nasional pendidikan.[5]
Adapun pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau ingin melengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, yang berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
B. Pengertian
Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang
untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru.
Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib.
Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama untuk
sekolah-sekolah ini bervariasi, tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk
anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan
pendidikan dasar. lembaga pendidikan adalah suatu tempat atau wadah dimana
proses pendidikan berlangsung yang dilaksanakan
dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku seseorang ke arah yang lebih
baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar serta wawasan dan pengetahuan
yang diperoleh. Lingkungan pendidikan antara lain pendidikan formal (sekolah),
informal (keluarga) dan non formal (masyarakat). Lingkungan pendidikan itu
sangat urgen dalam sebuah proses pendidikan karena fungsinya sangat menunjang
PBM yang tertib dan nyaman.[6]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
ialah adalah organisasi kerja sebagai wadah kerja sama sekelompok orang untuk
mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain sekolah sebagai lembaga pendidikan
adalah suatu bentuk ikatan kerja sama sekelompok orang yang bermaksud mencapai
suatu tujuan pendidikan yang disepakati bersama. Sekolah merupakan perwujudan
dari relasi antar personal yang didasari dengan berbagai motif, yang menjadi
intensif kearah lain. Kesamaan motif dalam membantu anak-anak untuk mencapai
kedewasaan masing-masing, mendorong terbentuknya kelompok yang disebut sekolah.
Di dalam pengelompokan itu dapat dibedakan antara lain :
1. Variable-variabel
atau dimensi-dimensi individual.
2. Struktur
yang mengatur mekanisme kegiatan
3. Dinamika
yang mewujudkan hubungan fungsional dan hubungan internasional Tujuan yang
mengendalikan kegiatan.
Variable-variabel
individu muncul karena didalam organisasi setiap orang mendapat posisi yang
menjuruskan dan membatasi kegiatan yang dapat dilakukannya. Posisi itu
memberikan status kepada seseorang didalam kelompoknya, yang dapat diartikan
sebagai kedudukan dan peranan seseorang menurut pandangan orang lain dan
menurut dirinya sendiri sebagai anggota kelompok dan anggota masyarakat.
Selanjutnya
posisi dan status itu diatur jenjangnya dengan diiringi penetapan hubungan
kerja antara yang satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan organisasi.
Sehingga terbentuklah suatu struktur dengan mekanisme kegiatan didalamnya. Akan
tetapi karena manusia adalah makhluk social maka didalam organisasi hubungan
tidak terbatas secara formal seperti ditetapkan menurut struktur. Antar
personal yang bekerja sama itu dapat berlangsung juga hubungan informal yang
memunkinkan terjadinya pertukaran informasi secara luas, sehingga organisasi
menjadi dinamis. Sifat dinamis itu tidak berarti setiap orang boleh berbuat
sekehendak atau semaunya sendiri. Setiap kegiatan untuk memajukan dan
mengembangkan organisasi secara dinamis, tidak boleh terlepas dari tujuan yang
hendak dicapai.
Pendidikan
di luar lingkungan keluarga sebagai suatu contoh kebutuhan bersama harus
dilaksanakan secara teratur, terarah dan sistematik. Sekolah sebagai salah satu
bentuk pada dasarnya bertugas membantu keluarga dalam membimbing dan
mengarahkan perkembangan dan pendayagunaan potensi tertentu yang dimiliki
anak-anak. Kegiatan itu akan berpengaruh langsung langsung terhadap kedewasaan
anak-anak yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari keluarga atau orang tua.
Dengan kata lain bantuan sekolah dalam mendidik tidak mungkin mengurangi arti
dan peranan krluarga dalam mendewasakan anak.
C. Fungsi
Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan
Fungsi Sekolah sebagai Lembaga
Pendidikan Masyarakat sebagai lembaga ketiga memberikan anak kemampuan
penalaran, keterampilan dan sikap. Juga menjadi ajang pengoptimalan
perekembangan diri setiap individu. Sebuah lembaga pendidikan seperti sekolah
tidak boleh diartikan sebagai sekedar sebuah sebuah gedung saja, tempat
anak-anak berkumpul dan mempelajari sejumlah materi pengetahuan. Sekolah sebagi
institusi peranannya jauh lebih luas dari pada sekedar tempat belajar. Berdiri
dan diselenggarakanya sebuah sekolah, pada dasarnya didukung dan dijiwai oleh
suatu kebudayaan yang mnedukungnya.
Norma-norma atau nilai kebersamaan
yang menjiwai kebudayaan yang mendukungnya itu, harus dijadikan landasan bagi
sekolah dalam mewujudkan peranannya, yang sekaligus akan memberikan ciri-ciri
khusus yang membedakan dari lembaga-lembaga lain yang terdapat dimasyarakat
sekitarnya. Peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan
potensi manusiawi yang memiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas
kehidupan sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota
masyarakat. Kegiatan untuk mengembangkan potensi itu harus dilakukan secara
berencana, terarah dan sistematik guna mencapai tujuan tertentu. Tujuan itu
harus mengandung nilai - nilai yang serasi dengan kebudayaan dilingkungan
masyarakat yang menyelenggarakan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Oleh
karena itulah maka dapat dikatakan bahwa fungsi sekolah adalah meneruskan,
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan suatu masyarakat, melalui kegiatan
ikut membentuk kepribadian anak-anak agar menjadi manusia dewasa yang mampu
berdiri sendiri didalam kebudayaan dan masyarakat sekitarnya.
Dengan kata lain sekolah berfungsi
mempersiapkan pengganti generasi yang kelak mampu mempertahankan eksistensi
kelompok atau masyarakat/bangsanya yang memiliki kebudayaan tertentu berbeda
dari kelompok atau masyarakat / bangsa yang lain. Berdasarkan uraian diatas
berarti sekolah sebagai lembaga pendidikan memikul tanggung jawab mempersiapkan
anak-anak agar mampu meneruskan sejarah dan tata cara kehidupan manusia sebagai
makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu sendiri bukanlah sesuatu yang statis,
akan tetapi terus menerus berkembang secara dinamis. Oleh karena itu sekolah
tidak sekedar berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan yang ada, tetapi juga
mengembangkan sesuai dengan martabat manusia yang kehidupannya selalu dipenuhi
dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Melalui sekolah anak-anak dipersiapkan
menjadi manusia yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan keahlian mengelola
lingkungan fisik atau material, kemungkinan manusia menciptakan berbagai
kelengkapan untuk mempermudah dan menyenangkan kehidupannya. Sedang dibidang
sosial dan spiritual, sekolah berfungsi membina dan mengembangkan sikap mental
yang erat hubungannya dengan norma-norma kehidupan yang bersifat manusiawi dan
keagamaan.Bilamana fungsi tersebut diatas dihubungkan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka sekolah berkewajiban pula mempersiapkan anak-anak
menjadi warga negara yang mengetahui dan mampu menjalankan hak dan
kewajibannya. Khusus bagi bangsa dan negara Indonesia fungsi tersebut
diwujudkan dalam bentuk meneruskan nilai-nilai luhur pandangan hidup bangsa
berdasarkan pancasila dalam pembentukan sikap mental anak-anak.
Fungsi dan tujuan sekolah tidak hanya
mengisi otak siswa-siswanya dengan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga
mengajarkan aplikasi dari ilmu pengetahuan tersebut ke dalam dunia pekerjaan
yang diminati siswa-siswanya dan membantu siswa melihat kesempatan kesempatan
yang ada. Agar setiap siswa mendapatkan gambaran bagaimana lapangan
pekerjaannya nantinya dan meraih sukses dimasa yang akan datang. Dan setiap
sekolah juga harus membentuk karakter yang baik dari dalam diri setiap
siswanya, karena tanpa karakter yang baik mereka tidak akan bisa menjadi
pemimpin yang baik pula.
D. Konsep
Hubungan Guru dan Murid
Secara umum orang menganggap hubungan
guru dan murid adalah hubungan antara “yang mengajar dengan yang belajar”,
yaitu guru dianggap sebagai orang yang lebih tahu, yang memberi pengetahuan
kepada siswa yang belum tahu. Sebenarnya hubungan keduanya lebih luas daripada
sekadar dalam konteks pengajaran. Hubungan antara guru dan murid adalah
hubungan antara “yang mendidik dengan yang dididik”, yaitu guru dianggap
sebagai orang yang lebih dewasa, yang menolong, menghantar siswa menuju
kedewasaan (kata “mendidik” berasal dari to educate = ex ducare = menghantar ke
luar). Hubungan keduanya tidak hanya menyinggung aspek pengetahuan (otak),
tetapi juga aspek rohani, perasaan, tingkah laku, kepribadian, atau the whole being guru dan murid itu sendiri.
Pengertian hubungan guru dan murid
yang kedua di atas sebenarnya mempunyai arti yang luas. Hubungan ini juga
berarti hubungan antara “ yang membelajarkan dengan yang dibelajarkan”. Di sini
terjadi proses pembelajaran, bukan pengajaran, atau transfer pengetahuan.
Proses pembelajaran adalah proses membuat murid menjadi pelajar yang melakukan bagaimana seharusnya belajar. Guru
berperan sebagai motivator, yang mendorong murid belajar. Guru berfungsi
sebagai fasilitator; menciptakan suasana , memberi kesempatan dan pengarah di
dalam murid belajar. Ia memberikan
“kail” kepada murid, agar murid mencari “ikan” sendiri. Jadi guru tidak
langsung memberikan “ikan”, atau mencekoki murid dengan pengetahuan. Guru harus
menjadi teladan, contoh atau model di dalam belajar. Murid berperan aktif di
dalam mengembangkan diri.
Pengertian hubungan guru dan murid ke
dua di atas dapat juga berarti hubungan antara “yang memberikan teladan hidup
dengan yang menerima teladan hidup”. Di sini terjadi sharing life. Jadi
sebenarnya begitu dalam pengaruh guru terhadap muridnya. Apa yang dipikirkan,
dikatakan, atau diperbuat oleh guru di depan murid-muridnya akan dapat
mempengaruhi hidup murid. Seluruh kepribadian, kerohanian, dan kehidupan guru
dapat menjadi contoh bagi murid.
Kita dapat melihat model hubungan
antara guru dan murid yang seperti dijelaskan di atas, pada pribadi Yesus
Kristus dengan murid-muridNya. Tuhan Yesus tidak hanya memberikan
pengetahuan-pengetahuan, atau pengajaran tentang Kerajaan Allah saja kepada
para muridNya, tetapi Ia juga memberikan kesempatan kepada para muridNya untuk
mengalami apa yang mereka telah terima. Tuhan Yesus mengutus mereka untuk juga
memberitakan Injil Kerajaan Allah; mendoakan, dan menyembuhkan orang sakit dan
kerasukan di dalam namaNya, dsb. Murid-murid diberikan kesempatan dan kuasa
untuk belajar melakukan apa yang Ia telah lakukan. Tuhan Yesus bukan hanya
memberikan seluruh hidupnya kepada para muridNya, tetapi juga nyawaNya. Ia
menganggap murid-muridNya sebagai sahabat-sahabatNya. Ia berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabatKu jikalau
kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.”
Hubungan antara guru dan murid adalah
hubungan yang unik dan saling tergantung. Coba bayangkan jika ada murid tetapi
tidak ada guru. Mungkin kita berkata “bisa saja, murid bisa belajar sendiri”. “
Oh, ya?” Sebenarnya berapa prosen murid yang mampu seperti itu? Pasti sedikit. Murid tetap memerlukan guru.
Demikian juga sebaliknya, coba bayangkan, ada guru tetapi tidak ada murid.
Wah…guru menjadi individu yang egois, yang menyimpan “ilmu”-nya sendiri, tidak
dibagikan kepada orang lain.
Thomas Gordon di dalam bukunya Teacher
Effectiveness Training, menjelaskan bahwa keharmonisan dapat tercipta jika
aspek-aspek berikut terpenuhi, yaitu:
1.
Adanya keterbukaan.Saling terbuka dan
jujur; bertukar pikiran dalam setiap masalah yang berkaitan dengan
pembelajaran, maupun di luar pembelajaran.
2.
Adanya perhatian
3.
Saling ketergantunganKemandirian.
Artinya antara guru dan murid harus secara mandiri mengembangkan diri dalam
berbagai hal seperti misalnya kreativitas, mengembangkan pengetahuan.
4.
Kecocokan dalam kebutuhan
masing-masing. Artinya kebutuhan murid dapat dipenuhi oleh guru secara cocok,
demikian pula sebaliknya.
Sebenarnya
yang terpenting adalah saling memahami akan peran diri masing-masing, dan peran
orang lain. Guru harus memahami fungsi dan keterbatasannya. Ia adalah orang
yang bukan serba tahu atau tahu semuanya. Guru tentu harus memahami keberadaan
dan keterbatasan murid-muridnya. Demikian pula murid-murid, harus mengenal
peran mereka. Murid harus menyadari bahwa ia adalah orang yang belajar, yang
harus aktif, bukan pasif; harus giat, bukan malas; yang harus berdisiplin,
bukan semau-maunya. Murid juga harus memahami gurunya. Ia harus memahami
keterbatasnnya; akan beratnya tanggung jawab yang diemban guru; akan jerih
lelah, kesabaran gurunya dalam mendidik; dsb. Beratnya tugas guru, dapat
dilihat dari apa yang tertulis dalam Yakobus 3 : 1, yang berbunyi : “ … sebagai
guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.”
Murid
harus menghormati guru. Rasul Paulus pernah menasihati Timotius untuk
menghormati dua kali lipat para penatua yang berjerih payah berkotbah dan
mengajar ( I Timotius 4 : 17 ). Menghormati dalam bahasa Ibrani adalah “kabad”
, yang berarti “mengakui kewibawaan”
atau “menghargai tinggi-tinggi”. Menghormati di sini dapat dilakukan dengan
cara memahami segala aspirasi guru; motivasi di balik nasihat-nasihat guru;
memahami kelemahan dan keunggulan guru; dsb.
Selain
itu secara rohani Tuhan Yesus hendaknya menjadi dasar hubungan antara guru dan
murid. Kalau hubungan ini digambarkan dalam bentuk segitiga, maka Kristus
menjadi puncak atau sudut tertinggi, sedangkan kedua sudut segitiga di bawahnya
adalah guru dan murid. Kasih Kristus melingkupi hubungan antara guru dan murid
ini, sehingga dapat tercipta keharmonisan sempurna. Firman Tuhan, dalam I
Yohanes 1 : 7, menyatakan bahwa: “ Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti
Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang
lain,…”
Akhirnya,
semoga keharmonisan hubungan guru dan murid yang selama ini tercipta di sekolah
Methodist yang kita cintai ini, boleh makin baik dan indah di dalam Tuhan. Kita
semuanya, baik guru dan murid boleh saling berelasi dan mempengaruhi agar
menjadi pribadi-pribadi bermutu di dalam Tuhan, seperti apa yang menjadi motto
sekolah.
Pada spektrum yang lebih
luas, pengakuan atas profesi guru secara lateral memunculkan banyak gagasan
yaitu :
Diperlukan
ekstrakapasitas untuk menyediakan guru yang profesional sejati dalam jumlah
yang cukup, sehingga peserta didik yang memasuki bangku sekolah tidak terjebak
pada ngarai kesia-siaan akibat layanan pendidikan dan pembelajaran yang buruk.
Regulasi
yang implementasinya taat asas dalam penempatan dan penugasan guru agar tidak
terjadi diskriminasi akses layanan pendidikan bagi mereka yang berada pada
titik-titik terluar wilayah negara, di tempat-tempat yang sulit dijangkau
karena keterisolasian, dan di daerah-daerahyang penuh konflik
Komitmen
guru untuk mewujudkan hak semua warga negara atas pendidikan yang berkualitas
melalui pendanaan dan pengaturan negara atas sistem pendidikan.
Meningkatkan
kesejahteraan dan status guru serta tenaga kependidikan lainnya melalui
penerapan yang efektif atas hak asasi dan kebebasan profesional mereka.
Menghilangkan
segala bentuk diskriminasi layanan guru dalam bidang pendidikan dan
pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan jender, ras, status perkawinan,
kekurang mampuan,orientasi seksual, usia, agama, afiliasi politik atau opini,
status sosial dan ekonomi, suku bangsa, adatistiadat, serta mendorong
pemahaman, toleransi, dan penghargaan atas keragaman budaya komunitas.
Hubungan
guru dengan siswa di dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat
menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Guru dapat dikatakan orang tua
siswa di sekolah dan merupakan orang tua kedua setelah orang tua siswa di dalam
keluarga. sehingga seorang guru harus
memiliki kedekatan dengan peserta didik. Hubungan baik guru dengan siswa atau
peserta didik ini dapat mendorong siswa untuk rajin belajar.
Bagaimanapun
baiknya bahan pelajaran yang diberikan, bagaimanapun baiknya metode yang digunakan, namun jika hubungan
guru dengan siswa tidak harmonis maka dapat menciptakan suatu hasil yang tidak
diinginkan dalam proses pembelajaran.
Banyak siswa yang apabila tidak suka dengan gurunya , maka dia tidak
suka dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh gurunya itu. Sehingga
pembelajaran terhambat.
Salah
satu cara unrtuk mengatasi supaya tetap terciptanya hubungan baik antara guru
dengan siswa adalah melalui Contact
hours . contact hours disini jam-jam bertemu antara guru dengan siswa. Tapi bertemu antara guru dengan siswa diluar
kegiatan jam-jam mengajar.
D. Gaya
Berhubungan Guru dengan Peserta Didik yang Menyenangkan
1. Guru
yang tidak pernah yang membedakan siswa yang mana lebih unggul dan tidak akan
memberikan kesan kepada siswa bahwa guru tersebut berlaku tidak adil. Ini salah
satu gaya berhubungan guru dengan peserta diketika belajar tidak merasakan
dikotak-kotakan. Dengan begitu guru dengan peserta didik akan menjadikan
belajar yang efektif dan stabil.
2. Guru
yang suka memberikan penghargaan setiap kali siswanya melakukan hal yang baik
dan menghasilakn predikat memuaskan. Misalnya guru yang memberikan permen atau
minimuan secara, cuma-cuma kepada siswanya ketika semua siswa nya tida ada yang
remidi. Guru menghragai jerih payah
sisiwanya dengan memberikan hadiah karena hasil belajarnya memuaskan .
3. Guru
yang selalu menemani siswanya ketika ada
pertandinagn. Biasanya hal semacam ini dilakukan oleh wali kelasnya
masing-masing. Karena siswa yang berkompenteasi merasa mendapatkan dukungan
lebih baik. Sekalipun siswanya kalah dalam kompetisinya tersebut, rasa kecewwa
yang dibawa tidak begitu membebani.
4. Guru
yang selalu memadukan permainan disela-sela mengajar. Ini akan belajarnya tidak
jenuh dalam pembelajaran. Dengan begitu guru akan lebih kontrol siswa, begitu
pula dengan siswanya, ketika mengetahui gur yang berada dihadapanya mereka
asiik dan menyenangakan mereka tidak akan sungkan untuk mengutarakan
keinginan mereka ketika kegiatan belajar
mengajar berlangsung
Etika Peserta Didik dalam
hubungan atara Peserta Didik dengan guru yaitu :
1. Menghormati
semua guru tanpa membedakan suku, agama, ras, dan tidak didasari atas perasaan
suka atau tidak suka.
2. Bersikap
sopan santun terhadap semua guru dalam interaksi baik di dalam lingkungan
maupun di luar lingkungan
3. Menjaga
nama baik guru dan keluarganya
4. Tidak
menyebarluaskan informasi yang tidak baik dan belum tentu benar mengenai
seorang guru kepada guru atau pihak lainnya, kecuali terhadap pelanggaran hukum
dan etik yang diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan di
lingkungan
5. Santun
dalam mengemukakan pendapat atau mengungkapkan ketidak sepahaman pendapat
tentang keilmuan yang disertai dengan argumentasi yang rasional
6. Jujur
terhadap guru dalam segala aspek
7. Tidak
menjanjikan atau memberikan sejumlah uang atau fasilitas lainnya kepada guru
atau pihak lainnya dengan tujuan untuk mempengaruhi penilaian guru.
8. Percaya
pada kemampuan sendiri, dalam arti tidak menggunakan pengaruh orang lain untuk
tujuan mempengaruhi penilaian guru
9. Tidak
mengeluarkan ancaman baik secara langsung maupun dengan menggunakan orang lain
terhadap guru.
10. Bekerjasama
dengan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran, termasuk menyiapkan diri
sebelum berinteraksi dengan guru di ruang perbelajaran.
11. Memelihara
sopan santun pada saat mengajukan keberatan atas sikap guru terhadap
pimpinannya disertai dengan bukti yang cukup.
12. Menghindari
sikap membenci guru atau sikap tidak terpuji lainnya disebabkan nilai yang
diberikan oleh guru.
13. Mematuhi
perintah dan petunjuk guru sepanjang perintah dan petunjuk tersebut tidak
bertentangan dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup di tengah
masyarakat.
14. Berani
mempertanggungjawabkan semua tindakannya terkait interaksi dengan guru.
Kode
Etik Guru adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru
Indonesiasebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi
sebagai pendidik,anggota masyarakat, dan warga negara.Dewan Kehormatan Guru
adalah perangkat kelengkapan organisasi atau asosiasi profesi guruyang dibentuk
untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian,
penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.
Pedoman
sikap dan perilaku adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang
baikdan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan
tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari
di dalam dan di luar sekolah. Pembinaan etika profesi adalah proses kerja yang
dilakukan secara sistematis untuk menciptakan kondisi agar guru berbuat sesuai
dengan norma-norma yang dibolehkan dan menghindari norma-norma yang dilarang
dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, serta menjalani kehidupan
di masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
adalah suatu bentuk ikatan kerja sama sekelompok orang yang bermaksud mencapai
suatu tujuan pendidikan yang disepakati bersama. Pendidikan diluar lingkungan
keluarga sebagai suatu contoh kebutuhan bersama harus dilaksanakan secara
teratur, terarah dan sistematik.
Sekolah sebagai salah satu bentuk pada
dasarnya bertugas membantu keluarga dalam membimbing dan mengarahkan
perkembangan dan pendayagunaan potensi tertentu yang dimiliki anak-anak. fungsi
dan tujuan sekolah tidak hanya mengisi otak siswa-siswanya dengan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga mengajarkan aplikasi dari ilmu pengetahuan
tersebut ke dalam dunia pekerjaan yang diminati siswa-siswanya dan membantu
siswa melihat kesempatan kesempatan yang ada.
Proses pembelajaran adalah proses
membuat murid menjadi pelajar yang
melakukan bagaimana seharusnya belajar. Guru berperan sebagai motivator,
yang mendorong murid belajar. Guru berfungsi sebagai fasilitator; menciptakan
suasana , memberi kesempatan dan pengarah di dalam murid belajar. Ia memberikan “kail” kepada murid, agar murid
mencari “ikan” sendiri. Jadi guru tidak langsung memberikan “ikan”, atau
mencekoki murid dengan pengetahuan. Guru harus menjadi teladan, contoh atau model
di dalam belajar. Murid berperan aktif di dalam mengembangkan diri.
B. Saran
Demikianlah pembahasan makalah
mengenai sekolah sebagai lembaga pendidikan, dan hubungannya dengan guru serta
murid, semoga dapat bermanfaat bagi kita pembaca sekalian. Adapun saran penulis
adalah lembaga sekolah sudah seharusnya lebih difungsikan sebagai tempat untuk
menimba ilmu dan harus dimanfaatkan dengan baik.
[1] Syaiful Sagala, Manajemen
Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. (Bandung: Alfabeta, 2010),
hlm. 1
[2] Arif Rohman, Memahami
Pendidikan & Ilmu Pendidikan.(Yogyakarta: LaksBang Mediatama
Yogyakarta, 2011), hlm. 6
[3] Arif Rohman, Memahami
Pendidikan & Ilmu Pendidikan.(Yogyakarta: LaksBang Mediatama
Yogyakarta, 2011), hlm195
[4] Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan. (Jakarta:Rineka Cipta, 2005),
hlm. 169
[5] Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan. (Jakarta:Rineka Cipta, 2005),
hlm. 170
[6] Abdul Kadir, Dasar-dasar
pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 157
No comments:
Post a Comment